Kami pun lanjut mengobrol panjang lebar sekitar hidup di tengah badai Covid-19. Pak Amir pun bersedia untuk mau menanam apa saja di halaman rumahnya sehingga bisa dimakan untuk keluarganya.
Kapan berlibur?, cetus saya. Pak Amir pun mengungkapkan demikian. "Boro-boro libur pak, mau makan saj susah. Lebih baik cari dan usaha apalah yang bisa dapat uang untuk belanja kehidupan sehari-hari. Libur mungkin untuk orang lain sajalah dulu pak. Kami mungkin belum. Soal libur juga butuh uang, bensin, belanja, dll."
Di tengah situasi semacam ini, rupanya berlibur pun dipandang mewah, walaupun hanya sekedar jalan-jalan ke pantai sebentar. Orang justru lebih mengutamakan cari makanan dan minuman untuk bertahap hidup di tengah badai Covid-19. Harapan kita, Covid-19 cepat berlalu dan berlibur entah dekat atau jauh bukan karena hal mewah tapi sekedar refresing karena kesibukkan yang membahana selama ini. Berlibur dalam konteks sekarang, rasanya begitu susah juga sekaligus mewah. **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H