Sebanyak 28 orang tewas akibat peristiwa tersebut (termasuk pelaku) dan sebanyak 57 orang korban luka-luka. Pelaku diketahui merupakan satu keluarga yang beranggotakan enam orang.
Dita Upriyanto dan istrinya, Puji Kuswati diketahui membagi tugas kepada keempat orang anaknya untuk meledakkan sasaran yang telah mereka sepakati. Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam konferensi persnya menyatakan bahwa keluarga ini baru saja datang dari Suriah dan merupakan simpatisan ISIS.
Mereka juga tergabung dalam Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).
Berani hidup atau berani mati ?
Melihat fakta diatas, cukup menarik bahwasanya kita dapat menemukan banyak kesamaan. Dari kedua peristiwa teror di atas dan peristiwa-peristiwa teror yang pernah terjadi sebelumnya, yaitu pelaku teror selalu meninggal saat melakukan aksinya.
Dan rata-rata memang cukup jarang rasanya tindakan teror bom tidak berujung pada kematian. Ya, tindakan bunuh diri melalui serangkaian teror menjadi semacam tindakan "klise" namun umum terjadi.
Para calon pengantin bom biasanya mengklaim bahwa kematian mereka merupakan pengorbanan yang harus dilakukan untuk mendapatkan surga. Tentunya paham seperti ini sulit untuk diterima oleh akal dan nilai-nilai umum yang ada di masyarakat.
Pemahaman serupa tapi tak sama mungkin bisa kita terima ketika seseorang mengorbankan dirinya untuk kemaslahatan orang lain-kemudian disebut martir-.
Kita bisa menilik pada sejarah ketika Emily Wilding Davison, seorang anggota Suffragette (kelompok gerakan perempuan militan dari Inggris) tewas ditabrak oleh kuda milik Raja George V pada sebuah acara pacuan kuda di Derby tahun 1913. Emily merangsek masuk ke dalam area balapan kuda sambil membawa sebuah spanduk yang bertuliskan: "Votes For Women".
Suffragette sendiri merupakan gerakan perempuan yang mengkampanyekan kesamaan hak atas hidup antara perempuan dan laki-laki, terutama dalam hal pembuatan regulasi. Pada masa itu di Inggris, seorang perempuan tidak memiliki hak untuk terlibat dalam parlemen (hak dipilih dan memilih).
Sehinggga banyak kebijakan yang merupakan hasil dari kerja parlemen dirasa tidak berpihak pada kaum perempuan.