Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kesenangan yang Perlu Dicurigai

20 Juli 2020   09:53 Diperbarui: 20 Juli 2020   09:56 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya merasa senang, saya hidup di bawah cara afektif kesenangan, bilamana saya sungguh-sungguh bersatu, dalam perasaan dan ikiran, dengan apa yang baik bagi saya, bila saya memgalami bahwa salah satu kecenderungan-kecenderungan saya memang secara tepat terpakai, bahwa salah satu dari keinginan-keinginan saya dipenuhi secara baik, bahwa salah satu maksud-maksud saya terlaksana secara efektif. 

Jadi kesenangan (pleasure) adalah perasaan yang dialami oleh suatu subjek kalau dia didalangi atau dihinggapi oleh suatu berada lebih intensif atau berada lebih baik padahal kedua perasaan ini berasal sendiri dari bertindak dengan baiki atau mengalami dengan baik. 

Kesenangan itu bersifat sensible, atau bersift spiritual dan tidak lain dari pantulan subjektif dari pengintegrasian yang dialami si subjek, sehingga andaikata keseluruhan kecenderungan saya yang mendalam atau dari selera-selera alamiah saya sebagai roh yang dijelmakan merasa terpenuhi, maka dalam hal itu sebaiknya saya dan mungkin pembaca sekalian haruslah memakai istilah kebahagiaan (happiness) daripada istilah kesenangan.

Sebaliknya dari kesenangan, penderitaan (sorrow) adalah cara yang afektif tibul dalam diri oleh karena salah satu dari afektif yang timbul dalam diri oleh karena salah satu dari kecenderungan-kecenderungan saya dilawan, dirintangi, dipatahkan entah karena objek kecenderungan itu luput dari saya atau diambil dari saya, entah saya tidak sampai mencapainya, mempergunakannya atau berkomunikasi dengannya. 

Untuk lebih tepatnya dapat membedakan sorrow dan sengsara. Penderitaan mengandung arti penolakan dan pernyataan bahwa subjek menantang suaru pengecilan atau pengurangan dari kepribadiannya, sedangkan sengsara lebih baik dikatakan menunjukkan pengecilan itu sendiri.

Melampaui kesenangan

Istilah-istilah kesenangan dan penderitaan dikatakan bukan hanya tentang terkabul atau tidaknya suatu kecenderungan jenis rohaniah, tetapi juga tentang terpenihi tidaknya kebutuhan jenis biologis. 

Tetapi saya sarankan unuk memakai istilah kegembiraan (Joy) untuk menunjukkan suaru kesenangan di mana roh ambil yang ambil bagian besar di dalamnya. 

Walau demikian itu pun belum cukup, karena catatan terkait kesenangan hanya ada hubungan kepuasan sementara dari suatu kecenderungan, sedangkan kegembiraan itu dapat dikenal pada sifat kepenuhannya. 

Gabriel Marcel menulis This morning I felt right that excitement was not a feature but rather the appearance of being fullness. Semua yang dilakukan dalam kegembiraan mempunyai suatu nilai religius, dalam egembiraan artinya dengan keseluruhan dari diri sendiri (personally). 

Sedangkan Bergson terkait catatannya tentang sebuah energi spiritual menyatakan bahwa kehidupan mengingatkan kita akan suatu pertanda tepat bahwa tujuan kita sudah tercapai dan bahwa pertanda itu adalah kegembiraan. 

Baruch Spinoza melihat kegembiraan sebagai kesaksian dari suatu keuntungan, atau kemajuan dalam kepribadian transitio a minore ad majorem perfectionem (peralihan dari keadaan kurang sempurna kepada keadaan lebih sempurna).

Jika nama baik dari kegembiraan tida butuh dibela, tidaklah demikian dengan kesenangan. Terhadap kesenangan dengan salah, orang sudah menganggapnya jelek, tidak baik. 

Nyatanya kesenangan tidak hanya bagi kita, tetapi juga mutlak perlu. Untuk sebagian, perjanjian atau pengharapan akan kesenanganlah yang merelakan kita untuk menjalankan kebanyakan dari perbuatan kita. Justru waktu perbuatan berlangsung, perasaan kesenanganlah yang dialami itulah yang mendoron kita untuk meneruskan dengan gairah sampai selesai. 

Pada akhirnya ingatan akan kesenangan-kesenangan yang telah dirasakan dalamnyalah yang mengikat kita untuk selalu kembali kepada kesibukan-kesibukan yang sama. 

Sehingga pegas utama dari kehidupan afektif dan akitvitas kita yang sering, bukanlah kecerdikan kita, malah bukan penghargaan dari kualitas-kualitas atau nilai-nilai dari objek, tetapi justru hanyalah pembayangan akan kesenangan atau kegembiraan yang dijanjikan objek itu kepada kita. Itu sebabnya jika hanya sekadar kesenangan dan kegembiraan masihlah cukup bergantung.

Apakah yang justru hendak dicari?

Pierre Abelard, di abad XI, menantang mereka yang mempertahankan bahwa kenikmatan yang menemani dosa-dosa tertentu memperbesar kesalahannya. 

Baginya hanya akan mempunyai bobot jika dibuktikan bahwa kesenangan jasmani pada dirinya adalah suatu dosa dan bahwa orang tak bisa menikmatinya tanpa dosa. Sehingga dalam hal ini kesenangan itu haruslah dilarang secara mutlak dan sebenarnya seorang yang menikmati buah yang dipetik dalam kebunnya sendiri harus dihukum, sementara orang-orang sakit yang membutuhkan untuk sembuh dan memakan makanan yang enak-enak oleh karena itu disebut sebagai pendosa. 

Catatan ini memang sangat keras tetapi walau demikian, kecurigaan para moralis terhadap kesenangan atau sekurang-kurangnya kekerasan terhadap mereka yang dalam segala hal mencoba melulu mencari kesenangan mereka tentu bukanlah tanpa dasar.

Keberatan yang pokok dari kejanggalan argumen ini ialah bahwa kesenangan macam-macam ini membatasi cakrawala dari subjek untuk memperluas jangkauan afektivitasnya. 

Memusatkan diri ada kesenangan macam-macam ini atau kepada nafsu-nafsu yang sederhana ini, hanya memperoleh bagi mereka sendiri dan hanya hidup untuk turut saja kepada nafsu-nafsu itu, tidak lain adalah upaya untuk membatasi, mengurangi diri, menghukum diri untuk berputar-putar, menempatkan diri di depan bahaya untuk membiarkan kecenderungan-kecenderungan yang jauh lebih luhur tertidur begitu saja.

Pada perspektif ini, dengan mudah dapatlah dipahami seruan-seruan ini menyampaikan pada setip budi dan nalar tentang kesederhanaan serta pentingnya untuk melihat kesenangan juga perlu untuk dikritisi pada sudut pandang kebutuhan. 

Walau memang masih harus ditambahkan terkait penderitaan, penyakit dan kematian mempunyai arti dan suatu nilai, tetapi hendaklah bahwa kenyataan tersebut memanggil setiap niat manusia kepada arah kesederhanaan terhadap kesenangannya. 

Itu sebabnya kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan merupakan aspek yang mutlak dan sangat perlu ditunjang tetapi hal terpenting dari itu semua adalah kesederhanaan pada upaya pemenuhannya. 

Sebab siapapun di dunia pasti bertujuan untuk bahagia tetapi perlulah mengingat mutlaknya kebahagiaan tersebut ditindaklanjuti dengan pertanyaan apakah pantas kesenangan itu didapat dengan cara demikian?

Biara Sang Surya, 20/7/2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun