Di dunia yang serba terhubung seperti sekarang, media sosial telah menjadi alat utama untuk berbagi kehidupan pribadi, termasuk hubungan romantis. Setiap hari, kita disuguhkan dengan foto-foto manis, momen bahagia, dan kata-kata penuh cinta dari pasangan yang tampaknya memiliki hubungan yang sempurna. Namun, apakah apa yang kita lihat di media sosial benar-benar mencerminkan kenyataan hubungan yang sesungguhnya? Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi fenomena "romanticizing relationships" di media sosial, serta bagaimana harapan dan kenyataan sering kali tidak sejalan.
Harapan: Hubungan yang Tanpa Cela
Media sosial sering kali memamerkan gambaran ideal tentang hubungan. Pasangan yang tampak sempurna, saling mendukung, dan selalu berbagi kebahagiaan---semua ini menciptakan ekspektasi tinggi mengenai bagaimana hubungan seharusnya berjalan. Foto bersama di pantai, kejutan romantis di hari ulang tahun, dan kata-kata manis yang diposting di feed media sosial, membentuk gambaran tentang hubungan yang sempurna.
Sebuah penelitian oleh Tiggemann dan Slater (2014) dalam jurnal International Journal of Eating Disorders menunjukkan bahwa media sosial dapat memperburuk perasaan perbandingan sosial, terutama di kalangan remaja perempuan. Hal ini bisa menciptakan standar yang tidak realistis dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan romantis. Ketika kita melihat pasangan lain memamerkan kebahagiaan mereka, kita sering kali merasa bahwa hubungan kita sendiri kurang memadai atau tidak cukup baik.
Namun, gambar-gambar yang tampak sempurna ini tidak menggambarkan seluruh cerita. Di balik setiap momen manis yang dibagikan, ada banyak hal yang tidak terlihat---konflik, ketegangan, atau tantangan emosional yang mungkin sedang dihadapi pasangan tersebut.
Kenyataan: Hubungan yang Tidak Selalu Sempurna
Pada kenyataannya, hubungan tidak selalu seperti yang kita lihat di media sosial. Chou dan Edge (2012) dalam studi mereka yang dipublikasikan di CyberPsychology, Behavior, and Social Networking menunjukkan bahwa media sosial sering kali memperlihatkan hanya sisi terbaik dari kehidupan seseorang. Ini menciptakan gambaran yang ideal tentang kehidupan orang lain, sementara kenyataannya banyak pasangan yang menghadapi masalah yang tidak mereka bagikan secara terbuka.
Konflik, ketidakpahaman, dan kebosanan adalah bagian alami dari setiap hubungan. Hal-hal ini sering kali disembunyikan dari pandangan publik karena banyak orang merasa perlu untuk memproyeksikan citra yang sempurna. Meskipun demikian, hubungan yang sehat dan langgeng melibatkan lebih dari sekadar momen bahagia yang diposting di media sosial. Ini melibatkan komunikasi yang terbuka, kompromi, dan kemampuan untuk bekerja melalui tantangan bersama.
Menurut Kuss dan Griffiths (2017) dalam artikel mereka yang diterbitkan di International Journal of Environmental Research and Public Health, kecanduan media sosial dapat menciptakan distorsi dalam persepsi diri dan orang lain. Ketika kita membandingkan hubungan kita dengan apa yang kita lihat di media sosial, kita mungkin merasa tidak puas atau bahkan tertekan untuk menciptakan momen yang "sempurna" seperti yang terlihat di platform tersebut. Hal ini bisa berdampak negatif pada kesehatan mental dan kebahagiaan dalam hubungan kita.
Dampak dari "Romanticizing" Hubungan di Media Sosial
Mengidealikan hubungan di media sosial bisa memiliki berbagai dampak negatif, terutama bagi generasi muda yang sedang membangun pandangan mereka tentang hubungan. Beberapa dampak utama dari fenomena ini adalah:
Perbandingan Sosial yang Merugikan
Melihat pasangan lain yang tampaknya selalu bahagia dan sempurna bisa memicu perasaan rendah diri dan ketidakpuasan dalam hubungan kita sendiri. Ini dapat menyebabkan kita merasa bahwa hubungan kita tidak cukup baik atau bahwa kita kurang berhasil dalam menciptakan kebahagiaan yang sama.
Tekanan untuk Menjaga Citra Sempurna
Banyak pasangan merasa tertekan untuk selalu menampilkan kebahagiaan mereka di media sosial, meskipun mereka mungkin sedang menghadapi tantangan di dunia nyata. Ini bisa menciptakan stres tambahan dan mengalihkan perhatian dari aspek yang lebih penting dalam hubungan, seperti komunikasi yang sehat dan saling pengertian.
Kesehatan Mental yang Terpengaruh
Menurut penelitian oleh Finkel et al. (2012) dalam Psychological Science in the Public Interest, media sosial dapat memperburuk kecemasan dan perasaan kesepian, karena kita sering kali membandingkan kehidupan kita dengan gambaran ideal yang dipamerkan orang lain. Hal ini bisa menciptakan ketegangan dalam hubungan dan merusak kesehatan mental pasangan.
Bagaimana Menjaga Harapan yang Realistis dalam Hubungan?
Sangat penting untuk memiliki ekspektasi yang realistis dalam hubungan, baik di dunia nyata maupun di media sosial. Berikut beberapa cara untuk menjaga harapan yang sehat:
Fokus pada Komunikasi yang Sehat
Alih-alih terfokus pada bagaimana hubungan kita terlihat di media sosial, lebih baik fokus pada membangun komunikasi yang terbuka dan jujur dengan pasangan. Ini akan membantu kita mengatasi masalah dan memperkuat ikatan.Terima Ketidaksempurnaan
Hubungan yang sehat tidak harus sempurna. Setiap pasangan akan menghadapi tantangan, tetapi yang membedakan hubungan yang kuat adalah kemampuan untuk menghadapi masalah bersama, bukan menghindarinya.Jangan Terlalu Terfokus pada Penampilan Online
Ingatlah bahwa media sosial hanya menampilkan sebagian kecil dari kehidupan seseorang. Tidak ada yang sempurna, dan kita tidak perlu menilai hubungan kita berdasarkan apa yang orang lain tampilkan.Ciptakan Momen Bahagia di Dunia Nyata
Fokus pada kebahagiaan yang ada dalam hubungan kita sendiri, tanpa terpengaruh oleh apa yang kita lihat di media sosial. Momen kecil yang penuh arti jauh lebih berharga daripada foto atau status yang hanya bersifat sementara.
Kesimpulan
Romanticizing relationships di media sosial menciptakan gambaran yang tidak realistis tentang hubungan romantis. Meskipun tidak ada yang salah dengan berbagi momen kebahagiaan, penting untuk ingat bahwa setiap hubungan memiliki tantangan dan ketidaksempurnaan. Untuk membangun hubungan yang sehat, kita perlu melepaskan ekspektasi yang dipengaruhi oleh standar media sosial dan lebih fokus pada kualitas komunikasi, saling pengertian, dan dukungan dalam dunia nyata. Hubungan yang sesungguhnya tidak harus sempurna---yang penting adalah bagaimana kita tumbuh bersama dalam menghadapi segala tantangan hidup.
Referensi:
Tiggemann, M., & Slater, A. (2014). "NetGirls: The Internet, Facebook, and Body Image Concern in Adolescent Girls." International Journal of Eating Disorders, 47(6), 630--643.
Chou, H. T. G., & Edge, N. (2012). "'They are happier and having better lives than I am': The impact of Facebook self-presentation on perceptions of others' lives." CyberPsychology, Behavior, and Social Networking, 15(2), 117-121.
Kuss, D. J., & Griffiths, M. D. (2017). "Social Networking Sites and Addiction: Ten Lessons Learned." International Journal of Environmental Research and Public Health, 14(3), 311.
Finkel, E. J., et al. (2012). "Online dating: A critical analysis from the perspective of psychological science." Psychological Science in the Public Interest, 13(1), 3-66.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H