Baruch Spinoza melihat kegembiraan sebagai kesaksian dari suatu keuntungan, atau kemajuan dalam kepribadian transitio a minore ad majorem perfectionem (peralihan dari keadaan kurang sempurna kepada keadaan lebih sempurna).
Jika nama baik dari kegembiraan tida butuh dibela, tidaklah demikian dengan kesenangan. Terhadap kesenangan dengan salah, orang sudah menganggapnya jelek, tidak baik.Â
Nyatanya kesenangan tidak hanya bagi kita, tetapi juga mutlak perlu. Untuk sebagian, perjanjian atau pengharapan akan kesenanganlah yang merelakan kita untuk menjalankan kebanyakan dari perbuatan kita. Justru waktu perbuatan berlangsung, perasaan kesenanganlah yang dialami itulah yang mendoron kita untuk meneruskan dengan gairah sampai selesai.Â
Pada akhirnya ingatan akan kesenangan-kesenangan yang telah dirasakan dalamnyalah yang mengikat kita untuk selalu kembali kepada kesibukan-kesibukan yang sama.Â
Sehingga pegas utama dari kehidupan afektif dan akitvitas kita yang sering, bukanlah kecerdikan kita, malah bukan penghargaan dari kualitas-kualitas atau nilai-nilai dari objek, tetapi justru hanyalah pembayangan akan kesenangan atau kegembiraan yang dijanjikan objek itu kepada kita. Itu sebabnya jika hanya sekadar kesenangan dan kegembiraan masihlah cukup bergantung.
Apakah yang justru hendak dicari?
Pierre Abelard, di abad XI, menantang mereka yang mempertahankan bahwa kenikmatan yang menemani dosa-dosa tertentu memperbesar kesalahannya.Â
Baginya hanya akan mempunyai bobot jika dibuktikan bahwa kesenangan jasmani pada dirinya adalah suatu dosa dan bahwa orang tak bisa menikmatinya tanpa dosa. Sehingga dalam hal ini kesenangan itu haruslah dilarang secara mutlak dan sebenarnya seorang yang menikmati buah yang dipetik dalam kebunnya sendiri harus dihukum, sementara orang-orang sakit yang membutuhkan untuk sembuh dan memakan makanan yang enak-enak oleh karena itu disebut sebagai pendosa.Â
Catatan ini memang sangat keras tetapi walau demikian, kecurigaan para moralis terhadap kesenangan atau sekurang-kurangnya kekerasan terhadap mereka yang dalam segala hal mencoba melulu mencari kesenangan mereka tentu bukanlah tanpa dasar.
Keberatan yang pokok dari kejanggalan argumen ini ialah bahwa kesenangan macam-macam ini membatasi cakrawala dari subjek untuk memperluas jangkauan afektivitasnya.Â
Memusatkan diri ada kesenangan macam-macam ini atau kepada nafsu-nafsu yang sederhana ini, hanya memperoleh bagi mereka sendiri dan hanya hidup untuk turut saja kepada nafsu-nafsu itu, tidak lain adalah upaya untuk membatasi, mengurangi diri, menghukum diri untuk berputar-putar, menempatkan diri di depan bahaya untuk membiarkan kecenderungan-kecenderungan yang jauh lebih luhur tertidur begitu saja.