Menurut Horkheimer dan kawan-kawannya, Kant dapat disebut sebagai filsuf kritsi yang pertama.[1] Sebab Kant tidak lagi mempersoalkan bagaimana merumuskan dan mensistematisir isi pengetahuan. Oleh itu pulalah Kant berpaling pada subyek, di mana menurut Kant obyek pada dirinya sendiri tidak dapat kita ketahui: obyek itu benar-benar das Ding an sich (sesuatu benar pada dirinya).Â
Dengan begitu sesuatu itu kita pahami sesuai dengan syarat-syarat akal budi kita yang subjektif. Kant menyebut syarat-syarat tersebut sebagai kategori-kategori apriori. Maka kategori-kategori apriori itulah yang menentukan pengetahuan kita akan sesuatu.Â
Walau Kant menyebut demikian tentu terdapat celah untuk mengkritik Kant, bahwa Immanuel Kant tak melihat bahwa pengetahuan manusia itu terbentuk secara historis. Artinya pengetahuan manusia juga terikat pada dan ditentukan oleh situasi.Â
Jika benar demikian dapat disimpulkan bahwa Kant belum berani menerobos ke dalam hal-hal di luar akal budi manusia, padahal penerobosan itulah yang justru akan memperkaya pengehrahuan manusia serta serentak memperkaya hal diluar darinya, sehingga hal tersebut tidak menjadi benda-benda yang semata-mata berada pada dirinya sendiri. Oleh itu pulalah Hegel menawarkan pikirannya kepada mazhab Frankfurt dengan menekankan dialektika pada catatan pikirannya.
Kritik Hegel terhadap Kant
Hegel beranggapan bahwa Kant tidak berhasil menemukan otonomi akal budi manusia, dan tampaknya bagi Hegel otonomi manusia itu harus dan sangat perlu untuk direalisasikan.Â
Baginya pada Kant, realisasi itu tidak mungkin terjadi, karena Kant membatasi otonomi akal budi menjadi semata-mata subjektif, sehingga akal budi tak mungkin lagi menjadi objektid, sebab di luar dari akal tetap benda pada dirinya sendiri (das Ding an sich).Â
Akibatnya meskipun mengaku otonomi akal budi manusia, otonomi itu tidak berarti apa-apa terhadap hal di luar dirinya, ia tidak dapat menjadi objektif.
Untuk itulah Hegel mencoret das Ding an sich tersebut. Dan ia mengajarkan bahwa akal budi harus dapat merealisasikan dirinya tanpa halangan apapun. Akal budi tidak perlu lagi kritis terhadap dirinya, ia harus menjadi affirmative, sebab bagi Hegel pada hakikatnya akal budi telah mencapai kesempurnaannya di dalam Roh. Akal budi Absolut menjelma dalam akal budi manusia.
Pemikiran Dialektika Hegel
Pada umumnya dapat direfleksikan bahwa Hegel hendak mengetengahkan bahwa akal budi dalam usahanya menjadi kesadaran diri yang sempurna ternyata mengalami proses yang tidak terlalu sederhana. Ia mengalami pelbagai halangan dan pembatasan untuk menjadi dirinya. Sebab apa? Menurut Hegel justru halangan dan pembatasan itulah tempat di mana potensi tersembunyi manusia perlu untuk dinyatakan (realisasi). Seperti apa persisnya?
Pertama, dialektika Hegel menawarkan cara berpikir dengan penuh totalitas, bukan dalam ranah keseluruhan, di mana unsur-unsurnya berdiri sejajar. Justru totalitas berarti memiliki unsur negasi (mengingkari dan diingkari), berkontradiksi (melawan dan dilawan), dan saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai).[2]Â
Bila dibandingkan dengan kehidupan nyata bahwa pemikiran dialektis ini memuat unsur-unsur yang saling berkontradiksi, di mana tidak berdiri sejajar tetapi bernegasi dan bermediasi. Salah satu contoh individu dan masyarakat. Catatan pemikiran dialektis Hegel dapat diterapkan bahwa individu selalu saling berkontradiksi, bermediasi dan bernegasi terhadap masyarakatnya. Kalau individu tidak saling berkontradiksi, bernegasi dan bermediasi dengan masyarakatnya, maka individu tidak jadi menemukan diri yang sesungguhnya.Â
Dalam hubungan ini patut dicatat bahwa pemikiran dialektis tidak sama sekali menyetujui dengan kompromi, sebab kompromi diproses melalui kesepakatan hingga tercipta perpaduan. Justru pemikiran dialektis mengharuskan unsur-unsur bertarung, semua unsur dianggap mempunyai potensi kebenaran, jadi tidak boleh ditiadakan.Â
Jelaslah bahwa proses dialektis tidak dapat sekadar merumuskan thesis, antithesis, dan sintetis sebab rumusan sederhana yang demikian bisa mengaburkan proses dialektis yang sesungguhnya menjadi semata-mata kompromi dan terjebak di dalam perpaduan, bahkan bisa saja saling meniadakan. Untuk itu dialektika dan proses di dalamnya bukanlah sintesis demi perpaduan, melainkan tujuan baru sama sekali, yakni rekonsiliasi.[3]
Kedua, bahwa seluruh proses dialektis itu sebenarnya merupakan realitas yang sedang bekerja. Jadi proses dialektis itu dimengerti sebagai realitas yang sedang bekerja, jadi bukan kesadaran semata-mata, maka proses dialektis itu merupakan sesuatu yang objektif. Sebab manusia yang akal budinya telah mencapai kesempurnaan dalam Roh Absolut, harus berkembang, harus menemukan diri dan makin menjadi dirinya.Â
Maka dapat dikatakan bahwa manusia dalam proses menyatakan dirinya menghadapi suatu dunia objektif di luar dirinya, sekalipun itu mengancam kediriannya, tapi sesungguhnya dunia itulah yang dibutuhkan manusia. Jadi bukan masalah menghancurkan dunia objektif itu, tetapi bagaimana manusia dapat berekonsiliasi dengan dunia objektif itu.Â
Rekonsiliasi itu terwujud bila dunia objektif tadi merupakan objektifikasi dari manusia itu sendiri. Di sinilah pekerjaan manusia itu sesungguhnya, yakni memanusiakan objek-objek di luar dirinya, sehingga objek-objek itu tidak tinggal alamiah dan terasing dari manusia, melainkan Justus merupakan ladang untuk penyataan manusia itu sendiri.Â
Ketiga, berpikir dialektis itu berarti berpikir secara empiris-historis (Suseno, Magnis:1979). Menurut logika tradisional, du proposisi (tesis dan antithesis) tidak pernah benar kedua-duanya. Menurut pemikiran dialektis, anggapan tersebut sangat tidak memadai dengan kenyataan empiris-historis.Â
Dalam kenyataan empiris setiap proposisi mempunyai hak untuk beada dan dianggap benar, sehingga tidak bisa begitu saja ditiadakan atau dianggap tidak benar di hadapan proposisi lawannya. Maka jika pemikiran formal secara abstrak meniadakan kebenaran-kebenaran lainnya di hadapan lawan, maka pemikiran dialektis adalah jalan satu-satunya untuk supaya substansi dari pemikiran atau kebenaran-kebenaran itu tidak dikecualikan di dalam kenyataan empiris terhadap lawan. Dengan begitu pemikiran dialektis sungguh amat kaya dan begitu dalam.
Berbeda dengan teori identitas, bahwa subjek-objek menekankan bahwa kesadaran (subjek) sudah mencapai kesatuannya dengan hal-hal di luar kesadaran (objek), sehingga hal-hal di luar kesadaran sudah merupakan objektifikasi paripurna dengan kesadaran, dan dengan begitu demikian tercapai pula identitas antara apa yang memahami (subjek) dan apa yang dipahami (objek). Dan inilah yang dipertentangkan pemikiran dialektis Hegel, bahwa teori identitas subjek-objek terlalu menyempitkan kehidupan ini semata-mata hanya sebuah realitas.Â
Dan periode ini bagi Hegel merupakan periode tanpa konflik karenanya periode menuju bahagia sebagai periode 'mati' dari sejarah.[4] Maka bagi Hegel atas dasar paham dialektisnya bahwa kontradiksi antara subjek dan objek tidak bakal diselesaikan, justru jika keduanya dalam kontradiksi diangkat menuju derajat yang lebih tinggi melalui proses dialektis hal tersebutlah akan tercipta rekosiliasi (penguatan, pembahruan dan perdamaian) yang sungguh baru.Â
Pustaka
1. Andrew Arato dan Erick Gebhardt, The Essential Frankfurt School Reader, New York: Urizon Book, Hlm. 380
2. G.W. F. Hegel, (1961) The Phenomenon of The Mind, London: George Allen and Unwin LTD hlm. 234-240
3. Bdk. Sindhunata (1983), Dilema Usaha Manusia Rasional, Gramedia: Jakarta  hlm. 34
4. G.W. F. Hegel, (1961) The Phenomenon of The Mind, London: George Allen and Unwin LTD hlm. 403-404
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI