Mohon tunggu...
Alfonsus Jimmy Hutabarat
Alfonsus Jimmy Hutabarat Mohon Tunggu... Freelancer - Masih mahasiswa.

Seorang pria yang bercita-cita menjadi nabi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Terorisme dan Mentalitas Hidup

5 Mei 2019   10:28 Diperbarui: 3 Desember 2019   16:38 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkat kejadian di lintasan pacu kuda tersebut, Suffragette mendapatkan perhatian dari khalayak luas, khususnya dari Raja. Perjuangan mereka semakin dikenal publik. Akhirnya pada tahun 1918 semua perempuan Inggris berusia 30 tahun ke atas mendapatkan haknya untuk memilih. Pada tahun 1925 hukum mengakui hak ibu atas anak-anaknya.

Pada tahun 1928 Representation of the People  memberikan hak kepada perempuan Inggris yang berusia diatas 21 tahun untuk memilih.

Bertahun-tahun semenjak kejadian tersebut, semangat pergerakan perempuan mulai bergelora di seluruh penjuru bumi. Banyak perempuan yang akhirnya terinspirasi. Beberapa negara akhirnya memberikan hak pilih kepada perempuan, seperti Brasil, Turki, Perancis, Italia dan lain sebagainya.

Kedua kasus diatas sama-sama mempraktikkan pengorbanan diri, namun dibalik itu semua terdapat perbedaan mendasar, yaitu tujuan. Pengorbanan diri dalam praktik bom bunuh diri tidak bisa dibenarkan karena mengakibatkan jatuhnya korban yang tidak bersalah.

Tindakan tersebut dapat dikatakan pembunuhan sekaligus bunuh diri. Doktrin yang menyertai tindakan tersebut juga dirasa egois dan keliru.

Banyak orang berpendapat bahwa doktrin bom bunuh diri merupakan hasil dari intepretasi yang salah terhadap sebuah ajaran. Oleh karena itu para pelaku bom bunuh diri memang selayaknya tidak dijadikan representasi dari ajaran atau agama tertentu.

Keingingan untuk mengakhiri hidup dalam kasus bom bunuh diri tersebut juga dirasa bukanlah sebuah tindakan keberanian. Mengingat hasil yang dipetik dari tindakan tersebut hanyalah kebencian dan amarah. Sebagian entitas juga akan tersudut, dan yang lainnya akan mencurigai.

Rasanya memang tepat kalimat yang pernah saya baca dalam sebuah buku yang berjudul "Berani Hidup (Courageous Life) Kumpulan Esai tentang Kemanusiaan,Intelektualitas, dan Kepemimpinan". Sebuah kalimat pembuka buku tersebut dari Prof. Anton M. Moeliono  berbunyi "jauh lebih penting berani hidup daripada berani mati".

Sebuah kalimat yang dalam, ditengah banyaknya orang yang dengan bangganya mengatakan berani mati tanpa pernah tahu bahwa hidup lebih membutuhkan banyak keberanian. Karena sesungguhnya hidup menawarkan banyak sekali tantangan sehingga keberanian memanglah sangat dibutuhkan.

Keberanian untuk bersikap benar walaupun seorang diri, keberanian untuk menyatakan salah jika salah dan keberanian untuk berjuang untuk kehidupan yang lebih baik. Dan tentang akan dimana kita ketika di akhirat kelak sangat ditentukan dari kehidupan kita di dunia, oleh karena itu Hiduplah !!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun