Mungkin saja kebanyakkan dari kita telah mengenal Popper. Mengenal Popper bisa melalui karya-karyanya. Melalui karya-karyanya itu, seseorang mengenal lebih dalam tentang cara menalarnya dan berusaha untuk memahaminya.Â
Karena pola pikir epistemologi kritisnya yang mampu menggoncang berbagai dogma, teori, dan lain serta mungkin juga akan menggoncang cara berpikir kita secara tradisional selama ini.Â
Popper memiliki nama panjangnya, Karl Raimund Popper. Lahir di Wina, 28 Juli 1902 dari keluarga pengacara yang begitu minat dengan filsafat. Popper seorang guru fisika dan matematika di sekolah menengah.Â
Tidak hanya itu, bahkan ia menjadi seorang professor yang mampu melalangbuana diberbagai universitas. Walau mengajar fisika dan matematika, ia adalah seorang sosialis yang realistis.
Tulisan ini bertolak dari dua sumber primer ini: Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl. R. Popper karya Alfons Taryadi, hal. 86-134, dan Manusia Multi Dimensional -- sebuah renungan filsafat, hal. 82-100, sebuah buku yang dieditori oleh M. Sastrapratedjo.Â
Membaca kedua buku ini, seperti membaca juga buku-buku filsafat yang lain selama hari-hari libur karena Covid-19, seakan-akan bagai seorang arkeolog yang terus menggali masa lalu, dua puluhan tahun lalu dimasa-masa study sebagai seorang mahasiswa.Â
Dari hasil menggali masa lalu dan kemudian merefleksikan dengan situasi kekiniaan, saya mencoba menalar "dunia" menurut Popper dan berusaha untuk menarik konsekuensi logis bagi kita saat ini sebagai sebuah implikasi kontekstual pemikiran Popper.
K. R. Popper 'Menyelami Dunia"
Popper tidak menyebut dunia sama dengan bumi yang kita huni ini. Dunia bagi Popper dipetakan menjadi tiga. Dunia pertama disebutnya sebagai dunia materi, energi, material organis dan inorganis yang dipandang dalam hakekatnya secara fisik.Â
Dunia kedua, Popper menyebutnya sebagai dunia pengalaman kesadaran subyektif, yang didalamnya meliputi proses pemikiran, pengalaman visual, pendengaran, perasaan, dan lain-lain.Â
Dan dunia ketiga dideskripsikan Popper dengan dunia objektif, yang mana terkandung isi logis dari proses berpikir subyektif, dunia teori, penuh argumentatif, situasi problem, kritik, yang dipandang secara in se, bukan per se.
Ide Popper tentang ketiga dunia tadi, rupanya diinspirasi dari Stoici yang membahas tentang bahasa, yang dimiliki oleh manusia. Bagi Stoici bahasa yang dimiliki manusia terdiri dari tiga dunia, yaitu dunia suatu keadaan subyektif, psikologis, dan sejauh pemahaman bahasa yang melibatkan suatu perubahan dalam keadaan subyektif kita (Dunia 1).Â
Dunia kedua, yaitu bahasa yang dimiliki manusia itu sejauh mengandung informasi, mampu menggambar sesuatu, menyampaikan suatu pesan penting yang mengandung efek perubahan lain. Dan terakhir, dunia ketiga adalah bahasa yang bersesuaian atau berbenturan satu dengan yang lainnya.
Dari deskripsi Popper tentang dunia dan Stoici mengenai bahasa, saya mencoba mengelaborasikan gambar dunia menurut Popper dan Stoici dalam bentuk gambar mirip seperti diagram Venn berikut ini.
Dari epistemologi Popper tentang "dunia" tadi, Popper lalu mengatakan bahwa dunia adalah segala hal yang ada, keseluruhan dari yang riil. Lebih lanjut, Popper menyebutkan "dunia" itu memiliki ciri-ciri antara lain: otonom yaitu isi obyektif pikiran (formal being), rasional-obyektif yang didalamnya ada dekripsi dan argumentatif atas dekripsi-deskripsi yang telah digambarkan, tak terbatas yang digambarkan bahwa ada ide dan teori yang keduanya saling bertautan satu sama lain, yang memunculkan ide-ide baru yang terbuka, dan serba mungkin yang berisi dunia formal yang mengandung jamak kemungkinan yang tersembunyi-karena itu "serba mungkin" sebab akan ada kemungkinan lain yang muncul seperti teknologi, tujuan baru dan kebutuhan baru.
Epistemologi Dunia Ketiga Popper
Dalam deskripsi pembahasan Popper tentang dunia, ia lebih banyak berarah pada "Dunia Ketiga". Mengapa? Bagi Popper untuk memahami dunia pertama dan dunia kedua yang telah banyak dibahas oleh para filsuf dan ilmuwan terdahulu, ia membuka wawasan dengan menerobos masuk ke dunia ketiga.Â
Baginya dunia ketiga masih memiliki kemungkinan besar untuk memberikan epistemologi kritis atau pendekatan obyektivis, dengan study ilmiah yang dilakukannya. Sikap kritis Popper itu dibangunnya dengan suatu cara pikir yang tidak biasa yaitu yang disebutnya: "proses problem solving".
Melalui problem solving, Popper memahami epistelomogi tradisonal dan memasukkan pendekatan pengetahuan obyektivis. Popper merumuskan proses problem solving sebagai berikut: P1 -- TT -- EE -- P2. P1 sebagai problem awal atau simbol problem yang menantang pemecahan.Â
TT sebagai teori tentatif, solusi pemecahan yang boleh kita ajukan atau kita uji. EE sebagai error elimination, evaluasi kritis untuk menemukan dan membuang kesalahan. Dan P2 sebagai problem baru atau simbol problem baru yang muncul dari proses yang telah dilalui dan terbuka kemungkinan untuk proses pemecahan selanjutnya.
Dalam proses problem solving ini, hemat Popper bukan pengetahuan subyektif yang digunakan melainkan pengetahuan obyektif-lah yang sangat penting untuk dipakai. Baginya pengetahuan subyektif itu disposisi-disposisi tertentu untuk bertindak yang dibawa sejak lahir dan telah dimodifikasi melalui pengalaman.Â
Artinya pengetahuan subyektif itu lebih pada subyektif dan telah dipengaruhi oleh aspek-aspek lain yang muncul dalam diri, seperti aspek psikologis, dan lain-lain.Â
Sementara pengetahuan obyektif yang dimaksudkan Popper ialah pengetahuan ilmiah seperti halnya teori-teori, problem terbuka, situasi problem dan yang terpenting lagi adalah argumentatif yang dibangun didalam proses teori-teori, dan lain-lain.Â
Pengetahuan obyektif terbuka terhadap kritik, sementara pengetahuan subyektif terbuka terhadap kritik jika pengetahuan itu sudah dalam bentuk pengetahuan obyektif seperti tulisan yang telah dicetak.
Membaca kedalaman Makna Rumusan Problem Solving Popper
Banyak ilmuwan dan para ahli dari disiplin ilmu lain berusaha untuk mendalami problem solving Popper, lalu menerapkannya dalam disiplin ilmu yang digeluti mereka. Hal semacam ini diakui Popper, namun sebelumnya Popper tidak menduga bahwa ini akan terjadi.Â
Menariknya bahwa apa yang dilakukan Popper dapat dijalankan oleh para ilmuwan berikutnya. Tidak menariknya bahwa ilmuwan yang mempraktekkan problem solving Popper untuk mengkritisi teori-teori atau hipotesa baru yang dimilikinya kemudian  membatalkannya sendiri atas teori atau hipotesa awal yang dirumuskan ilmuwan itu sendiri.
Dari pola pemahaman epistemologi Popper yang sungguh luar biasa itu, kita boleh menarik maknanya bahwa, pertama, hidup manusia itu dililiti oleh problem. Problem apapun bentuknya. Dan problem-problem itu dituntut untuk dipecahkan. Tanpa pemecahan maka dunia terus menerus dipandang sebagai "medan problematika".
Sejarah kesadaran manusia dibelit oleh problem masa lalu dan akan terlilit terus hingga masa depan. Maka tidaklah heran Popper menyebut bahwa satu ujung sejarah, kini ada ditangan kita.Â
Penyelesaikan problem, sama seperti mengikuti ujung sejarah yang satunya. Problem corona yang mewabah sekarang pun hemat saya sebagai problem yang telah menyejarah. Dulu ada, kini ada, dan mungkin akan ada di masa depan.Â
Dulu problem itu telah dipecahkan masalahnya, muncul sekarang yang sedang dalam proses penyelesaian dengan usaha para ahli viriologi untuk menemukan antibodi virus corona.Â
Pertanyaan untuk kita ialah bagaimana jika para ahli viriologi tidak menemukan antivirus corona, padahal hampir seluruh negara maju dengan teknologi post modern yang canggih sudah beberapa bulan ini berusaha untuk menemukan? Ada apa dengan virus corona?
Kedua, dalam problem-problem yang kita hadapi, didalamnya kita belajar. Mungkin tidak hanya dengan belajar, tetapi menghidupinya sendiri. Hidup akhirnya berujung pada penyelesaian problem-problem.Â
Maka dalam proses itu, akan tumbuh yang namanya nilai-nilai. Nilai kebersamaan dan keselamatan akan diterima oleh segenap manusia, jika ada ahli viriologi yang menemukan antibodi virus corona.Â
Mungkin tidak hanya nilai-nilai itu, nilai ekonomis dan nilai permintaan dan penawaran akan muncul dengan sendirinya. Begitu juga akan nilai-nilai lain yang tersembunyi didalamnya, akan muncul dengan tak terduga.
Ketiga, nilai-nilai hidup yang lahir dari proses pemecahan problem menjadi dasar yang mendorong seseorang untuk proses penyelesaian situasi problem berikutnya.Â
Disinilah pengalaman menjadi soko guru yang berpengaruh-karena itu pengalaman obyektif melahirkan pengetahuan yang obyektif dan selanjutnya akan menjadi pertalian pengetahuan ilmiah.Â
Sangat keliru jika corona muncul di Wuhan karena orang Wuhan makan daging-daging yang dijual bebas di pasar Wuhan, tetapi ketika diteliti hewan-hewan yang menjadi pusat penularan virus corona, tidak ditemukan penyebab utamanya.Â
Lalu dari mana virus corona? Apakah ini sebagai sesuatu yang misterius atau sesuatu problematika? Ingat bahwa sesuatu yang misterius, misalnya corona, tak akan ditemukan seluruhnya, sebagian tetap dalam misteri. Tetapi sesuatu itu, misalnya corona sebagai sebuah problematika, pasti akan ditemukan penyelesaiannya, dengan penemuan antibodi virus corona.Â
Hanya waktu dan ruang yang belum menjawab kepastian penemuan penyelesaian problem itu. Karena itu, penyelesaian masalah corona hemat saya mengikuti epistemology Popper dengan masuk dalam dunia ketiga dengan pendekatan pengetahuan obyektif, bukan pengetahuan subyektif.
Keempat, manusia menjadi pusat nilai-nilai. Karena berpengalaman dalam pemecahan problematika, bukan misteri. Pengalaman pemecahan problem, manusia menjadi pribadi manusia itu sendiri. Akar kepribadian manusia dibentuk oleh dunia ketiga Popper. Karena ketika manusia bertindak dan mampu mendeskripsikan dirinya dengan argumentatif, manusia akan mengetahui dirinya dan mengetahui kepribadian sesamanya.**
Selamat bermenung di tengah hamparan pencegahan virus Corona. Semoga badai corona cepat berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H