Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pinang dan Kontak Dialog untuk Memahami Papua

9 April 2020   13:27 Diperbarui: 9 April 2020   13:44 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Orang Papua tak akan mengenal yang namanya bicara di belakang atau nge-gibah bagi bahasa modern saat ini. Sehingga penolakkan terhadap ide dari salah satu insan dinyatakannya secara terus terang dengan keleluasaan tanpa harus memakai analogy seperti manusia modern kebanyakan.

Kebudayaan yang salah

Saat memaparkan ketiga argumen tentang Papua, sesungguhnya apa yang menjadi masalah manusia modern abad ini dalam berdialog dengan Papua? Konteks nyatanya bahwa relasi manusia detik ini seperti bersifat fungsionarisme semata. Membina relasi hanya berdasarkan fungsi, ketika alam Papua dilihat kaya justru dalam benak terpikirkan bahwa 'apakah perlu saya manfaatkan kekayaan alam Papua demi kepentingan pribadi?' Pola pikir ini dinilai benar dan sangatlah baik, tetapi perlu diingat bahwa kekayaan alam Papua bukan difungsikan demi kepentingan semata.

Papua dan seluruh alamnya memiliki jiwa serta hanya dapat dipahami oleh ketulusan bukan rasionalisme semata. Pendekatan untuk memahami Papua yang konon dikatakan rumit bukan karena tidak mengikuti arus zaman serta kepentingan global, tetapi tiadanya kesempatan bagi orang Papua untuk terlibat penuh dalam merawat kebudayaannya di tengah tuntutan generasi modern ini.

Justru ketika Papua menyampaikan pendapat dengan pengalaman serta realita yang ada, justru disalahpahami sebagai metode abad purba, ketika melihat mama-mama Papua membahasakan aktivitas dapur dengan tungku api, dalam benak tiap generasi akan berbeda dan lebih dominan melihat bertanya 'model apa lagi nih tungku api?' Karena memang Papua tak dapat dibahasakan hanya dalam konteks tuntutan zaman.

Memandang Papua secara sehat perlulah berintegrasi dengan kebudayaannya.

Dengan melepas paradigma dan pencapaian yang instant, serta menyatu dengan semangat berelasi yang dialogis disitulah dapat dipahami bahwa insan Papua memiliki paradigma hebat dan sangat menakjubkan terhadap dirinya sebagai seorang insan, juga budayanya sebagai jiwa untuk bereksistensi.

Kebudayaan yang salah dan selama ini dipegang bahkan dijadikan dogma adalah ketika mendengar kata Papua, justru dalam benak muncul kosakata, terbelakang, terpencil, dan tak terurus. Cara pandang inilah yang serta merta membuat insan Papua seperti kurang dipandang hidup dan seluruh kebudayaannya, tepat ketika masyarakat Papua hendak memberi bagi Indonesia dengan seluruh keutuhannya, tapi yang dicanangkan hanya pembangunan, dan peningkatan dalam segi infrastruktur di mana serta merta yang muncul kontroversi dan amat tidak dipahami oleh insan Papua itu sendiri.

Bagi insan Papua pemberian diri itu adalah seluruh keutuhan bukan hanya kekayaan alamnya di mana dialamatkan demi kepentingan devisa negara. Seluruh keutuhan pada konteks insan Papua dimengerti bahwa insan Papua harus turut andil dalam memberi terhadap negeri, baik itu dari segi aspirasi, kebudayaan, seni dan estetika, serta masih banyak lagi yang bukan hanya tanah.

Oleh karena itu buah Pinang merupakan kekakraban yang sepenuhnya harus dipahami oleh manusia dewasa ini untuk bergaul dan bercengkrama dengan insan Papua. Di mana bukan hanya sekadar camilan dalam konteks dewasa ini, tetapi perlu dilihat bahwa pinang, sirih dan kapur simbol budaya yang menjadi pintu untuk megakrabkan diri dengan insan Papua.

Maka dari itu saya lebih nikmat memakai bahasa insan Papua untuk menggantikan term orang Papua, karena ketika menyebut insan Papua berarti saya sedang berada di dalam keutuhannya yang bukan hanya terwakili dalam kata orang, tetapi justru lengkap dengan budaya serta moralitas alamiah insan Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun