Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pinang dan Kontak Dialog untuk Memahami Papua

9 April 2020   13:27 Diperbarui: 9 April 2020   13:44 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siapapun yang pernah singgah ke Papua, entah itu Jayapura, Wamena, Intan Jaya, dan masih banyak lagi. Pastinya mengenal bahwa orang asli Papua (OAP) sangat dominan terkenal dengan makan pinang. Bagi kebanyakan masyarakat asli Papua pinang, sirih, dan kapur merupakan komponen untuk berelasi secara lebih mendalam, mengenal arti semangat yang sesungguhnya hendak dibangun dalam diri tiap-tiap insan di bumi Cenderawasih. Baik di pasar, trotoar jalan, dan juga tempat-tempat public lainnya akan ramai dengan mama-mama Papua yang menjajakan pinang, sirih dan kapur diatas satu meja dan di situ pulalah insan-insan Papua memaparkan banyak ide untuk membangun kehidupan bersama, melalui diskusi sambil memakan pinang.

Pada awalnya mengunyah pinang identik dengan kehidupan para orang tua. Namun, belakangan ini pinang justru menjadi populer di kalangan anak muda di Papua. Tidak jarang para wisawatan penasaran untuk mencicipi buah pengganti rokok tersebut. Tradisi mengunyah pinang di Papua ini sudah menjadi turun temurun sejak berabad-abad yang lalu. Tidak hanya untuk menjaga kesehatan gusi dan gigi tetapi pinang dan sirih merupakan lambang keakraban dan persaudaraan bagi masyarakat Papua.

Papua dan pinang

Sesungguhnya bila siapapun yang pernah tinggal lama di daerah Papua, pasti akan mengenal bahwa sembari makan pinang orang asli Papua akan banyak membahas tentang pergumulan tiap-tiap sendi kehidupan mereka, disitulah kita akan mengenal bahwa manusia Papua amatlah cerdas dalam merumuskan beberapa pendapat cemerlang demi menuntaskan pergumulan hidup yang dialaminya.

Paradigma pinang dan diskusi sosial di dalamnya memuat beberapa catatan simbolis bagi tiap-tiap kita untuk memahami Papua, pertama untuk masuk ke dalam hidup orang asli Papua perlulah masuk melalui budaya orang Papua sendiri.

Mengapa? Karena budaya menjadi sebuah motif untuk memahami karakter tiap-tiap manusia Papua.

Juga tak kalah penting lagi, bahwa Papua yang erat kaitannya dengan hitam kulit keriting rambut, tidak serta merta juga menjadi kesamaan tersendiri, sebab masih begitu banyak budaya dan asal-asal suku yang beranekaragam, di mana memang mempunyai coraknya sendiri di samping persamaan hanya dari kulit hitam dan keriting rambut. Sehingga dengan kata lain, pinang sebagai kebiasaan hendaklah dialami dan dipikirkan sebagai simbolisme budaya untuk memahami lebih dalam tentang pikiran orang Papua.

Kedua, pinang memberi intimitas dan kontak sosial yang lebih hangat. Alasannya, karena dari pinang dan saling berbagi sirih serta kapur memperat nuansa berbagi diantara insan Papua, termasuk masyarakat pendatang. Di mana paradigma bahwa manusia Papua merupakan manusia yang toleran di dalam kesederhanaan. Mampu berbagi buah pinang yang di tanam di halaman rumah kepada tetangga sebagai tanda bahwa hasil dari kekayaan alam Papua itu merupakan hak bagi siapapun insan Papua.

Oleh karena kontak sosial di dalam berbagi itu pulalah dengan serta merta manusia Papua akan bereksistensi dengan begitu tulus tanpa harus disuapi oleh janji apapun. Sebab pinang dan momen berbagi terhadap satu sama lain merupakan pemberian diri yang penuh tanpa perlu harus memahami teori moralitas berbagai persepektif manapun. Sehingga bagi insan Papua berbagi kepada sesamanya dari hasil yang dimiliki sudah merupakan tindakan terpuji dan amat mulia dari panggilan hidupnya.

Ketiga, ketika sudah mendekatkan diri dan terikat secara intens di situlah kita akan diantar bahwa insan-insan Papua memiliki kiat dan niat sukses di dalam seluruh alur diskusinya tentang sendi-sendi hidup.

Di dalam diskusi tersebut akan terasa kiblat paradigma tentang Papua sesungguhnya bukanlah manusia yang sulit diatur, bukan pula manusia tanpa pendidikan, tetapi justru logika orang Papua lebih terarah dan amat konsisten. Sebab di dalam diskusi sembari memakan pinang, akan diperlihatkan bahwa insan-insan Papua orang berpendirian, jika memutuskan A tak akan pernah mau untuk diganggu gugat oleh keputusan si B atau si C karena apa?

Orang Papua tak akan mengenal yang namanya bicara di belakang atau nge-gibah bagi bahasa modern saat ini. Sehingga penolakkan terhadap ide dari salah satu insan dinyatakannya secara terus terang dengan keleluasaan tanpa harus memakai analogy seperti manusia modern kebanyakan.

Kebudayaan yang salah

Saat memaparkan ketiga argumen tentang Papua, sesungguhnya apa yang menjadi masalah manusia modern abad ini dalam berdialog dengan Papua? Konteks nyatanya bahwa relasi manusia detik ini seperti bersifat fungsionarisme semata. Membina relasi hanya berdasarkan fungsi, ketika alam Papua dilihat kaya justru dalam benak terpikirkan bahwa 'apakah perlu saya manfaatkan kekayaan alam Papua demi kepentingan pribadi?' Pola pikir ini dinilai benar dan sangatlah baik, tetapi perlu diingat bahwa kekayaan alam Papua bukan difungsikan demi kepentingan semata.

Papua dan seluruh alamnya memiliki jiwa serta hanya dapat dipahami oleh ketulusan bukan rasionalisme semata. Pendekatan untuk memahami Papua yang konon dikatakan rumit bukan karena tidak mengikuti arus zaman serta kepentingan global, tetapi tiadanya kesempatan bagi orang Papua untuk terlibat penuh dalam merawat kebudayaannya di tengah tuntutan generasi modern ini.

Justru ketika Papua menyampaikan pendapat dengan pengalaman serta realita yang ada, justru disalahpahami sebagai metode abad purba, ketika melihat mama-mama Papua membahasakan aktivitas dapur dengan tungku api, dalam benak tiap generasi akan berbeda dan lebih dominan melihat bertanya 'model apa lagi nih tungku api?' Karena memang Papua tak dapat dibahasakan hanya dalam konteks tuntutan zaman.

Memandang Papua secara sehat perlulah berintegrasi dengan kebudayaannya.

Dengan melepas paradigma dan pencapaian yang instant, serta menyatu dengan semangat berelasi yang dialogis disitulah dapat dipahami bahwa insan Papua memiliki paradigma hebat dan sangat menakjubkan terhadap dirinya sebagai seorang insan, juga budayanya sebagai jiwa untuk bereksistensi.

Kebudayaan yang salah dan selama ini dipegang bahkan dijadikan dogma adalah ketika mendengar kata Papua, justru dalam benak muncul kosakata, terbelakang, terpencil, dan tak terurus. Cara pandang inilah yang serta merta membuat insan Papua seperti kurang dipandang hidup dan seluruh kebudayaannya, tepat ketika masyarakat Papua hendak memberi bagi Indonesia dengan seluruh keutuhannya, tapi yang dicanangkan hanya pembangunan, dan peningkatan dalam segi infrastruktur di mana serta merta yang muncul kontroversi dan amat tidak dipahami oleh insan Papua itu sendiri.

Bagi insan Papua pemberian diri itu adalah seluruh keutuhan bukan hanya kekayaan alamnya di mana dialamatkan demi kepentingan devisa negara. Seluruh keutuhan pada konteks insan Papua dimengerti bahwa insan Papua harus turut andil dalam memberi terhadap negeri, baik itu dari segi aspirasi, kebudayaan, seni dan estetika, serta masih banyak lagi yang bukan hanya tanah.

Oleh karena itu buah Pinang merupakan kekakraban yang sepenuhnya harus dipahami oleh manusia dewasa ini untuk bergaul dan bercengkrama dengan insan Papua. Di mana bukan hanya sekadar camilan dalam konteks dewasa ini, tetapi perlu dilihat bahwa pinang, sirih dan kapur simbol budaya yang menjadi pintu untuk megakrabkan diri dengan insan Papua.

Maka dari itu saya lebih nikmat memakai bahasa insan Papua untuk menggantikan term orang Papua, karena ketika menyebut insan Papua berarti saya sedang berada di dalam keutuhannya yang bukan hanya terwakili dalam kata orang, tetapi justru lengkap dengan budaya serta moralitas alamiah insan Papua.

Biara Sang Surya, 9 April 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun