Saya tidak mengenal Novia Widyasari. Saya kenal melalui berita-berita pada akhir-akhir ini. Saya mencoba membuka media sosial seperti FB, IG, Twitter, dan media online lainnya, lalu mencoba membaca secara perlahan, apa gerangan informasi yang ditayangkan media-media itu. Menelusuri halaman demi halaman, mencoba memahami dengan lebih mendalam. Getir memang rasa ini. Rasa yang muncul tanpa tidak melalaikan akal budi, hanya sepenggal kalimat yang terucap: Novia, korban kemanusiaan. Inilah juga menjadi judul tulisan mini saya kali ini.
Novia, mahasiswi yang bercita-cita menjadi guru
Naas menang perjalanan hidup Novia Widyasari Rahayu, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB), angkatan 2016, yang beberapa hari belakangan ini menjadi viral di media sosial. Cita-citanya menjadi guru, tak kesampaian.
Padahal cita-citanya ini berlatarbelakangkan, rasa kemanusiaan yang dilihat dan dialami oleh teman-temannya yang tidak mampu membayar SPP, semacam sekolah di SMA. Tidak hanya itu, rasa kemanusiaan pun mendorongnya menjadi guru akibat situasi sosial yang dialaminya sebagai akibat alienasi dari teman-temannya yang mampu kepada teman-teman yang tak mampu di lingkungan sekolah. Situasi sosial yang merobek rasa kemanusiaannya, Novia memutuskan untuk menjadi guru di Fakultas Ilmu Budaya. Bisa dibaca disini
Perjuangan Novia menjadi guru, kandas juga karena ketegaran hati seorang laki-laki yang disebut sebagai pacar, yang disebut Bripda Randy. Dan cita-cita menjadi guru pula dibawa dalam impian yang panjang, sebagai akibat rasa kemanusiaan yang tidak digubris oleh Bripda Randy. Kini, Novia membawa cita-cita dan rencana hidupnya kepada sosok sang ayah yang dicintainya, yang telah mendahului.Â
Pelukkan kasih sang ayah menerimanya, mungkin saja sambil berbisik ke telinga Novia, "iya... anakku, begitulah rasa kemanusiaan" yang dihadirkan didalam dunia sosial masa kini. Bahwa kasih sayang, tak mudah diterima. Hanya rasa manis yang ditelan, namun selebihnya dihempas tanpa merasa dan memikirkan lebih panjang kehadiran sang Khalik, penguasa hidup dan mati seorang peziarah di bumi ini.
Novia, telah berjuang keras untuk mendamaikan situasi hidup yang dialaminya. Ia takut akan situasi sosial yang akan menjerumusnya. Rasa takutnya ini, ia nyatakan dengan berusaha dan terus berusaha baik menjumpai keluarganya, keluarga Bripda Randy maupun diungkapkanya melalui media sosial.
Rupanya tak mempan juga. Kemanusiaan seakan sirna. Yang ia alami ialah kekejaman perilaku pacarnya. Bagaimana tidak, hanya memiliki kemampuan menutup aib dengan dua kali aborsi. Rasa kemanusiaan tercabik begitu mendalam, kedamaian pun menjadi sebuah ilusi bagi Novia. Sangat kontrak produktif seperti diungkapkan Erick Fromm dalam bukunya The Fear of Freedom (1942), "...kita harus bisa mendapatkan sebuah kebebasan yang baru, yakni kebebasan yang membuat kita mampu untuk mengaktualisasikan jatidiri kita masing-masing, untuk memiliki kepercayaan yang mendalam atas diri sendiri dan atas hidup itu sendiri".Â
Menggugat Rasa Kemanusiaan
Rasa adil, hormat, peduli, solider, bela rasa, dan lain-lain adalah jiwa kemanusiaan yang seharusnya dimiliki oleh semua manusia di jagad raya ini. Sapere aude! Beranilah memahami, beranilah memakai pikiran sendiri, adalah bagian dari otoritas diri setiap orang, untuk memahami akan rasa kemanusiaan. Ketika rasa kemanusiaan itu tidak hadir dalam diri, artinya ada sesuatu yang aneh dengan diri.Â