Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Frederich Hegel dan Paradigma Dialektika

12 Mei 2020   22:06 Diperbarui: 12 Mei 2020   22:30 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
via amazon.co.uk | Science of Logic by Georg Hegel

Pertama, dialektika Hegel menawarkan cara berpikir dengan penuh totalitas, bukan dalam ranah keseluruhan, di mana unsur-unsurnya berdiri sejajar. Justru totalitas berarti memiliki unsur negasi (mengingkari dan diingkari), berkontradiksi (melawan dan dilawan), dan saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai).[2] 

Bila dibandingkan dengan kehidupan nyata bahwa pemikiran dialektis ini memuat unsur-unsur yang saling berkontradiksi, di mana tidak berdiri sejajar tetapi bernegasi dan bermediasi. Salah satu contoh individu dan masyarakat. Catatan pemikiran dialektis Hegel dapat diterapkan bahwa individu selalu saling berkontradiksi, bermediasi dan bernegasi terhadap masyarakatnya. Kalau individu tidak saling berkontradiksi, bernegasi dan bermediasi dengan masyarakatnya, maka individu tidak jadi menemukan diri yang sesungguhnya. 

Dalam hubungan ini patut dicatat bahwa pemikiran dialektis tidak sama sekali menyetujui dengan kompromi, sebab kompromi diproses melalui kesepakatan hingga tercipta perpaduan. Justru pemikiran dialektis mengharuskan unsur-unsur bertarung, semua unsur dianggap mempunyai potensi kebenaran, jadi tidak boleh ditiadakan. 

Jelaslah bahwa proses dialektis tidak dapat sekadar merumuskan thesis, antithesis, dan sintetis sebab rumusan sederhana yang demikian bisa mengaburkan proses dialektis yang sesungguhnya menjadi semata-mata kompromi dan terjebak di dalam perpaduan, bahkan bisa saja saling meniadakan. Untuk itu dialektika dan proses di dalamnya bukanlah sintesis demi perpaduan, melainkan tujuan baru sama sekali, yakni rekonsiliasi.[3]

Kedua, bahwa seluruh proses dialektis itu sebenarnya merupakan realitas yang sedang bekerja. Jadi proses dialektis itu dimengerti sebagai realitas yang sedang bekerja, jadi bukan kesadaran semata-mata, maka proses dialektis itu merupakan sesuatu yang objektif. Sebab manusia yang akal budinya telah mencapai kesempurnaan dalam Roh Absolut, harus berkembang, harus menemukan diri dan makin menjadi dirinya. 

Maka dapat dikatakan bahwa manusia dalam proses menyatakan dirinya menghadapi suatu dunia objektif di luar dirinya, sekalipun itu mengancam kediriannya, tapi sesungguhnya dunia itulah yang dibutuhkan manusia. Jadi bukan masalah menghancurkan dunia objektif itu, tetapi bagaimana manusia dapat berekonsiliasi dengan dunia objektif itu. 

Rekonsiliasi itu terwujud bila dunia objektif tadi merupakan objektifikasi dari manusia itu sendiri. Di sinilah pekerjaan manusia itu sesungguhnya, yakni memanusiakan objek-objek di luar dirinya, sehingga objek-objek itu tidak tinggal alamiah dan terasing dari manusia, melainkan Justus merupakan ladang untuk penyataan manusia itu sendiri. 

Ketiga, berpikir dialektis itu berarti berpikir secara empiris-historis (Suseno, Magnis:1979). Menurut logika tradisional, du proposisi (tesis dan antithesis) tidak pernah benar kedua-duanya. Menurut pemikiran dialektis, anggapan tersebut sangat tidak memadai dengan kenyataan empiris-historis. 

Dalam kenyataan empiris setiap proposisi mempunyai hak untuk beada dan dianggap benar, sehingga tidak bisa begitu saja ditiadakan atau dianggap tidak benar di hadapan proposisi lawannya. Maka jika pemikiran formal secara abstrak meniadakan kebenaran-kebenaran lainnya di hadapan lawan, maka pemikiran dialektis adalah jalan satu-satunya untuk supaya substansi dari pemikiran atau kebenaran-kebenaran itu tidak dikecualikan di dalam kenyataan empiris terhadap lawan. Dengan begitu pemikiran dialektis sungguh amat kaya dan begitu dalam.

Berbeda dengan teori identitas, bahwa subjek-objek menekankan bahwa kesadaran (subjek) sudah mencapai kesatuannya dengan hal-hal di luar kesadaran (objek), sehingga hal-hal di luar kesadaran sudah merupakan objektifikasi paripurna dengan kesadaran, dan dengan begitu demikian tercapai pula identitas antara apa yang memahami (subjek) dan apa yang dipahami (objek). Dan inilah yang dipertentangkan pemikiran dialektis Hegel, bahwa teori identitas subjek-objek terlalu menyempitkan kehidupan ini semata-mata hanya sebuah realitas. 

Dan periode ini bagi Hegel merupakan periode tanpa konflik karenanya periode menuju bahagia sebagai periode 'mati' dari sejarah.[4] Maka bagi Hegel atas dasar paham dialektisnya bahwa kontradiksi antara subjek dan objek tidak bakal diselesaikan, justru jika keduanya dalam kontradiksi diangkat menuju derajat yang lebih tinggi melalui proses dialektis hal tersebutlah akan tercipta rekosiliasi (penguatan, pembahruan dan perdamaian) yang sungguh baru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun