Lalu apakah benar sudah merdeka dari....? Bagaimana dengan penguasaan dan penguasa domestik, bukankah ini juga boleh disebut penjajah, sebagai bentuk lain, seperti pengimporan narkoba tadi? Tidak akan pernah merdeka dari...hal ini, selama cara pandang tentang keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kesejahteraan lahir batin seperti yang digarisbawahi UUD 1945, dengan cara pandang banyak uang maka keadilan, kebenaran dan kejujuran bisa dibeli. Atau cara pandang kesejahtera lahir batin adalah tanggungjawab diri sendiri, tanpa mempertimbangkan dan peduli terhadap orang atau daerah lain, yang masih jauh dari pembangunan baik fisik maupun mental. Padahal sudah sangat jelas amanat UUD 1945: bumi, air, dan segala isinya dikuasai oleh negara dan dikelola untuk kepentingan bangsa dan negara ini.
Merdeka dari domestik? Mungkin perlu dicatat disini dengan noktha biru. Setiap kali menjelang HUT RI, banyak sekolah disibukan dengan berbagai persiapan latihan baris berbaris, latihan apel bendera, persiapan berbagai pawai dan karnaval, dan seterusnya. Bahkan setelah HUT RI pun masih banyak sekolah atau pegawai kantoran yang praktis masuk pagi lalu siap ini dan itu untuk pawai-karnaval, jelas bahwa mereka bekerja tidak maksimal. Belum dicatat banyak dana yang keluar yang hanya memeriahkan HUT. Coba kalau dana itu untuk menolong anak-anak sekolah yang tidak mampu atau banyak orang sakit yang sulit membiayai Rumah Sakit atau untuk memperbaiki infrastrukur daerah terpencil yang masih jauh dari harapan. Belum lagi, ketika apel 17 Agustus, banyak anak-anak sekolah dan pegawai bawahan bejemur di panas-panas sedangkan yang lain duduk atau berdiri manis di atas podium dengan tenda yang bertuliskan Dirgahayu RI ke-70.
Apakah realitas semacam ini tidak menimbulkan dendam kusumat dalam diri penerus pembangunan bangsa dan negara ini? Terlihat sederhana, namun jika diulang terus menerus, selama 70 tahun, tentu akan melahirkan rasa dendam sepanjang sejarah. Lalu siapa yang bilang sudah Merdeka dari....? Merdeka dari... rasanya hanya sebuah keniscahyaan saja.
Kedua, merdeka untuk...Merdeka untuk... hanya untuk mereka yang memiliki power dan atau superbody dalam bangsa dan negara ini. Yang tidak memiliki power dan atau superbody akan ‘tergilas’ dengan roda-roda tank. Masyarakat yang memiliki tanah, mengolah tanah saja sangat sulit. Hutan yang dulu katanya dilindung negara agar hutan negara sebagai sumber kesegaran bangsa atau poros sumber air, kini tergilas tank-tank besi untuk membuka lahan seluas yang dipatokkan untuk menanam sawit dan lain-lain. Padahal kebun-kebun sawit itu adalah milik orang lain diluar bangsa dan negara ini. Penjajah baru dalam bentuk kaki tangan domestik untuk menguasai hajat hidup orang banyak di negeri burung Garuda. Beruntung burung Garuda Indonesia yang ada di dinding kantor, tidak bisa terbang mematuk penjajah baru sawit di dalam kantor-kantor kebun sawit. Beruntung juga burung Garuda Indonesia, tidak bersuara. Jika ia bisa terbang dan bersuara, saya yakin, burung Garuda Indonesia itu, akan menjerit dan berontak, jangan jajah negeri saya ini. Pergi kamu, kami mau BerDiKaRi! Nasib paling malang adalah burung Garuda Indonesia yang bisa terbang, yang mampu mengangkut para penjajah baru yang datang ke Indonesia atau yang berbedol ke desa-desa, dengan strategi yang tersembunyi dan atas dasar motivasi pembangunan untuk rakyat Indonesia, padahal kenyataannya mau menguasai tanah petani-petani untuk membuka lahan sawit.
Tidak hanya itu, iming-iming memerdekakan rakyat dengan bea cukai masuk impor sapi, tahu-tahu sapi yang diimpor pun masih disembunyikan supaya kesulitan rakyat mencari daging sapi, sehingga pasaran daging sapi melejit tinggi dihariraya keagamaan atau momen-momen tertentu. Ujung-ujungnya, rakyat hanya bermimpi buruk makan daging sapi. Daging sapi khusus untuk yang berduit saja. Apa masih mau dibilang merdeka untuk....untuk siapa?
Revolusi Mental: Gong yang berkumandan....hampir sirna bunyinya
Revolusi Mental yang dikumandankan diawal pencalonan presiden, hampir-hampir tak terdengar lagi. Suram! Suam-suam kuku. Memang tidak gampang, itulah yang harus diakui. Memimpin sebuah bangsa dan negara yang begini luas katanya dengan visi-misi yang praktis pun, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sentralisasi sudah menjadi desentralisasi. Muncul raja-raja baru di daerah-daerah. Komando atasan belum tentu segaris lurus dengan sebuah garis tegak lurus dalam sebuah segitiga siku-siku.
Maka sangat perlu sekali bahwa ‘turun ke bawah’ dan ‘membuka kantor’ di daerah-daerah, walau beban transportasi tinggi, namun ini pun sangat penting. Mengapa? Supaya komando pusat, terpusat dan terpadu juga dalam pelaksanaan di daerah-daerah. Karena banyak daerah yang minus anggaran daerahnya, malahan berharap peti kemas datang dari pusat. Harapan ini sangat jelas sekali bahwa utang negara di luar negeri pun akan meloncat kegirangan.
Revolusi Mental, telah ditabu. Gelimangan suara telah mensukseskan menjadi presiden. Ini namanya janji dan sekaligus sebuah kontrak jiwa anak bangsa. Jika hembusan revolusi mental ini tidak diejawantahkan dalam realitas, yang ada hanya hembusan saja, maka lima tahun menjadi pemimpin akan lebih menyakiti janji dan kontrak jiwa anak bangsa. Antusiasme anak negeri ini, terhempas dalam kalbu, dan akan tertidur nyenyak merindukan seorang pejuang bangsa kala tahun 1920-1945, walaupun saat itu para pejuang ini hanya beridealisme BerDiKaRi.
BerDiKaRi memang idealisme para pejuang Kemerdekaan Bangsa dan negara ini. Hemat saya, supaya BerDiKaRi, revolusi mental yang dikumandankan ini segera dijalankan. Teriakan revolusi mental dimimbar atau podium tidak akan mengubah panorama situasi bangsa dan negara saat ini. Malahan sampai suara hilang dan menjadi bisu pun tak akan terjadi yang namanya sebuah perubahan yang signifikan. Karena itu revolusi mental perlu aksi nyata. Darimana aksi nyata itu dimulai? Yang paling mendasar ialah proses pendidikan karakter bangsa yang dimulai dari keluarga dan keluarga menjalankan pola ‘duduk makan bersama dalam keluarga.’ Hal yang sama pun harus dilakukan aksi nyata didalam setiap sekat-sekat perkantoran. Disinilah pola kepemimpinan teruji. Disini juga pola kepemimpinan terlatih dan terbiasa dalam hal corektio fraternal (dibaca: saling koreksi satu sama lain).
Jika sebuah slogan tanpa aksi nyata yang benar-benar nyata, publik akan memendamkan semangat untuk ikut dalam proses pemilu yang akan datang. Bahkan mungkin ‘masa bodoh’ dengan sebuah rutinitas perhelatan limatahunan nanti. ***