Mohon tunggu...
Alfonsus Jimmy Hutabarat
Alfonsus Jimmy Hutabarat Mohon Tunggu... Freelancer - Masih mahasiswa.

Seorang pria yang bercita-cita menjadi nabi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Terorisme dan Mentalitas Hidup

5 Mei 2019   10:28 Diperbarui: 3 Desember 2019   16:38 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wajah negeri Sri lanka berduka setelah beberapa bom meledak di beberapa tempat tepat pada saat umat Kristiani seluruh dunia merayakan Paskah, Minggu 21 April 2019. Bom meledak di 8 tempat dengan rentang waktu yang berdekatan.

Empat ledakan awal terjadi pada waktu yang bersamaan pada pukul 08.45 waktu setempat. Ledakan ini menghancurkan dua  hotel di Kolombo dan dua Gereja masing-masing di Kolombo dan Negambo.

Berselang lima menit kemudian bom meledak lagi di Cinnamon Grand Hotel di Kolombo. Lalu berturut-turut di Gereja Katolik Roma Sion di Batticaloa,  New Tropical Inn di Dehiwala hingga yang terakhir ketika polisi menggerebek sebuah rumah di Dematagoda.

Pemilik rumah yang disinyalir sebagai salahsatu komplotan teroris meledakkan diri dan menyebabkan tiga orang polisi tewas.

Total terdapat delapan lokasi ledakan bom yang terjadi di seluruh wilayah Srilanka dalam satu hari. Dan dari semua tempat, gereja menjadi lokasi penyumbang jatuhnya korban paling banyak mengingat bom terjadi tepat ketika umat Kristiani sedang melaksanakan ibadah Paskah.

Atas kejadian tersebut, tak kurang dari 253 orang meninggal dunia dan ratusan lainnya mengalami luka-luka. Otoritas setempat kemudian merilis sembilan nama pelaku serangan bom bunuh diri pada hari Paskah itu.

Anehnya, dua dari sembilan pelaku merupakan kakak beradik dari keluarga kaya di Kolombo, yaitu Ilham Ahmed Mohamed Ibrahim dan Inshaf Ahmed. Ilham bersama Zahran Hashim, pemimpin kelompok militan Islam lokal, Jemaah Tauhid Nasional (NTJ) meledakan Hotel Shangri-La.

 Sementara adiknya, Inshaf meledakkan bom di Cinnamon Grand, Sebuah hotel yang tak jauh dari Hotel Shangri-La.

Presiden Sri Lanka, Maithripala Sirisena menyatakan hari berkabung nasional bagi korban tewas di negaranya. Sementara kelompok ISIS (Islamic State Of Iraq and Syiria) secara sepihak mengklaim bertanggungjawab atas serangan teroris yang terjadi melalui kantor beritanya, Amaq News Agency.

Kejadian yang menimpa Sri Lanka tentu mengingatkan kita pada rangkaian peristiwa serupa yang terjadi di tanah air tahun lalu. Tepatnya pada tanggal 13 dan 14 Mei, beberapa bom bunuh diri meledak di beberapa lokasi di Surabaya.

Ledakan terjadi di tiga tempat ibadah, yaitu Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan. Ledakan juga terjadi di dua tempat lain, yaitu Rumah Susun Wonocolo di Taman Sidoarjo dan pada tanggal 14 Mei di Markas Polrestabes Surabaya.

Sebanyak 28 orang tewas akibat peristiwa tersebut (termasuk pelaku) dan sebanyak 57 orang korban luka-luka. Pelaku diketahui merupakan satu keluarga yang beranggotakan enam orang.

Dita Upriyanto dan istrinya, Puji Kuswati diketahui membagi tugas kepada keempat orang anaknya untuk meledakkan sasaran yang telah mereka sepakati. Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam konferensi persnya menyatakan bahwa keluarga ini baru saja datang dari Suriah dan merupakan simpatisan ISIS.

Mereka juga tergabung dalam Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).

Berani hidup atau berani mati ?

Melihat fakta diatas, cukup menarik bahwasanya kita dapat menemukan banyak kesamaan. Dari kedua peristiwa teror di atas dan peristiwa-peristiwa teror yang pernah terjadi sebelumnya, yaitu pelaku teror selalu meninggal saat melakukan aksinya.

Dan rata-rata memang cukup jarang rasanya tindakan teror bom tidak berujung pada kematian. Ya, tindakan bunuh diri melalui serangkaian teror menjadi semacam tindakan "klise" namun umum terjadi.

Para calon pengantin bom biasanya mengklaim bahwa kematian mereka merupakan pengorbanan yang harus dilakukan untuk mendapatkan surga. Tentunya paham seperti ini sulit untuk diterima oleh akal dan nilai-nilai umum yang ada di masyarakat.

Pemahaman serupa tapi tak sama mungkin bisa kita terima ketika seseorang mengorbankan dirinya untuk kemaslahatan orang lain-kemudian disebut martir-.

Kita bisa menilik pada sejarah ketika Emily Wilding Davison, seorang anggota Suffragette (kelompok gerakan perempuan militan dari Inggris) tewas ditabrak oleh kuda milik Raja George V pada sebuah acara pacuan kuda di Derby tahun 1913. Emily merangsek masuk ke dalam area balapan kuda sambil membawa sebuah spanduk yang bertuliskan: "Votes For Women".

Suffragette sendiri merupakan gerakan perempuan yang mengkampanyekan kesamaan hak atas hidup antara perempuan dan laki-laki, terutama dalam hal pembuatan regulasi. Pada masa itu di Inggris, seorang perempuan tidak memiliki hak untuk terlibat dalam parlemen (hak dipilih dan memilih).

Sehinggga banyak kebijakan yang merupakan hasil dari kerja parlemen dirasa tidak berpihak pada kaum perempuan.

Berkat kejadian di lintasan pacu kuda tersebut, Suffragette mendapatkan perhatian dari khalayak luas, khususnya dari Raja. Perjuangan mereka semakin dikenal publik. Akhirnya pada tahun 1918 semua perempuan Inggris berusia 30 tahun ke atas mendapatkan haknya untuk memilih. Pada tahun 1925 hukum mengakui hak ibu atas anak-anaknya.

Pada tahun 1928 Representation of the People  memberikan hak kepada perempuan Inggris yang berusia diatas 21 tahun untuk memilih.

Bertahun-tahun semenjak kejadian tersebut, semangat pergerakan perempuan mulai bergelora di seluruh penjuru bumi. Banyak perempuan yang akhirnya terinspirasi. Beberapa negara akhirnya memberikan hak pilih kepada perempuan, seperti Brasil, Turki, Perancis, Italia dan lain sebagainya.

Kedua kasus diatas sama-sama mempraktikkan pengorbanan diri, namun dibalik itu semua terdapat perbedaan mendasar, yaitu tujuan. Pengorbanan diri dalam praktik bom bunuh diri tidak bisa dibenarkan karena mengakibatkan jatuhnya korban yang tidak bersalah.

Tindakan tersebut dapat dikatakan pembunuhan sekaligus bunuh diri. Doktrin yang menyertai tindakan tersebut juga dirasa egois dan keliru.

Banyak orang berpendapat bahwa doktrin bom bunuh diri merupakan hasil dari intepretasi yang salah terhadap sebuah ajaran. Oleh karena itu para pelaku bom bunuh diri memang selayaknya tidak dijadikan representasi dari ajaran atau agama tertentu.

Keingingan untuk mengakhiri hidup dalam kasus bom bunuh diri tersebut juga dirasa bukanlah sebuah tindakan keberanian. Mengingat hasil yang dipetik dari tindakan tersebut hanyalah kebencian dan amarah. Sebagian entitas juga akan tersudut, dan yang lainnya akan mencurigai.

Rasanya memang tepat kalimat yang pernah saya baca dalam sebuah buku yang berjudul "Berani Hidup (Courageous Life) Kumpulan Esai tentang Kemanusiaan,Intelektualitas, dan Kepemimpinan". Sebuah kalimat pembuka buku tersebut dari Prof. Anton M. Moeliono  berbunyi "jauh lebih penting berani hidup daripada berani mati".

Sebuah kalimat yang dalam, ditengah banyaknya orang yang dengan bangganya mengatakan berani mati tanpa pernah tahu bahwa hidup lebih membutuhkan banyak keberanian. Karena sesungguhnya hidup menawarkan banyak sekali tantangan sehingga keberanian memanglah sangat dibutuhkan.

Keberanian untuk bersikap benar walaupun seorang diri, keberanian untuk menyatakan salah jika salah dan keberanian untuk berjuang untuk kehidupan yang lebih baik. Dan tentang akan dimana kita ketika di akhirat kelak sangat ditentukan dari kehidupan kita di dunia, oleh karena itu Hiduplah !!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun