Center of Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI), sebuah lembaga nirlaba di bidang kesehatan merilis sebuah pernyataan bahwa "Belanja rokok menyembunyikan 8,8 juta penduduk miskin" pada tangga 9 Januari 2023 silam.Â
Pasalnya, dengan melakukan perhitungan ulang pada data Susenas BPS (survei BPS tentang sosial ekonomi) tanpa memasukkan belanja rokok pada unsur pengeluaran per kapita, maka angka kemiskinan di Indonesia akan naik hingga 3,2 persen, sehingga hingga 8,8 juta penduduk miskin akan bertambah dari angka 26,5 juta yang dirilis oleh BPS.
Pada publikasi yang sama, CISDI menilai belanja tembakau sebagai pengeluaran yang mubazir, karena konsumsi rokok tidak berpengaruh terhadap pemenuhian nutrisi, dan konsumsi rokok justru akan meningkatkan biaya kesehatan dan menurunkan produktivitas masyarakat. Apakah benar bahwa 8,8 juta penduduk miskin telah 'disembunyikan' oleh belanja rokok?Â
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan memulai penelusuran dengan berangkat dari pertanyaan lainnya: saat ini, kita sedang membahas kemiskinan yang mana?
Konsep Kemiskinan BPS dan Pendekatannya
Untuk mengukur kemiskinan, BPS melakukan pengukuran dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic need approach). Dalam pendekatan ini, seseorang dikatakan miskin ketika secara ekonomi ia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.Â
Oleh karena itu, untuk mengukur ketidakmampuan seseorang, cara mengukur yang paling tepat adalah dengan mengetahui berapa besaran pendapatan seseorang tesebut. Namun, alih-alih mengukur pendapatan, BPS dalam surveinya justru menanyakan daftar pengeluaran seseorang. Sehingga, dengan cara ini, seseorang akan dinyatakan miskin ketika pengeluarannya tidak melebihi batasan tertentu. Batasan ini kemudian dikenal dengan istilah Garis Kemiskinan.
Kenyataannya, pemilihan pendekatan pengeluaran ini memiliki banyak kekurangan  dibandingkan jika seandainya BPS mengukur dengan pendekatan pendapatan. Hal ini dikarenakan pendekatan pengeluaran tidak memperhitungkan keberadaan aset serta pertambahan riil dari pendapatan rutin seseorang. Jika seseorang memiliki pendapatan yang tinggi, namun nyatanya memiliki konsumsi yang rendah, maka ia akan tercatat miskin.Â
Sebaliknya, seseorang yang konsumsinya bergantung pada pemberian orang lain, atau bergantung pada hasil lahan sendiri, akan tetap dinyatakan tidak miskin meski hidupnya tidak stabil secara finansial.Â
Kendati demikian pengukuran dengan pendekatan pengeluaran tetap digunakan karena pengukuran dengan pendekatan pendapatan hampir mustahil untuk dilakukan. Sampai saat ini data riil mengenai pendapatan penduduk masih belum tersedia, terutama untuk masyarakat yang bekerja di sektor informal.Â
Di sisi lain, jika dilakukan pendataan survei secara door to door untuk menanyakan pendapatan seseorang sebagaimana SUSENAS dilaksanakan, maka masyarakat cenderung memilih menyembunyikan pendapatan mereka, sehingga nilai yang diberikan akan dibawah nilai sebenarnya, yang menyebabkan estimasi menjadi over estimate. Hal inilah yang menyebabkan pengukuran kemiskinan tetap dilaksanakan dengan mengunakan pendekatan pengeluaran.
Terlepas dari konsekuensi penggunaan pendekatan pengeluaran tersebut, konsep dasar dari kemiskinan tetap sama. Kemiskinan yang berusaha diukur adalah kemiskinan yang berangkat dari frasa 'tidak mampu'. Pendekatan pengeluaran dipilih hanya untuk mencerminkan kemampuan seseorang secara ekonomi. Sehingga, meskipun konsumsi dilakukan secara tidak tepat, namun jumlah pengeluaran tersebut tetap mencerminkan kemampuan ekonominya.Â
Dengan logika pikir inilah, konsumsi rokok tidak dapat dikatakan 'menyembunyikan' 8,8 Â juta penduduk miskin. Karena konsumsi rokok ini sendiri menyatakan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengonsumsi di atas garis kemiskinan, hanya saja masyarakat lebih memilih mengonsumsi rokok dibandingkan mengonsumsi barang lain yang lebih bernilai guna.Â
Meskipun biaya mengonsumsi rokok dipindah pada konsumsi lainnya, jumlah penduduk miskin akan tetap sama. Namun di sisi lain, saya menilai CISDI dalam publikasinya tidak berusaha mempertanyakan mengapa rokok dimasukkan dalam perhitungan pengeluaran.Â
CISDI berusaha melihat bagaimana dampak yang terjadi jika pengeluaran rokok tidak pernah dilakukan. Perbedaannya, CISDI mengasumsikan pengeluaran itu akan hilang, sedangkan saya mengasumsikan pengeluaran itu akan dialokasikan pada pengeluaran lainnya.
Lantas, apakah CISDI salah dalam publikasinya? Sekali lagi, untuk menjawab ini, saya akan berangkat dari pertanyaan "kita sedang membahas kemiskinan yang mana?"
Kemiskinan Multidimensi
Konsep kebutuhan dasar atau biasa juga disebut dengan kemiskinan absolut bukanlah satu-satunya konsep kemiskinan. Sebut saja kemiskinan multidimensi, kemiskinan relatif, kemiskinan struktural, kemiskinan kutural, dan masih banyak lagi konsep lainnya.Â
Jika dalam pernyataannya CISDI mengaitkan konsumsi rokok sebagai konsumsi yang mubazir karena tidak berpengaruh terhadap pemenuhan nutrisi dan menyebabkan pembengkakan pada biaya perawatan, maka sebenarnya kita sedang membahas kemiskinan dari segi ketidakmampuan mencukupi gizi.Â
Jika harus mengukur dari segi kemiskinan, maka konsep yang paling dekat membahas ketidakcukupan gizi serta pengeluaran untuk biaya kesehatan adalah konsep miskin multidimensi.
Kemiskinan multidimensi adalah suatu konsep yang melihat kemampuan rumah tangga atau individu untuk menyediakan kebutuhan hidup primer dan sekunder. Konsep kemiskinan multidimensi langsung meninjau kemiskinan dari kepemilikan/akses terhadap hal-hal pokok seperti partisipasi sekolah, kecukupan gizi, keberadaan air bersih, akses sanitasi, listrik, dan sebagainya.Â
Konsep ini menutupi kekurangan miskin absolut yang tidak memerhatikan aset. Meskipun konsep perhitungannya bersifat multidimensi dan cenderung lebih sulit untuk diinterpretasikan, konsep kemiskinan multidimensi ini pada beberapa kasus sebenarnya lebih dekat dengan gambaran kehidupan miskin yang ada di dalam ruang diskusi masyarakat.Â
Oleh karena itu, jika ingin melihat bagaimana konsumsi rokok menyembunyikan kemiskinan di Indonesia, ada baiknya jika konsep yang digunakan adalah kemiskinan multidimensi.Â
Barangkali jika kemiskinan yang kita bahas ini adalah kemiskinan multidimensi, maka pernyataan CISDI tidak sepenuhnya salah. Karena kebetulan, analisis kemiskinan multidimensi juga selalu menyuarakan hal yang sama: bahwa ada banyak gejala kemiskinan yang tidak ditangkap oleh persentase penduduk miskin yang dirilis oleh BPS.
Selain konsep kemiskinan multidimensi, untuk tujuan analisis yang sama, indikator-indikator seperti prevalensi ketidakcukupan pangan, stunting, dan skor Pola Pangan Harapan (PPH) akan lebih dekat dengan kemampuan memenuhi kecukupan gizi dibandingkan dengan konsep kemiskinan pada umumnya. Indikator ini akan sejalan dengan pernyataan dari CISDI bahwa asupan protein harian rumah tangga perokok lebih rendah dibandingkan rumah tangga tanpa  perokok.
Akhir kata, jika kita sedang membahas kemiskinan absolut sebagaimana yang diukur BPS, maka konsumsi rokok tidak dapat dikatakan menyembunyikan 8,8 juta penduduk miskin.Â
Namun, hal ini bisa saja terjadi jika yang kita bahas adalah konsep kemiskinan lain, misalnya kemiskinan multidimensi. Karena konsumsi barang-barang yang (dinilai) memiliki nilai guna rendah seperti rokok akan mengurangi jumlah dana yang dapat dialokasikan untuk melakukan konsumsi pada kebutuhan lainnya yang bersifat lebih pokok. Sayangnya, untuk melihat sebanyak apa penduduk miskin yang disembunyikan konsumsi rokok dalam konsep ini, perlu dilakukan penelitian lanjutan.
Mungkin artikel ini juga dapat menjadi inspirasi bagi para pejuang skripsi yang sedang  mencari topik. Ada banyak yang bisa kita debatkan dengan data, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H