Akal budi menjadi salah satu tema yang terungkap dalam diskusi Jürgen Habermas dan Joseph Ratzinger pada tanggal 28 Januari 2004, yang diadakan oleh Institut “Katolische Akademie” Bayern di München. Dalam pandangannya mengenai diskursus rasio dan wahyu, Habermas mengungkapkan bahwa “akal budi yang merefleksikan basis terdalamnya menemukan dasarnya pada sesuatu yang lain, yang kekuasaannya harus diakui, apabila dia tidak hendak kehilangan orientasi rasionalnya pada jalan buntu pengangkatan diri (Selbstemächtigung) yang angkuh”[1] Pada sisi lain Habermas juga menyatakan bahwa yang menguat dalam masyarakat zaman ini adalah kecenderungan privatisme warga negara melalui hilangnya peran bersama warga dalam pembentukan pendapat dan kehendak bersama secara demokratis dalam menggapai keputusan yang mana dapat dialihkan pada tingkat supranasional.
Di sisi lain pada Joseph Ratzinger kita menemukan bahwa akal budi pun mengalami patologi, semacam keangkuhan akal budi, yang tidak mendengarkan peringatan-peringatan yang datang dari luar, terutama tradisi-tradisi keagamaan.[2] Ratzinger mengungkapkan bahwa patologi akal budi nampak dalam kenyataan bahwa penyempitan jangkauan pengetahuan mengakibatkan religi dan etos tidak lagi menjadi bagiannya. Bagi Ratzinger, akal budi harus berusaha meluaskan pengertiannya tentang kegunaan serta jangkauan pengetahuannya.[3]
Kendati demikian kedua tokoh ini berbeda menyangkut solusi yang diberikan dalam upaya menghentikan kemerosotan akal budi. Ratzinger merujuk kembali pada sintesis iman dan akal budi yang dibangun oleh Bapa-Bapa Gereja sebagai upaya pemecahan masalah, sedangkan menurut Habermas, kita tidak mungkin lagi kembali pada periode itu. Yang dapat dilakukan sekarang adalah melalui pemikiran postmetafisik. Postmetafisik yang dimaksudkan oleh Habermas dapat dimulai dengan proses belajar, yang mana akal budi modern perlu menelusuri kembali asal usulnya sendiri.
Jauh sebelum dialog Joseph Ratzinger dan Habermas tentu telah ada perdebatan lainnya terkait akal budi. Hal tersebut termaktub dalam catatan era skolastik, mazhab pemikiran abad pertengahan sebagaimana telah dijadikan rujukan Habermas. Tepat ketika intelek dan kehendak bebas diperdebatkan oleh Johanes Duns Scotus dan Thomas Aquinas. Hanya pada apakah kedua akun tersebut saling mempertajam ide satu sama lain? Tentunya tulisan ini akan meringkaskan sedikit terkait perdebatan tersebut dan akan melihat akun kebebasan dari Johanes Duns Scotus terkait komntarnya terhadap keyakinan akal budi dari paham Thomas Aquinas.
Intelek dan kehendak menurut Aquinas
Secara umum ntelek berasal dari bahasa Latin intelligere (kata kerja infinitif), dari kata intus yang berarti ke dalam dan legere yang berarti membaca, memilih, mencerap (to have intellective cognition, membaca dari dalam). Intelek merupakan kemampuan intelektual dari ada yang berasional. Penyebutan intelek hanya merujuk pada satu referensi eksplisit yakni kemampuan intelektual dari ada yang berasional. Menurut St. Thomas Aquinas intelek merupakan kesanggupan dari jiwa rasional manusia dan bukan esensi dari jiwa. Untuk memperjelas pernyataan ini dapat dibandingkan dengan Allah sebagai intelek murni.
Sedangkan bagi Aquinas kekhasan dan keunggulan kehendak terletak dalam kemampuannya untuk mengarahkan jiwa manusia kepada nilai esential dan eksistensial barang-barang itu sendiri. Menghendaki sesuatu berarti manusia mengarahkan seluruh dirinya pada pencapaian nilai intrinsik dan ideal dalam barang itu sendiri. Dengan kehendaknya manusia seakan keluar dari diri sendiri, terarah kepada pengejaran dan pencapaian kebaikan yang terkandung dalam objek itu. Dengan kehendaknya manusia dimungkinkan memiliki dalam dirinya keagungan nilai objektif barang-barang dalam kekonkritannya.[4] Dengan kata lain bahwa operasi intelek dan kehendak terkait dalam berbagai cara. Sebagai contoh, saya tidak dapat secara sadar akan melakukan tindakan kecuali saya memiliki gagasan tentang apa yang ingin saya capai atau dapatkan. Sehingga, jika intelek menghadirkan objek sebagai kondusif bagi kebahagiaan, secara otomatis akan menggerakkan proses tubuh yang relevan untuk memungkinkan seseorang mencapai kebaikan yang disajikan kepada kehendak.
Intelek dapat dibandingkan dengan kehendak atas 3 cara: Pertama, secara umum dan absolut: perbandingan ini dibuat tanpa acuan apapun pada barang partikular ini atau itu. Dengan perbandingan umum dan absolut ini, intelek dikatakan lebih cemerlang dari kehendak, sejauh ia mampu menangkap inti esensiil dari barang-barang, sementara kehendak hanya mengorientasikan manusia pada barang-barang tanpa memiliki kebaikannya secara aktual. Kedua, mengenai barang-barang materiil yang dapat diindrai, intelek pun lebih unggul. Contohnya, mengenal sebuah batu jauh lebih mulia daripada menghendakinya, sejauh forma dari batu itu secara aktual sudah dicapai dan dimiliki intelek dan bukan sekedar tinggal dalam dirinya sebagai sesuatu yang diinginkan. Ketiga, menyangkut Yang Ilahi yakni segala sesuatu yang mengatasi kemampuan kodrati budi manusia, kehendak jelas jauh lebih unggul dibandingkan dengan intelek, karena menginginkan Allah dan mencintaiNya jauh lebih utama daripada hanya sekedar mengenal Dia secara rational dan teoretis. Karena Allah memiliki dalam DiriNya kesempurnaan Kebaikan sehingga Dia lebih pantas dikehendaki dan dicintai daripada hanya sekedar dikenal lewat idea kebaikan yang dapat diintuisi oleh intelek.
Komentar Scotus terhadap Aquinas
Johanes Duns Scotus, bagaimanapun, sangat menolak hampir setiap fitur akun ini. Tampaknya bagi saya ada dua motivasi yang berbeda tetapi terkait untuk perbedaan pendapat Scotus. Yang pertama adalah bahwa pandangan Aquinas tidak cukup adil untuk kebebasan manusia. Yang kedua bahwa itu tidak memperhitungkan sifat kekuatan alami. Penting untuk diingat bahwa akun Aquinas memungkinkan terjadinya kontingensi[5] dalam tindakan manusia. Dia percaya bahwa, dalam keadaan tertentu, pertimbangan intelek bergantung, sehingga tidak ada yang bisa memprediksi sebelumnya bagaimana mereka akan berubah. Scotus tidak menerima bahwa operasi intelek bisa seperti ini. Sebab Scotus menyatakan bahwa
Intelek berada di bawah tajuk "alam," karena ia dengan sendirinya ditentukan untuk memahami dan ia tidak memilikinya dalam kekuatannya untuk memahami dan tidak memahami; atau berkenaan dengan pengetahuan proposisional di mana tindakan-tindakan sebaliknya dimungkinkan, ia tidak memiliki kekuatan untuk menyetujui dan tidak setuju. Pada pandangan Scotus, maka, catatan Aquinas tentang locus kontingensi dalam tindakan-tindakan manusia sama sekali salah.[6]
Sehingga dengan kata lain Scotus memiliki tiga aspek dalam penentuan kehendak manusia di dalam locus kontigensi bahwa pertama, di dalam waktu yang sama terdapat 2 atau bahkan 3 pilihan dalam menentukan sikap, kedua bahwa manusia akan melakukan sikap a dan bukan a, ketiga bahwa manusia akan tidak memilih keduanya atau bahkan menindaklanjuti diantara keduanya.[7] Dengan kata lain ini pula mengindikasikan terkait kehendak harus bebas, karena jika itu hanya kekuatan alami, ia akan bertindak setiap kali tidak ada hambatan alami untuk aktivitasnya.
Seperti yang telah lihat di atas, Aquinas, mengikuti Aristoteles, memberikan penjelasan tentang tindakan manusia yang diarahkan pada pemenuhan diri alami manusia dalam kebahagiaan. Pada akun Aristotelian yang dipertahankan oleh Aquinas, semua peristiwa diarahkan secara langsung, cenderung menuju pemenuhan diri agen mereka. Dan semua zat memiliki kecenderungan alami untuk pemenuhan diri. Namun Scottus memberikan aspek berbeda terkait keberatan tersebut dengan menyatakan terdapat affection iustitiae (afeksi terhadap keadilan)[8] Idenya adalah bahwa kecenderungan ini menjelaskan fakta bahwa kehendak memiliki keinginan terhadap keadilan dengan berbasis pada kasih sayang. Oleh karena itu pada akun kebebasan menurut Aquinas dinamakan sebagai effectio commodi (afeksi untuk yang bermanfaat atau yang menguntungkan).
Scotus berpendapat bahwa kehadiran kedua kecenderungan ini diperlukan untuk kebebasan. Misalkan keinginan kita hanya memiliki kasih sayang untuk yang bermanfaat. Intelek kita dapat menghadirkan kehendak kita sejumlah pilihan yang berbeda, yakni kebahagiaan, atau keadilan, misalnya. Tapi kehendak kita hanya akan bisa kebahagiaan. Alasannya adalah bahwa kehendak akan seperti setiap kekuatan alami lainnya: diharuskan untuk pemenuhan dirinya sendiri. Seperti yang telah kita lihat, Scotus percaya bahwa manusia tahu dengan introspeksi bahwa ia bebas. Sehingga Scotus memiliki argumen lain yang menentang kehendak sebagai kekuatan alami. Semua menerima bahwa keinginan dapat melakukan semacam kontrol atas intelek. Tetapi jika kehendak secara otomatis menghendaki kepuasan diri sendiri dalam kebahagiaan, maka secara otomatis akan membatasi kecerdasan untuk mempertimbangkan kebahagiaan setiap saat. Dan kita tahu itu tidak melakukan ini. Jadi tidak mungkin bahwa kehendak secara otomatis menghendaki kebahagiaan.
Kesimpulan
Oleh karena itu ketika melihat kedua akun ini tentunya dapat dimengerti bahwa Johanes Scotus yang adalah seorang pemikir fransiskan membela bahwa kehendak merupakan aspek di mana sejatinya telah memiliki penilaian tersendiri terhadap tujuan yang dicapai. Catatan tentang Johanes Duns Scotus dan biografinya bahwa ia merupakan salah seorang anggota dari ordo Fransiskan di provinsi Inggris Ia masuk Fransiskan pada 1278/9 dalam usia sangat muda, sekitar tiga belas atau empat belas tahun. Ia memilih Fransiskan mengikuti pamannya, Elias di biara Fransiskan di Dumfries. Pada 1280 ia secara resmi diterima sebagai anggota Fransiskan. Scotus menjalani studi Filsafat dan Teologi di Oxford selama 1288-1300/1301. Biasanya pada tahun-tahun akhir menjelang akhir studi, seorang calon sarjana Teologi membuat komentar atas sebuah traktat teologi yang terkemuka pada wakut itu, yaitu Sentences Petrus Lombardus (1100-60). Diperkirakan bahwa Scotus mengerjakannya antara 1298 dan 1299. Komentar ini kemudian menjadi materi dasar karya Scotus di Oxford, yang lazim disebut Ordiantio.
Scotus dijuluki sebagai “subtle doctor” (doctor subtilis) karena pemikirannya yang teliti, argumentatif dan sistematis. Tema-tema pemikiran seperti logika, individuasi dan kebebasan manusia memperlihatkan perhatiannya yang serius pada hal-hal yang “subtle”. Ciri “subtle” yang dimaksdukan di sini tidak hanya bermakna epistemologis, tetapi juga ontologis. Maksudnya, Scotus juga “subtle” dalam refleksi mengenai relasi kasih antara Allah dan manusia. Allah adalah Prinsip Pertama (Primo Orincipio), Ia adalah kasih absolut dan bebas yang menyatakan kasihnya secara istimewa kepada setiap individu, yakni kasih personal yang tak terbatalkan, kasih yang tertuju kepada partikularitas atau ‘ke-ini’an’ (istilah Scotus: haecceity/thisness) setiap individu. Sebagai Fransiskan ia mengartikulasikan secara filosofis intuisi Santo Fransiskus tentang kehadiran Allah dalam segenap makhluk ciptaan, yang membuahkan sebuah spiritualitas yang berpusat pada penghargaan nilai intrinsik segenap isi kosmos. Ia juga menekankan dimensi kasih dan kebebasan sebagai dasar pola relasi antara Allah dan manusia.
Daftar Pustaka
[1]Jürgen Habermas, “Basis Prapolitis Sebuah Negara Hukum yang Demokratis?”, terjemahan oleh Paul Budi Kleden dalam Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko (eds.), Dialektika Sekularisasi, Yogyakarta, Lamalera, 2010, p. 18.
[2]Joseph Ratzinger, “Apa yang mempertahankan dunia. Dasar-dasar moral Prapolitis sebuah Negara Liberal”, terjemahan oleh Paul Budi Kleden dalam Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko (eds.)
[3]Benediktus XVI, “Faith, Reason, and University. Memories and Reflection” dalam http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=3254. Diakses 20 April 2020
[4]DR. Dominikus Saku, Problematika Pengetahuan & Kebenaran Dalam De Veritate St. Thomas Aquinas dalam Frans Ceunfin dan Felix Baghi (ed.), Mengabdi Kebenaran, Maumere, Ledalero, 2005, pp. 52-55.
[5]Kemungkinan dua atau lebih hal yang salah satunya dipilih oleh manusia dalam waktu yang sama.
[6]Cross, Richad, Great Medieval Thinkers Duns Scotus: Oxford University Press 199 pg. 85
[7]Op.cit pg 87
[8]Ordinatio. 3.1.1.n.6 terjemahan Lukas Wadding OFM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H