Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

La Peste Camus dan Corona Indonesia

17 April 2020   14:38 Diperbarui: 17 April 2020   14:40 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dialog dengan La Pesta Camus

La Peste, artinya penyakit sampar. La Peste juga adalah salah satu novel karya A. Camus. Tahun terbit novel ini 1947 setelah perang dunia kedua. Tetapi sebenarnya novel ini ditulis oleh Camus dalam situasi perang dunia kedua di Oran, Aljazair. Ketika Camus berada disana selama perang dunia kedua, sebagai anggota tentara sekutu, yang terpisah dengan anggota keluarganya di Prancis. Aljazair adalah Negara jajahan Prancis saat itu.

Dalam novel La Peste, Camus menulis demikian: "Kata sampar terdengar pertama kalinya. Karena berita ini, B. Rieux termangu di belakang jendela kamarnya. Orang akan mentolerir si pengarang untuk membenarkan ketidak-pastian dan kebenaran sang dokter, karena dalam arti tertentu, reaksinya adalah reaksi yang wajar dari sebagian besar penduduk. Wabah itu sebenarnya merupakan hal yang lumrah, tetapi sulit untuk dipercaya jika wabah itu menimpa kepala Anda sendiri" (M. Sastrapratedja: 1983, 15).

Cuplikan novel Camus ini kita boleh mengambil beberapa hikmah sebagai sebuah epitemologi kritis atas teks novel ini. Pertama, sampar adalah salah satu jenis penyakit menular. Sampar mewabah di Oran setelah perang usai. Mungkin sampar ini muncul akibat dari lucutan amunisi tentara yang terbawa angina yang dalam kondisi tertentu berinteraksi dengan unsur-unsur lain sehingga membentuk satu jenis penyakit menular ini.

Kedua, sampar ini menular kepada penduduk Oran termasuk kepada anak-anak yang belum mengenal penyakit ini. Mewabahnya penyakit ini sebagai sebuah realitas nyata, bukan realitas yang terrekayasa. Karena gambar Camus atas realitas nyata ini, Camus dipandang sebagai seorang eksistensialis, walau kemudian hari dinegasikan oleh banyak filsuf eksistensialis.

Ketiga, sampar membawa penduduk Oran dengan beragam reaksi. Ada reaksi negatif tetapi ada reaksi positif yang menjadi sebuah harapan baru. Reaksi negatif bahwa akibat mewabah sampar, banyak penduduk yang meninggal dunia termasuk anak-anak. Coba kita bayangkan, kematian akibat perang dunia ditimpal lagi dengan kematian akibat sampar. Mengerikan memang!

Reaksi positif yang diharapkan penduduk Oran ialah supaya para dokter dapat menemukan obat dan mampu mencegah kematian akibat sampar. Para dokter berusaha untuk pelayanan kesehatan disatu sisi, dan disisi yang lain pendiduk Oran secara pribadi dan keluarga, menjaga kesehatan dan mengambil jarak dalam perjumpaan.

Keempat, masih berkaitan erat dengan poin ketiga yaitu reaksi penduduk secara psikologis yaitu ketakutan, cemas, kebingungan, dan tidak mau keluar dari rumah, sulit berjumpa dengan orang lain, dan efek lebih lanjut, bisa jadi kematian karena kelaparan. Lukisan situasi psikologis penduduk Oran oleh Camus dalam novelnya ini, kemudian membawa Camus, yang disebut W. Kaufmann sebagai seorang yang absurd (M. Sastrapratedja, 1983, 18-19).

Absurditas Camus versus Realitas Corona Indonesia

Sampar yang tiba-tiba mewabah di Oran setelah usai perang dunia kedua, menambah traumatis penduduk setempat. Perang dunia kedua yang memporakporandakan sarana prasarana Oran, seakan penduduk didorong untuk merehabilitasi kotanya. Namun, rentetatan dari itu, penduduk Oran yang menjadi subyek pembangun sarana prasarana itu dihantam lagi oleh sampar. Kota jadi sepi. Kota jadi ketiadaan sarana prasarana. Chaos Inilah yang menambah keparahan suasana hati Camus.

Camus terbelenggu dalam situasi chaos disatu pihak namun dipihak lain, realitas nyata sungguh-sungguh dialaminya. Walau Camus sebagai seorang eksistensialis (biarpun saya sendiri ragu karena eksistensialis karena situasional), Camus sendiri jatuh dalam cara berpikir Nietzsche bahwa melihat sistuasi seperti itu, Allah sudah mati seperti pernah dikatakan Nietzsche diakuinya di kota Oran. Konsep inilah yang memasukan Camus dalam aliran absurditas.

Tentu saja cara pandang Camus tentang situasi sampar di Oran, membawa Camus terlihat sebagai seorang pribadi yang cemas, ragu, ketakutan dan pesimis.

Mungkin karena didorong oleh situasi kesendirian. Dalam kesendirian itu, dialog hanya dengan dirinya sendiri. Mungkin benar yang dikatakan oleh Karl R. Popper tentang perkembangan sebuah epistemologi kritis pada diri seseorang. Bahwa pengetahuan yang bersifat apriori lahir dari suatu bergulatan dengan diri sendiri (Alfons Taryadi: 1991, 24-26).

Dari kesendirian yang berpengetahuan karena refleksi kritis, ketika suatu realitas besar yang terjadi (wabah sampar), seakan-akan epistemologi kritis yang dibangunnya, runtuh total. Dialog dengan diri sendiri kalah atas realitas yang mewabah. Empirisisme kritis yang dilihat Camus yaitu wabah sampar jauh lebih kuat daripada epistemologi kritis dari dirinya sendiri.

Belajar dari pengalaman Camus lalu melihat situasi mewabahnya Corona di Indonesia, kita patut mengangkat jempol atas beberapa hal yang mungkin menjadi refleksi kritis kita bersama.

Pertama, suasana Oran berbeda sekali dengan suasana Indonesia. Oran baru selesai menjadi medan perang dunia kedua. Indonesia sekarang tidak. Tetapi lagi dalam perang ide-ide, perang persaingan pembangunan, perang perjuangan mendapat kehidupan yang layak dan lain-lain. Dalam perang begitu, wabah corona muncul.

Wabah corona menambah perang lagi.

Dalam dialektika perang itu, prioritas perang berujung pada perang melawan corona. Masyarakat Indonesia diminta oleh Negara untuk bersama-sama mengikuti peraturan melawan corona sebagai sebuah proses dalam perang bersama. Perang bersama itu kini dalam bentuk, mengikuti permintaan pemerintah seperti: social distancing, physical distancing, kerja dari rumah, belanja dari rumah, selalu mencuci tangan, menjemur di matahari pagi jam 10.00, dan lain-lain. Semua perang ini agar Corona kalah, dan situasi pulih serta kehidupan kita berjalan normal lagi.

Kedua, suasana psikologis yang dialami oleh penduduk Oran seperti yang dilukiskan Camus, mirip dengan situasi Indonesia juga. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada banyak masyarakat kita yang ketakutan, cemas, kuatir, bingung, dan stress. Situasi ini membawa dua dampak akan kehidupan masyarakat. Takut, cemas, kuatir, bingung dan stress jika terkenal Corona. Terkenal Corona sama dengan tidak bisa melakukan aktivitas, penyembuhan memakan banyak waktu, diawasi, dan tidak bisa dikunjungi oleh keluarga. Sementara itu, keterbatasan para medis, sarana prasarana dan proses pemeriksaan yang lama.

Ketiga, beda dengan sampar di Oran yang hanya terjadi Oran. Sementara Corona mewabah secara global, seluruh dunia. Anehnya, Corona hampir empat bulan mewabah, ahli-ahli kesehatan dunia belum dapat menemukan antibodi. Ini juga mencemaskan dan menakutkan semua penduduk dunia tetapi sekaligus mendorong para ahli kesehatan bekerja keras untuk menemukan antibodi.

Keempat, hebatnya bahwa masyarakat Indonesia tidak jatuh dalam sikap absurditas seperti yang dialami oleh Camus. Karena penduduk Indonesia adalah masyarakat regiusitas yang tinggi maka keterlibatan secara tidak langsung dalam pencegahan Corona dengan berdoa dan beribadah baik secara pribadi maupun bersama keluarga di rumah. Menjalankan regiusitas inilah yang oleh para ateisme mengkritiknya sebagai sebuah kesia-siaan. Namun sebagai masyarakat beragama, yang dilindungi oleh Negara, menjalankan kewajiban sebagai orang religious adalah wajib bagi Negara. Inilah hal positif yang dialami masyarakat Indonesia.

Refleksi kritis atas pengalaman Camus dan situasi Indonesia yang diwabahi oleh Corona, semestinya dalam situasi ketakutan, kecemasan, kesendirian dan stress, batin religious kita harus terpancar yang mendorong internal diri untuk melakukan sesuatu yang berguna entah itu menjalankan ibadah, melakukan amal kasih, ataupun taat pada Negara.

Tetapi juga mestinya harus ada kesempatan khusus untuk membangun dialog yang bersifat dialogis baik dengan diri sendiri maupun dengan pribadi yang kita yakini sebagai Tuhan atau Allah kita. Dialog dengan diri sendiri melahirkan cermin reflektif atas apa yang sudah kita jalankan selama "masa tahanan". Sementara dialog dengan pribadi yang kita yakini itu melahirkan perilaku yang konstruktif, yang terpancar dalam wajah "pejuang" kehidupan.**

Referensi:

M. Sastrapratedjo, Manusia Multi Dimensional - sebuah renungan filsafat, Gramedia: Jakarta, 1983.

Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper, Gramedia: Jakarta, 1991.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun