Mohon tunggu...
Alfiyan Fajar S
Alfiyan Fajar S Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Etika dan Pelanggaran Hak Privasi yang Menggerayangi Fotografer Jalanan

29 Januari 2021   10:00 Diperbarui: 2 Februari 2021   15:19 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Street Photography atau fotografi jalanan adalah salah satu genre yang banyak digandrungi oleh banyak orang salah satunya ialah saya. Pada dasarnya street photography adalah suatu kegiatan memotret, baik objek maupun subjek dalam keadaan candid dan ketidakaturan (chaos) dalam ruang publik.

Sebenarnya yang lebih menarik dari genre street photography ini menurut saya ialah, kita dapat memotret objek dalam keadaan yang chaos, dalam artian kita tidak bisa mengatur segala hal yang ada di sekeliling kita.

Berbeda dengan memotret model dan produk yang bisa kita atur sedemikian rupa. Juga dengan kondisi ruangan dan objek yang terus dinamis membuat kami selaku penggiat fotografer jalanan tidak ada bosan-bosannya menekuni hobi ini.

Sebagai mahasiswa hukum yang menekuni hobi street photography ini, sudah selayaknya saya sadar akan potensi pelanggaran yang saya lakukan, karena memotret objek atau pun manusia dalam ruang publik sudah seharusnya kita aware akan etika dan hukum yang berlaku di masyarakat, hal ini selaras dengan asas hukum ubi societas ibi ius.

Hal yang pertama yang harus diperhatikan dalam memotret di ruang publik adalah etika dalam memotret. Etika sebelum memotret perlu dijadikan catatan bagi para fotografer jalanan untuk memulai, sesimpel meminta izin, menggoyangkan kamera sebagai sinyal untuk memotret, dan berterimakasih.

Tapi menurut saya soal meminta izin ini paradoksial dengan konsep fotografi jalanan itu sendiri, karena dengan meminta izin terlebih dahulu, objek akan terlihat kaku dan tidak realistis. Jika ingin mendapatkan foto yang candid dan realistis kita harus memotret objek diam-diam dan tanpa gestur yang mencurigakan.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Perlu dipahami sebelum melakukan hal yang demikian, kita harus paham soal hak privasi seseorang. Hak privasi (the right to privacy) merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28G Ayat 1 yang menyebutkan:

"Setiap orang berhak atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat dan tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi".

Dari sini kita bisa lihat bahwa hak privasi diatur dan diakui dalam konstitusi Indonesia, meskipun terminologi yang digunakan berbeda yakni "pribadi" bukan privasi.

Memotret secara diam-diam sebenarnya diatur dalam rezim Hak Cipta yaitu diatur dalam UUHC/Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pada Pasal 12 ayat 1 dan 2, tapi di sini saya menemukan frasa yang rancu dan tidak logis yang terdapat dalam pasal 12 ayat 1 yakni "tanpa persetujuan tertulis".

Dalam pasal a quo, untuk para fotografer jalanan pada realitasnya sangat sulit dan sedikit mustahil untuk mendapatkan persetujuan "tertulis" dari objek/subjek yang kita potret baik untuk mendapatkan izin foto maupun mendisrribusikan foto tersebut ke media sosial, karena dalam street photography terasa mustahil untuk melakukan hal yang demikian, kecuali izin lisan masih logis.

Dan frasa yang menurut saya tidak masuk akal juga yakni terdapat dalam Pasal 12 ayat 2 yaitu "Yang memuat dua orang atau lebih", frasa tersebut sangat tidak masuk akal karena kita sebagai fotografer harus meminta izin tertulis kepada semua orang yang ada dalam hasil foto, lagi-lagi itu suatu hal yang mustahil untuk dilakukan.

Pasal ini memang baunya sangat right to privacy sekali. Memang bagus, tetapi kita sebagai pegiat hobi street photography sangat tereduksi sekali akan pasal ini. Dan jika melakukan pelanggaran hak privasi yang dimaksud dalam pasal 12 ini, kita dapat dikenakan sanksi pidana denda maksimal 500 juta rupiah.

Sebagai fotografi jalanan dan seorang mahasiswa hukum, sudah selayaknya dan seharusnya aware dengan nilai dan hukum yang berlaku di masyarakat demi terciptanya nilai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan dalam tatanan masyarakat.

Namun jika produk hukumnya saja law defect apa boleh buat? Kita hanya bisa melakukan sebisanya dan semampunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun