Guru sejarah SD itu seorang yang hebat. Ia mengajarkan bahwa merdeka itu ada dua, yaitu merdeka dari... dan merdeka untuk... Rasanya, sangat sederhana guru itu mengajarkan arti merdeka ini. Dan hebatnya, waktu itu banyak anak tidak tanya-tanya lagi. Langsung terima dan kalau ada ulangan atau ujian ditanya dalam soal, jawabannya seperti diajarkan guru tadi. Guru, sangat beruntung sekali waktu itu, sebab murid-muridnya belum berani atau belum mampu menalar dengan lebih dalam.
Merdeka dari...
Dimakudkan guru itu ialah merdeka dari...ialah bebas dari para penjajahan. Waktu itu yang dicatat dalam buku sejarah penjajahan dilakukan oleh Belanda dan Jepang. Inggris juga, namun hanya singgah sebentar saja lalu malahan berbelok ke negara tetangga kita yang kemudian membentuk negara-negara persemakmuran Inggris: Singapura dan Malaysia sekarang ini. Tidak pernah diajarkan bahwa penjajahan itu ‘orang kita sendiri.’ Orang kita hanya diajarkan guru, bahwa sebagai pengusir para penjajah dengan strategi yang bagus dan dengan peralatan perang yang sederhana yaitu bambu runcing.
Jika dipikir-pikir, sangat hebat sekali bangsa kita ini. Mampu melawan para penjajah dengan bambu runcing. Apakah sesederhana inikah bangsa kita ini melawan para penjajah dengan senjata yang sudah modern saat itu? Disatu sisi, bangsa ini begitu hebat dalam mengatur strategi. Dan strategi inilah yang mampu membuat penjajah hekang dan terpuruk. Bom dan senjata api yang dimiliki penjajah ternyata hanya mampu melumpuhkan rumah dan warga tetapi tidak melumpuhkan semangat juang bangsa dan negara. Apalagi melumpuhkan semangat tokoh-tokoh pejuang bangsa kita saat itu, seperti Soekarno dan Moh. Hatta, masih banyak tokoh lain-lainnya. Disisi lain, jalan diplomasi yang ditempuh tokoh-tokoh besar bangsa kita saat itu, dipandang sebagai jalan yang hebat. Jalan inilah yang patut dihormati, dihargai dan dijunjung tinggi. Diplomasi dalam berpolitik ini menuaikan kemenangan yang gemilang hingga Soekarno dan Moh. Hatta berani untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Merdeka untuk...
Yang mendasar pada ‘merdeka untuk...’ adalah bangsa ini mau mengatur dirinya sendiri, tanpa campurtangan pihak lain yaitu pihak di luar bangsa sendiri. Itu berarti benar juga kata bung Karno waktu itu: BerDiKaRi: Berdiri Diatas Kaki sendiRi. Dengan slogan ini, kosekuensi logisnya ialah mempertahankan negara tidak lagi hanya prajurit perang tapi prajurit perang adalah rakyat. Rakyat adalah pelaku negara ini yang juga mempunyai kewajiban menjaga, mempertahankan, dan membela negara RI dari para penjajah di muka bumi ini. Pemaham sejarah bangsa dan negara semacam ini, akan bernilai seratus diberikan oleh para guru, kusuma bangsa yang mendapat gelar pahlawan tanpa tanda jasa, walau gelar ini jarang didengungkan saat ini.
Refleksi kebelet nakal...
Kalau mau, segala ajaran sejarah perlu direview kembali, dengan syarat, setiap kata yang tertulis dan terucap harus dikritisi dalam kerangka menelusuri kebenaran sejarah dan kebenaran cara mengajar sejarah yang benar.
Mengapa? Tanpa dikritisi terhadap ajaran sejarah bangsa dan negara ini, akan tercatat dalam relung hati anak bangsa dan negara ini, bahwa sebuah sejarah bangsa dan negara ini akan memendamkan rasa sakit hati, ketika anak bangsa dan negara ini terhempas dengan segala realitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam negeri ‘Merah-Putih’ ini.
Pertama, merdeka dari...hampir seluruh anak bangsa dan negara dewasa ini, kalau ditanya apakah kita sudah merdeka dari para penjajah? Saya cukup berani dan yakin, bahwa jawaban yang didapat adalah ‘belum merdeka dari...’ Bahkan mungkin saja dijawab, merdeka dari...hanya sebuah slogan isapan jembol kita sendiri. Tetapi kenyataannya, dimana-mana merdeka dari...tidak pernah ada, hanya utopiah melulu. Mana merdeka dari para penjajah? Para penjajah luar negeri, benar sudah diusir dari bumi Pancasila. Namun benarkah tidak ada penjajah lagi? Para penjajah kini hadir dalam berbagai bentuk.
Salah satu bentuk yang sekarang menjadi musuh bersama ialah narkoba. Ada berapa banyak norkoba yang diimpor dari luar negeri dan masuk ke dalam bangsa dan negara yang plural agama ini? Penjajah berubah fisik, dari orangnya langsung menjajah, kini dalam bentuk barang jahat yang lebih merusak bangsa dan negara ini secara sistemik, halus, namun dahsyat dan sangat berbahaya. Lebih baik orangnya langsung datang menjajah daripada melalui media dan cara yang rahasia, yang susah didapat walaupun terkuras begitu banyak strategi yang sudah dibuat oleh berbagai pihak untuk menggagalkan, toh tetap gagal. Strategi pengusiran penjajah dulu dibilang sangat hebat, tetapi kini sangat lemah dan kalah, bila berhadapan dengan pengimpor narkoba. Mengatur diri sendiri karena sudah merdeka, tetapi justru dapat diatur oleh orang lain dari luar yang memiliki banyak modal. Tentu tidak hanya narkoba. Masih banyak yang lain, seperti pengelolahan hasil tambang gas dan minyak, dan barang-barang tambang yang lain yang dikelola oleh negara-negara lain.
Lalu apakah benar sudah merdeka dari....? Bagaimana dengan penguasaan dan penguasa domestik, bukankah ini juga boleh disebut penjajah, sebagai bentuk lain, seperti pengimporan narkoba tadi? Tidak akan pernah merdeka dari...hal ini, selama cara pandang tentang keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kesejahteraan lahir batin seperti yang digarisbawahi UUD 1945, dengan cara pandang banyak uang maka keadilan, kebenaran dan kejujuran bisa dibeli. Atau cara pandang kesejahtera lahir batin adalah tanggungjawab diri sendiri, tanpa mempertimbangkan dan peduli terhadap orang atau daerah lain, yang masih jauh dari pembangunan baik fisik maupun mental. Padahal sudah sangat jelas amanat UUD 1945: bumi, air, dan segala isinya dikuasai oleh negara dan dikelola untuk kepentingan bangsa dan negara ini.
Merdeka dari domestik? Mungkin perlu dicatat disini dengan noktha biru. Setiap kali menjelang HUT RI, banyak sekolah disibukan dengan berbagai persiapan latihan baris berbaris, latihan apel bendera, persiapan berbagai pawai dan karnaval, dan seterusnya. Bahkan setelah HUT RI pun masih banyak sekolah atau pegawai kantoran yang praktis masuk pagi lalu siap ini dan itu untuk pawai-karnaval, jelas bahwa mereka bekerja tidak maksimal. Belum dicatat banyak dana yang keluar yang hanya memeriahkan HUT. Coba kalau dana itu untuk menolong anak-anak sekolah yang tidak mampu atau banyak orang sakit yang sulit membiayai Rumah Sakit atau untuk memperbaiki infrastrukur daerah terpencil yang masih jauh dari harapan. Belum lagi, ketika apel 17 Agustus, banyak anak-anak sekolah dan pegawai bawahan bejemur di panas-panas sedangkan yang lain duduk atau berdiri manis di atas podium dengan tenda yang bertuliskan Dirgahayu RI ke-70.
Apakah realitas semacam ini tidak menimbulkan dendam kusumat dalam diri penerus pembangunan bangsa dan negara ini? Terlihat sederhana, namun jika diulang terus menerus, selama 70 tahun, tentu akan melahirkan rasa dendam sepanjang sejarah. Lalu siapa yang bilang sudah Merdeka dari....? Merdeka dari... rasanya hanya sebuah keniscahyaan saja.
Kedua, merdeka untuk...Merdeka untuk... hanya untuk mereka yang memiliki power dan atau superbody dalam bangsa dan negara ini. Yang tidak memiliki power dan atau superbody akan ‘tergilas’ dengan roda-roda tank. Masyarakat yang memiliki tanah, mengolah tanah saja sangat sulit. Hutan yang dulu katanya dilindung negara agar hutan negara sebagai sumber kesegaran bangsa atau poros sumber air, kini tergilas tank-tank besi untuk membuka lahan seluas yang dipatokkan untuk menanam sawit dan lain-lain. Padahal kebun-kebun sawit itu adalah milik orang lain diluar bangsa dan negara ini. Penjajah baru dalam bentuk kaki tangan domestik untuk menguasai hajat hidup orang banyak di negeri burung Garuda. Beruntung burung Garuda Indonesia yang ada di dinding kantor, tidak bisa terbang mematuk penjajah baru sawit di dalam kantor-kantor kebun sawit. Beruntung juga burung Garuda Indonesia, tidak bersuara. Jika ia bisa terbang dan bersuara, saya yakin, burung Garuda Indonesia itu, akan menjerit dan berontak, jangan jajah negeri saya ini. Pergi kamu, kami mau BerDiKaRi! Nasib paling malang adalah burung Garuda Indonesia yang bisa terbang, yang mampu mengangkut para penjajah baru yang datang ke Indonesia atau yang berbedol ke desa-desa, dengan strategi yang tersembunyi dan atas dasar motivasi pembangunan untuk rakyat Indonesia, padahal kenyataannya mau menguasai tanah petani-petani untuk membuka lahan sawit.
Tidak hanya itu, iming-iming memerdekakan rakyat dengan bea cukai masuk impor sapi, tahu-tahu sapi yang diimpor pun masih disembunyikan supaya kesulitan rakyat mencari daging sapi, sehingga pasaran daging sapi melejit tinggi dihariraya keagamaan atau momen-momen tertentu. Ujung-ujungnya, rakyat hanya bermimpi buruk makan daging sapi. Daging sapi khusus untuk yang berduit saja. Apa masih mau dibilang merdeka untuk....untuk siapa?
Revolusi Mental: Gong yang berkumandan....hampir sirna bunyinya
Revolusi Mental yang dikumandankan diawal pencalonan presiden, hampir-hampir tak terdengar lagi. Suram! Suam-suam kuku. Memang tidak gampang, itulah yang harus diakui. Memimpin sebuah bangsa dan negara yang begini luas katanya dengan visi-misi yang praktis pun, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sentralisasi sudah menjadi desentralisasi. Muncul raja-raja baru di daerah-daerah. Komando atasan belum tentu segaris lurus dengan sebuah garis tegak lurus dalam sebuah segitiga siku-siku.
Maka sangat perlu sekali bahwa ‘turun ke bawah’ dan ‘membuka kantor’ di daerah-daerah, walau beban transportasi tinggi, namun ini pun sangat penting. Mengapa? Supaya komando pusat, terpusat dan terpadu juga dalam pelaksanaan di daerah-daerah. Karena banyak daerah yang minus anggaran daerahnya, malahan berharap peti kemas datang dari pusat. Harapan ini sangat jelas sekali bahwa utang negara di luar negeri pun akan meloncat kegirangan.
Revolusi Mental, telah ditabu. Gelimangan suara telah mensukseskan menjadi presiden. Ini namanya janji dan sekaligus sebuah kontrak jiwa anak bangsa. Jika hembusan revolusi mental ini tidak diejawantahkan dalam realitas, yang ada hanya hembusan saja, maka lima tahun menjadi pemimpin akan lebih menyakiti janji dan kontrak jiwa anak bangsa. Antusiasme anak negeri ini, terhempas dalam kalbu, dan akan tertidur nyenyak merindukan seorang pejuang bangsa kala tahun 1920-1945, walaupun saat itu para pejuang ini hanya beridealisme BerDiKaRi.
BerDiKaRi memang idealisme para pejuang Kemerdekaan Bangsa dan negara ini. Hemat saya, supaya BerDiKaRi, revolusi mental yang dikumandankan ini segera dijalankan. Teriakan revolusi mental dimimbar atau podium tidak akan mengubah panorama situasi bangsa dan negara saat ini. Malahan sampai suara hilang dan menjadi bisu pun tak akan terjadi yang namanya sebuah perubahan yang signifikan. Karena itu revolusi mental perlu aksi nyata. Darimana aksi nyata itu dimulai? Yang paling mendasar ialah proses pendidikan karakter bangsa yang dimulai dari keluarga dan keluarga menjalankan pola ‘duduk makan bersama dalam keluarga.’ Hal yang sama pun harus dilakukan aksi nyata didalam setiap sekat-sekat perkantoran. Disinilah pola kepemimpinan teruji. Disini juga pola kepemimpinan terlatih dan terbiasa dalam hal corektio fraternal (dibaca: saling koreksi satu sama lain).
Jika sebuah slogan tanpa aksi nyata yang benar-benar nyata, publik akan memendamkan semangat untuk ikut dalam proses pemilu yang akan datang. Bahkan mungkin ‘masa bodoh’ dengan sebuah rutinitas perhelatan limatahunan nanti. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H