Ketika sudah mulai kasak kusuk oleh sejawatnya, dalam waktu dekat akan "terbuka". Sikap dan perilaku korup dari arena tersembunyi mulai bergerak ke arena, publik, panggung terbuka, dan tidak lama menjadi viral. Viral di media massa menjadi arena panggung yang begitu luas. Orang yang selama ini tidak mengenal koruptor menjadi kenal.
Dan ketika menjadi viral di media sosial, banyak orang mulai ribut besar. Saling melapor satu sama lain. Saling mempersalahkan antara yang dapat kecil dan yang dapat besar.Â
Tidak hanya itu, publik akan terlibat dalam berbagai komentar-komentar lepas. Dan berbagai komentar itu mempengaruh jagad publik. Citra koruptor benar-benar tak berdaya, rusak secara sosial. Bahkan keluarganya pun ikut dihakum secara massal. Di mata publik, si koruptor diadili secara massa, walaupun memang ada pengadilan negara untuk yang bersikap dan berperilaku demikian.
Arena, yang dimaksudkan disini ialah "penggung penilaian" massa atas perilaku orang yang melakukan korup ataupun hal lain yang bertentangan dengan hukum dan sekaligus merugikan nilai-nilai universal kemanusiaan. Kadang-kadang di arena inilah jauh lebih berbahaya daripada putusan pengadilan.
Di atas arena ini, koruptor benar-benar tak bermartabat. Benar, tak bermartabat karena sikap dan perilaku tidak mencerminkan penggunaan akal budi yang waras. Akal budinya hanya isi dengan keahlian berkorupsip, kolusi, dan nepotisme, tetapi nihil dalam moral dan etika.Â
Disinilah saya menjadi teringat penggalan kata-kata dalam lagu Indonesia Raya, "... bangunlah jiwanya, bangunlah raganya...". Mungkinkah negara ini lupa membangun jiwa? Apakah selama ini negara hanya berfokus pada membangun badan (fisik)?
Korupsi menjadi musuh bersama. Mungkin, inilah yang cocok bagi banyak orang sehingga "arena" media sosial, tempat perlawanan bersama terhadap koruptor.***
Pangkalpinang, 9 Desember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H