Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Teknologi dan Penghayatan Iman

28 Maret 2020   01:48 Diperbarui: 28 Maret 2020   02:24 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tulisan ini kuterbitkan sebagai risalah terhadap aktifitas media yang semestinya perlu sebagai sarana untuk melayani iman. 

Terlihat ketika wabah corona mengancam dunia, pelayanan keagamaan Katolik terlebih khusus ekaristi memakai media teknologi sebagai sarana pewartaan iman agar tumbuh dan berkembang secara koheren, terlebih khusus di masa prapaskah. Maka langsung disimak saja artikel saya ya.....

Pada zaman ini, teknologi kerapkali disanjung sebagai anak kandung rasionalitas manusia. Bermula dari kebangkitan renaisans, dan terutama zaman pencerahan (abad ke-17 dan ke-18), telah menggiring subjek (bernama manusia) cenderung berpikir untuk memuliakan rasionalitasnya. Keperkasaan rasionalitas itu menjelma dalam ilmu-ilmu positif, sains dan teknologi, dengan digdaya mampu membebaskan manusia dari belenggu mitos. 

Lantas manusia dinilai sebagai subjek yang memegang kendali atas alam sehingga realitas di luar "aku" menjadi "objek" yang bisa dikuasai untuk kepentingan "aku". 

Walaupun argument ini menjadi titik tolak dari keberangkatan menuju peradaban modern, tetap saja masih ada yang memandang dengan sinis, sebut saja seperti Adorno dan Hoekheimer menyatakan bahwa abad pencerahan itu seperti sikap seorang diktator terhadap manusia (bdk. Dialectic of Enlightement Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer: California: Stanford University Press, 2002)  

Jelasnya rasio semata-mata akan memanipulasi diri dengan mengarahkan pada kepentingan apapun, baik itu politik, sains, ekonomi dan tak terluput pula ideologi kelompok. 

Sama seperti halnya fenomena dewasa ini bahaya hakiki sains dan teknologi in se sebenarnya bukan terletak pada dirinya, melainkan pada manusia yang memberi makna dan tujuan pada teknologi itu. 

Di sinilah Adorno dan Hoekheimer berusaha melabrak kemapanan Pencerahan Budi (Aufklarung) yang diklaim telah mengantar manusia pada kemakmuran. .

 Fenomena kemerosotan moral-spritual dan kedangkalan memahami teknologi, dipastikan bukan hanya menjadikan manusia kehilangan identitasnya, melainkan juga teknologi sendiri akan tercerabut dari akar metafisisnya. 

Pada aras ini, upaya Pencerahan Budi (Aufklarung) untuk keluar dari mitos-transendental "abad pertengahan" gagal total: manusia kembali menyembah mitos baru yang menampakan dirinya dalam teknologi dan sains.

Teknologi secara semestinya

 Mungkin baik dimulai dengan memahami istilah teknologi. Teknologi berasal dari bahasa Yunani, techne dan logos. Techne adalah seni atau kesenian (art), (kerajinan tangan), sedangkan logos dimengerti sebagai wacana, kata, gagasan, atau ilmu 

Teknologi bisa didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang memiliki tujuan praktis untuk mengubah, memanipulasi, serta menghasilkan produk-produk tertentu demi memudahkan aktivitas manusia. 

Namun, membatasi makna teknologi hanya sebagai peranti bisa bertendensi untuk menciutkan artinya. Karena itu pendapat beberapa filosof diperlukan untuk melihat secara luas apa itu teknologi.

 Karl Marx (1818-1883) mengartikan teknologi sebagai sebuah 'tenaga-tenaga produktif' di mana diartikan pada ranah kapitalis merupakan sebuah penggerak produksi (motor penggerak). Oleh karena itu melalui hal ini pulalah dapat dinyatakan gerak dari tenaga-tenaga produktif ini akan terlaksana jika ada sifat imperative didalamnya. Dengan demikian oleh karena adanya sifat imperative dalam teknologi bisa juga membuat manusia untuk tunduk pada system otomatisnya. Karena itu, alih-alih membuat manusia menjadi manusiawi, teknologi justru menjadikan manusia teralienasi dari eksistensi dirinya sebagai makhluk bebas. Manusia menjadi kehilangan otentisitas dirinya, karena dalam sistem produksi, manusia dipaksa untuk menjual "tenaga" kerjanya kepada pemilik modal.

Akibat adanya hal ini manusia kehilangan ruang untuk merealisasikan dirinya. Artinya manusia kehilangan kebebasan karena direnggut oleh sistem kerja kapitalisme dan upaya untuk merealisasi diri secara semestinya dan sesuai kemauannya begitu minim untuk manusia. Oleh karena itu pulalah dalam hal ini, sistem kapitalisme meletakkan manusia sebagai sarana dalam sistem produksi, sehingga selain kehilangan kesempatan untuk merealisasikan diri, manusia akan kehilangan otonomi dirinya, sebab di dalam sistem kerja, manusia berada di bawah "komando" proses produksi. Maka konsekuensinya ialah, manusia teralienasi dari dirinya sendiri.

 Martin Heidegger (1889-1976) dengan apik merumuskan teknologi sebagai suatu cara sistematik---lewat proses "membingkai" (enframing)---untuk melihat dunia. 

Bagi Heidegger, melalui teknologi, dunia dan segenapnya bisa disingkap sebagai ladang energi yang bisa ditambang, digali, dan didistribusikan. Lewat kaca mata "membingkai", menurut Heidegger, seluruh alam bisa direduksi pada status sebagai alat-persediaan untuk kegunaan instrumental manusia, yakni semata-mata demi manusia. 

Konsep "membingkai" inilah, menurut Heidegger, merupakan esensi teknologi modern. Itulah mengapa, teknologi menjadi berbahaya terutama terletak pada esensinya: "membingkai" (Gestell, Enframing). Dalam kerangka berpikir itu, dapat dipastikan segala sesuatu menjadi bisa dieksploitasi.

 Berbeda dengan kedua tokoh ini, justru Teilhard de Chardin menawarkan konteks teknologi secara baru dan sangat mendalam, dengan menyatakan bahwa memahami pekerjaan manusia---termasuk di dalamnya teknologi---sebagai partisipasi manusia dalam karya penciptaan ilahi. Ia menafsirkan perintah pertama kepada manusia "penuhilah bumi dan taklukanlah itu" (Kej 1:28) sebagai perintah yang belum selesai. 

Ungkapan tersebut, bagi Teilhard, adalah perintah kepada manusia untuk ikut meneruskan dan menyempurnakan dunia lewat pekerjaannya. Dengan demikian, manusia ikut berpartisipasi pada dinamika penciptaan ilahi.

 Maka dengan kata lain menurut Teilhard de Chardin bahwa sesungguhnya teknologi merupakan sebuah evolusi menuju kesatuan yang universal. 

Dimana dapat diuraikan bahwa Kesatuan universal itu dapat diartikan sebagai tahap baru evolusi manusia, di mana akan tecapai suatu keutuhan budi dan hati manusia dalam cinta kasih ilahi. 

Cinta Kasih Ilahi ini dipahami Teilhard sebagai diri pribadi Yesus sendiri, rute akhir dari perjalanan sejarah alam semesta. Pada aras inilah ditemukan titik temu antara teknologi dan agama. 

Kendati teknologi muncul dari hasil kegelisahan manusia atas sejarah dan masa depanya, teknologi tak lain adalah buah dari sebuah proses kreatif ciptaan Allah.

Teknologi sebagai pancaran evolusi Ilahi

Teilhard berusaha mencari jalan tengah antara agama dan ilmu pengetahuan dengan tetap mempertahankan eksistensi masing-masing. Baginya, teori evolusi harus dimengerti sebagai kesatuan fundamental yang menandai kosmos seluruhnya, termasuk di dalamnya adalah manusia. Kesatuan itu bersifat dinamis. 

Artinya, kesatuan itu merupakan proses yang sedang berlangsung dan akan terus berlangsung. Sebuah proses yang akan terus menjadi. Dalam proses evolusi, Tielhard berpendapat bahwa setiap fase mempunyai waktunya sendiri. 

Teilhard menolak pandangan tradisional (juga kreasionisme) yang melakukan dikotomi secara tajam antara benda mati dan benda hidup, materi dan roh. 

Menurutnya, di dalam materi terdapat segi dalam (aspek hidup-sadar) dan segi luar (aspek fisik-kimiawi). Dan segi dalam inilah yang memungkinkan proses evolusi. Dengan demikian, semua materi itu sesungguhnya hidup, kendati masing-masing memiliki intensitas dan "kehidupan" yang berbeda.

 Kehidupan muncul karena intensitas segi dalam yang mencapai tingkat lebih tinggi (kompleks). Tielhard memberikan hukum kompleksitas-kesadaran (complexity of consciousness) untuk menjelaskan adanya hubungan yang erat antara kompleksitas struktur materi dengan intensitas kesadaran. Segi dalam suatu materi akan semakin intensif apabila struktur materi (segi luar) lebih kompleks. 

Oleh karena itu, semakin bertambah kompleks sturuktur suatu materi, semakin sempurna pula tahap evolusinya. Variabel perkembangan materi tersebut berlangsung sebagai berikut: berawal dari elemen partikel atom ke molekul, dari molekul ke bentuk sel, dari satu sel ke multi-sel, dari sel yang paling primitif ke organisme yang paling kompleks, kemudian berakhir dengan entitas yang paling kompleks yang kemudian disebut: manusia. Jadi, manusia adalah puncak seluruh kompleksitas evolusi dunia.

 Teilhard menunjukkan kesesuaian teori evolusinya dengan paham penciptaan dalam dua aspek berikut: Pertama, menciptakan dimengerti sebagai menjadikan. 

Tielhard lebih menerima ungkapan, "Tuhan sedang menciptakan" ketimbang mengatakan "Tuhan telah menciptakan". Ia meyakini bahwa dalam materi, Tuhan telah meletakan peluang untuk berkembang (berevolusi) terus-menerus menurut proses tertentu dan mahkota seluruh ciptaan evolutif itu (manusia). Dalam tahap evolusi psiko-sosial, manusia turut mencipta bersama Tuhan. 

Artinya, apa yang diciptakan manusia sangat tergantung pada Sang Pencipta. Hal ini dimungkinkan, karena Allah telah meletakkan kemungkinan itu dalam materi yang bisa dikembangkan oleh manusia.

Kedua, penciptaan mengandaikan permulaan di dalam waktu. Kendati hal ini tidak dijelaskan secara filosofis, tetapi dapat diterima berdasarkan Kitab Suci. Lewat teori evolusinya, Tielhard berkeyakinan bahwa evolusi kosmos telah menunjukan adanya permulaan seluruh proses dan semua itu hanya ditemukan di dalam Allah sebagai Pencipta. 

Oleh karena itu, proses evolusi tidak hanya berhenti pada masa lampau kosmos dan umat manusia, melainkan (evolusionisme) selalu menuju masa depan dan akan terus berlangsung sepanjang sejarah manusia. Hal ini bisa ditunjuk lewat aneka kemajuan dan perubahan, entah di bidang sains, teknologi, ataupun peradaban manusia.

 Teilhard kemudian merumuskan evolusi psikis dan sosial (noophere) yang dihubungkan dengan evolusi spesies manusia. Ia berkeyakinan bahwa evolusi noosphere sangat berbeda dengan evolusi sebelumnya (evolusi organis dan biologis biosphere) karena manusia adalah makhluk yang bebas. 

Oleh karena itu, tidaklah mustahil, pada fase tertentu manusia akan memusnahkan kehidupan di bumi termasuk dirinya sendiri. Semua krisis yang terjadi itu, entah lewat fenomena kultural, teknologi, politik, maupun ekonomi, bagi Teilhard adalah "sebuah proses" menuju tahap penciptaan yang lebih tinggi. Munculnya krisis justru akan makin menyatukan manusia. 

Bahkan manusia sendiri bisa menjangkau persatuan universal itu (semua bangsa, budaya, negara, suku, agama, termasuk di dalamnya planet-planet) berkat kemajuan dan perkembangan evolusi.

Biara Sang Surya-Abepura, 27 Maret 2020

  1. Bertens, K., Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jakarta: PT Gramedia, 1981.
  2. Marx, Karl, Capital: Volume One, the Process of Production Capital, Moscow: Progress Publishers, 1887.
  3. Teilhard de Chardin P, Phenomenon of Man, New York: Harper & Row Publisher, 1959.
  4. Teilhard de Chardin P, Cristianity and Evolution, Rene Hague (Penerj), London: Harcourt Inc., 1967.
  5. Seno, Franz Magnis, Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2005.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun