Untuk sampai pada praksis implementasi, pemerintah menghendaki supaya ada legal standing-nya. Legal standing ini menjadi pegangan bagi para pelaksana pembinaan.Â
Legal standing, menjadi kekuatan bagi siapa saja yang diminta untuk menjadi pembina ideologi Pancasila tadi. Ketika kita berbicara soal legal standing, itu ranahnya DPR RI. Maka wajar jika DPR RI memprioritaskan RUU PIP (yang sudah diganti namanya) untuk dibahas dan dilegalkan.Â
Tetapi harus diakui bahwa untuk sampai legal standing, sudah keburuh kontroversial. Kacamata yang dipakai DPR RI jauh berbeda dengan kacamata masyarakat tertentu dalam memaknai arah pembahasannya.Â
Semestinya, sebagai masyarakat berdiskusi di arus bawah, dengan memanggil wakil rakyatnya. Ataukah, wakil rakyat turun untuk mensosialisasikan apa yang mau dibahas sembari menerima input-input yang berdayaguna bagi proses pembahasannya di DPR RI.Â
Memang respons masyarakat tertentu dengan cara berdemo, tentu hal wajar disisi lain. Cara menyampaikan aspirasi di depan publik ini pun harus dimatangkan dengan nalar, bukan dengan nafsu.Â
Kalau muncul ke publik dengan cara arogansi justru inilah yang membawa petaka. Petaka karena mengatasnama rakyat tertentu. Petaka karena dalam proses penyampaian aspirasi, nilai-nilai pembelajaran oleh masyarakat umum, tidak tercapai.Â
Akhirnya, menambah persoalan baru. Bagaimana mungkin, menyelesaikan persoalan tetapi justru menimbulkan persoalan baru? Kan jadi aneh. Salam Pancasila, Rumah Bersama! =***+Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H