Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pemahaman Johanes Scotus terhadap Thomas Aquinas tentang Kehendak

1 Mei 2020   20:43 Diperbarui: 1 Mei 2020   20:49 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

 Seperti yang telah lihat di atas, Aquinas, mengikuti Aristoteles, memberikan penjelasan tentang tindakan manusia yang diarahkan pada pemenuhan diri alami manusia dalam kebahagiaan. Pada akun Aristotelian yang dipertahankan oleh Aquinas, semua peristiwa diarahkan secara langsung, cenderung menuju pemenuhan diri agen mereka. Dan semua zat memiliki kecenderungan alami untuk pemenuhan diri. Namun Scottus memberikan aspek berbeda terkait keberatan tersebut dengan menyatakan terdapat affection iustitiae (afeksi terhadap keadilan)[8] Idenya adalah bahwa kecenderungan ini menjelaskan fakta bahwa kehendak memiliki keinginan terhadap keadilan dengan berbasis pada kasih sayang. Oleh karena itu pada akun kebebasan menurut Aquinas dinamakan sebagai effectio commodi (afeksi untuk yang bermanfaat atau yang menguntungkan). 

Scotus berpendapat bahwa kehadiran kedua kecenderungan ini diperlukan untuk kebebasan. Misalkan keinginan kita hanya memiliki kasih sayang untuk yang bermanfaat. Intelek kita dapat menghadirkan kehendak kita sejumlah pilihan yang berbeda, yakni kebahagiaan, atau keadilan, misalnya. Tapi kehendak kita hanya akan bisa kebahagiaan. Alasannya adalah bahwa kehendak akan seperti setiap kekuatan alami lainnya: diharuskan untuk pemenuhan dirinya sendiri. Seperti yang telah kita lihat, Scotus percaya bahwa manusia tahu dengan introspeksi bahwa ia bebas. Sehingga Scotus memiliki argumen lain yang menentang kehendak sebagai kekuatan alami. Semua menerima bahwa keinginan dapat melakukan semacam kontrol atas intelek. Tetapi jika kehendak secara otomatis menghendaki kepuasan diri sendiri dalam kebahagiaan, maka secara otomatis akan membatasi kecerdasan untuk mempertimbangkan kebahagiaan setiap saat. Dan kita tahu itu tidak melakukan ini. Jadi tidak mungkin bahwa kehendak secara otomatis menghendaki kebahagiaan.

 Kesimpulan

Oleh karena itu ketika melihat kedua akun ini tentunya dapat dimengerti bahwa Johanes Scotus yang adalah seorang pemikir fransiskan membela bahwa kehendak merupakan aspek di mana sejatinya telah memiliki penilaian tersendiri terhadap tujuan yang dicapai. Catatan tentang Johanes Duns Scotus dan biografinya bahwa ia merupakan salah seorang anggota dari ordo Fransiskan di provinsi Inggris Ia masuk Fransiskan pada 1278/9 dalam usia sangat muda, sekitar tiga belas atau empat belas tahun. Ia memilih Fransiskan mengikuti pamannya, Elias di biara Fransiskan di Dumfries. Pada 1280 ia secara resmi diterima sebagai anggota Fransiskan. Scotus menjalani studi Filsafat dan Teologi di Oxford selama 1288-1300/1301. Biasanya pada tahun-tahun akhir menjelang akhir studi, seorang calon sarjana Teologi membuat komentar atas sebuah traktat teologi yang terkemuka pada wakut itu, yaitu Sentences Petrus Lombardus (1100-60). Diperkirakan bahwa Scotus mengerjakannya antara 1298 dan 1299. Komentar ini kemudian menjadi materi dasar karya Scotus di Oxford, yang lazim disebut Ordiantio.

Scotus dijuluki sebagai “subtle doctor” (doctor subtilis) karena pemikirannya yang teliti, argumentatif dan sistematis. Tema-tema pemikiran seperti logika, individuasi dan kebebasan manusia memperlihatkan perhatiannya yang serius pada hal-hal yang “subtle”. Ciri “subtle” yang dimaksdukan di sini tidak hanya bermakna epistemologis, tetapi juga ontologis. Maksudnya, Scotus juga “subtle” dalam refleksi mengenai relasi kasih antara Allah dan manusia. Allah adalah Prinsip Pertama (Primo Orincipio), Ia adalah kasih absolut dan bebas yang menyatakan kasihnya secara istimewa kepada setiap individu, yakni kasih personal yang tak terbatalkan, kasih yang tertuju kepada partikularitas atau ‘ke-ini’an’ (istilah Scotus: haecceity/thisness) setiap individu. Sebagai Fransiskan ia mengartikulasikan secara filosofis intuisi Santo Fransiskus tentang kehadiran Allah dalam segenap makhluk ciptaan, yang membuahkan sebuah spiritualitas yang berpusat pada penghargaan nilai intrinsik segenap isi kosmos. Ia juga menekankan dimensi kasih dan kebebasan sebagai dasar pola relasi antara Allah dan manusia.

Daftar Pustaka

[1]Jürgen Habermas, “Basis Prapolitis Sebuah Negara Hukum yang Demokratis?”, terjemahan oleh Paul Budi Kleden dalam Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko (eds.), Dialektika Sekularisasi, Yogyakarta, Lamalera, 2010, p. 18.

[2]Joseph Ratzinger, “Apa yang mempertahankan dunia. Dasar-dasar moral Prapolitis sebuah Negara Liberal”, terjemahan oleh Paul Budi Kleden dalam Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko (eds.)

[3]Benediktus XVI, “Faith, Reason, and University. Memories and Reflection” dalam http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=3254. Diakses 20 April 2020

[4]DR. Dominikus Saku, Problematika Pengetahuan & Kebenaran Dalam De Veritate St. Thomas Aquinas dalam Frans Ceunfin dan Felix Baghi (ed.), Mengabdi Kebenaran, Maumere, Ledalero, 2005, pp. 52-55.

[5]Kemungkinan dua atau lebih hal yang salah satunya dipilih oleh manusia dalam waktu yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun