Pada akhir-akhir ini sepertinya menjadi masa yang cukup membuatku perlu untuk mencari hiburan dalam rupa komedi. Demikianlah di tengah pekiknya pandemi dan siaga was-was terhadap kesehatan tubuh meyakini diriku bahwa sepenuhnya harus butuh komedi nih, agar aku menemukan kembali gelak tawa yang dapat kutemui dari setiap kebiasaanku di mana mungkin dapat diolah oleh para komika sebagai sebuah lelucon.Â
Maka tak heran Komedi tanpa Ketemu menjadi sebuah cuplikan youtube di mana beberapa hari ini menghibur waktu senggangku. Dan ternyata memang benar bahwa setiap cuplikan yang ditenggarai oleh Raditya Dika dengan memakai panggilan suara kepada para peserta kompetisinya meyakiniku, sungguh sangat lucu juga kisah dari bit-bit yang disusun oleh para komika tersebut, seolah-olah aku tak begitu sendiri menertawai kebiasaanku di mana sempat dibawakan menjadi kisah lucu oleh para komika tersebut.
Tertawa sebagai homo Socialis
Sebagai orang yang hidup dalam budaya ramah, kita terbiasa dengan senyum dan tertawa tanpa merisaukan lagi apa makna yang terungkap dan bagaimana harus ditafsirkannya. Senyum dan tertawa bukanlah khas budaya keramahan maupun budaya keriangan, melainkan merupakan bahasa interaksi sosial dalam setiap masyarakat dengan seluruh kekhususan budayanya. Bahkan tertawa merupakan lambang yang langsung terkait pada hakikat manusia (animal symbolicum) yang memungkinkannya menjadi homo socialis.Â
Artinya tertawa mengandung nilai hakiki kemanusiaan, sehingga selain merupakan makhluk beragama, manusia juga merupakan makhluk tertawa- (homo ridens). Â Inilah yang melahirkan sebutan senyum arkhais, yang menjadi tanda bahwa manusia sadar akan roh-jiwanya. Sebagai makhluk berfikir, kita terdorong untuk memikirkan kapan rangkaian tertawa itu terjadi dalam proses interaksi sosial kita.Â
Bahkan kita juga terdorong untuk menanyai diri sendiri mengapa kita tertawa. Karena apa dan untuk apa kita tertawa? Apa tertawaan kita? Adakah maksud tertentu dari tertawa kita?
Dalam perkembangan peradaban, tertawa secara jelas mencerminkan ciri-ciri budaya masyarakat dan zamannya. Dalam budaya Yunani Kuno, tertawa merupakan ungkapan rasa jijik dan cercaan. Poetika Aristoteles menjelaskan bahwa tertawa merupakan tanggapan terhadap 'tampang menjijikkan membangkitkan tertawa karena cacat, kereotan, dan keburukan dianggap sebagai bencana, kemalangan, penyimpangan, dan keanehan.Â
Beberapa ciri dan keanehan dianggap umum melekat pada manusia, sehingga menemukan ketidaksesuaian di dalam kehidupan orang menimbulkan kesadaran bahwa kesemuanya itu bukanlah bagian dari kodrat kemanusiaan kita, melainkan sebagai yang harus ditertawakan dan bukannya dibenci karena tidak menyakitkan penyandangnya. Salah satunya menurut penuturan Homerus, para dewa Olympus tertawa ria ketika diundang oleh Hephaistos, si pincang untuk menyaksikan isterinya Aphrodite, yang nampak bingung karena tertangkap basah sedang dalam pelukan dewa Ares.
Dan juga nampaknya pengertian tertawa sebagai pengungkapan rasa jijik juga masih berlangsung sampai Abad Pertengahan. Dalam kisah Romansa di mana saya lupa romansa apa, tetapi ingat pengarangnya yakni Chretien de Troyes memasukkan 'seorang udik dengan telinga selebar kipas seperti telinga gajah ke tengah para panji dan puteri yang anggun'.Â
Atau ketika menyaksikan iblis-iblis dalam bentuk makhluk setengah hewan setengah manusia yang mengerikan itu menari ria sepanjang alam neraka sambil meneriakkan suara jorok dalam karya berjudul Inferno dari Dante.
Tertawaan dan Komedi