Sebagai lambang yang mengandung makna budaya sebagaimana jelas diuraikan bahwa tertawa selalu berkonteks dan berlangsung dalam sebuah proses dan plot. Konteks sosial yang secara khussu dimaksudkan untuk membangkitkan tertawa secara utuh dan menyeluruh terdapat dalam drama komedi.Â
Sebagai drama, komedi hanya lengkap dan menemukan hakikarnya bila dilakonkan atau dipergerakkan-sifat inilah yang menyebabkan drama komedi maupun tragedi disebut sebagai sebuah lakon. Dengan demikian, pada dasarnya komendi merupakan seni sastra yang sangat terikat pada akar budaya yang menumbuhkan dan menikmatinya.
Marilah sejenak kita tinjau referensi lebih khusus. Buku-buku istilah sastra A Glossary of Literary Terms (1998:13) memuat definisi berikut istilah komedi zaman sekarang biasanya dipergunakan untuk menyebut karya-karya drama yang watak-wataknya memperoleh olok-olok atau cemooh, yang sedemikian terarah dan teraturnya hingga dapat mengasyikkan dan menyenangkan para penonton dengan tanpa membangkitan rasa sepenanggungan atau iba hati dan berakhir menggembirakan bagi watak-watak utamanya.Â
Definisi secara terpilah dapat disebutkan bahwa pertama, tertawaan adalah karakter atau watak-watak dalam cerita kedua, tertawa merupakan olok-olok atau cemooh ketiga tertawa sebagai tanda senang hati penonton keempat olok-olok atau cemooh itu sendiri menimbulkan rasa iba atau sepenanggungan di kalangan para penonton dan kelima akhir bahagia dari cerita berlaku bagi watak-watak cerita-tidak ada karakter yang tersiksa dan hancur hatinya pada akhir pertunjukkan. Bagaimana cerit itu sendiri berakhir tidak diungkapkan karena tidak dirinci bagaimana tokoh-tokoh utama dalam cerita mencapai akhir bahagia, meskupun disebutkan  bahwa dikalangan penonton tidak tergugah atau iba hati.
Unsur-unsur olok-olok, tawa dan tanpa iba hati merupakan bagian pook dalam pemahaman komedi sejak lahirnya studi sastra yang dipelopori Aristoteles dalam Poetika. Dalam studi sastra tertua itu disebutkan ecara singkat bhwa tanpa iba hati dimungkinkan oleh kesadaran penonton bahwa olok-olok atau cemoohannya tidak menghancurkan ataupun menimbulkan kesedihan pada karakter dari cerita. Lalu olok-olok macam manakah yang tidak mendatangkan kesedihan tersebut?
Poetika, pandangan tentang komedi
Komedi seperti telah dipaparkan adalah penghiburan insan-insan yang dapat dikatakan buruk, tetapi bukan dalam artian jahat, melainkan bertampang jelek atau reot, yang dapat mengundang tertawa. Dengan demikian, yang mengundang tertawa itu adalah sesuatu kesalahan atau kejelekkan yang tidak menyedihkan atau menghancurkan hidup. Sebagai contoh, topeng mengundang tawa adalah bertampang jelek dan menggambarkan kereotan, tetapi tidak menimbulkan pedih (Poetika V, 35-36)
Dari kutipan diatas jelas bahwa olok-olok yang tidak menghancurkan hidup atau mendatangkan kesedihan bagi para penyandangnya adalah keanehan tampang, kereotan wajah topeng. Unsur ini sangat penting dalam uraian Arstoteles karena Komedi Yunani tak terpisahkan dari topeng dan pakaian mencolok-sebagaimana jelas pada komedi-komedi karya Aristophanes.Â
Selain menapilkan yang jelek, badutan, komedi juga mempertunjukkan kehidupan yang lebih buruk ari kehidupan nyata tetapi bukan dalam artian jahat. Keburukan yang disandang pelaku utama dipandang sebagai kemalangan, menyalahi kebiasaan, penyimpangan sementara, dan bukan bawaan alam.Â
Dan keburukan macam itu toh terdapat dalam kehidupan manusia pada umumnya. Maka pada saat kita menemukan keburukan tersebut, kita dapat menertawakannya dan bukan membencinya, karena keburukan yang kita benci adalah yang melekat pada kodrat mausia. Keburukan tersebut menjadi tertawaan karena nampak konyol, sepele, lucu dan sangan nyjomplang-kehilangan keseimbangan dan tidak nyambung dengan kehidupan wajar menurut logika kemungkinan, karena tidak nyambung pelaku utama menjadi terasing dan gagal emenmpatkan dirinya di tengah pergaulan sosialnya-konteks dan proses sosial.
Daftar Pustaka