Mohon tunggu...
Andi Alfitra Putra Fadila
Andi Alfitra Putra Fadila Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi Plat Merah

Statistisi yang bingung membedakan peran sebagai penulis, pembaca, dan analis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejumlah Poin tentang Mengapa Survei Pelecehan Publik KRPA Perlu Dikaji Kembali

14 Februari 2020   16:22 Diperbarui: 11 Juli 2020   10:09 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada tahun 2019 lalu, Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menerbitkan hasil Survei Pelecehan Publik. Survei ini dilaksanakan pada saat Kampanye 16 hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (25 November-10 Desember) tahun 2018 oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang terdiri dari Komunitas Hollaback Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JDFG), dan Change.org.

Dari hasil survei itu, disimpulkan bahwa "tak ada hubungan antara pakaian yang dikenakan korban dengan pelecehan seksual", sebagaimana disampaikan oleh Rika Rosvianti, pendiri komunitas perEMPUan, dan dikutip oleh news.detik.com dalam artikelnya yang berjudul 'Hasil lengkap Survei KRPA soal relasi Pelecehan Seksual dengan Pakaian'. Selain artikel itu, masih banyak artikel lain mengenai Survei Pelecehan Publik yang dapat diakses dengan mudah lewat perambah daring dengan mencari kata kunci yang sama.

Sampai detik ini, data ini terus digunakan sebagai bahan pembicaraan masyarakat yang meresponnya dengan sikap pro dan kontra. Di pihak 'pro', data ini digunakan sebagai rujukan utama untuk mengatakan bahwa faktor utama pelecehan seksual datang dari dalam diri pelaku, bukan dari pakaian korban. Di sisi lain, pihak 'kontra' mengatakan bahwa hasil survei ini tidak relevan dan tidak mencerminkan fakta yang terjadi. Kedua pihak sama-sama mengklaim pernyataan merekalah yang paling tepat. Namun demikian, sebenarnya bagaimana jika penelitian hasil penelitian ini dikritik secara ilmiah? Saya iseng melakukan hal ini dan menemukan beberapa hal.

1. Seperti apa metode yang digunakan?

Penelitian ini menggunakan metode penelitian non probability, yang artinya tidak didasarkan atas penarikan sampel secara acak sebab dilakukan dengan menarik sampel melalui internet, mailing list, dan juga turut disebar lewat sosial media. Metode ini dikenal dengan metode Convenience Sampling.

Konsekuensi dari penggunaan metode ini adalah tidak memungkinkannya dilakukan inferensia dari hasil penelitian yang didapat. Maknanya, hasil penelitian belum dapat dijadikan dasar penggambaran populasi secara keseluruhan, dalam hal ini adalah penduduk Indonesia. Hasil dari metode penelitian non probability adalah berupa produk statistik deskriptif yang hanya bisa menjelaskan keadaan sampel yang diambil, yang dalam kasus ini adalah 32.341 orang yang menjadi responden, bukan 266,91 juta jiwa penduduk indonesia di tahun 2019 (berdasarkan proyeksi penduduk Survei Antar Sensus (SUPAS) 2015).

Kalaupun dikatakan bahwa respon yang didapat penelitian ini mendekati hasil yang didapat jika dilakukan dengan probability method,  menurut saya,  tetap saja masih ada salah kaprah dari cara penarikan kesimpulan dalam penelitian ini. Penjelasan mengenai hal ini akan dibahas di dalam poin selanjutnya.

Catatan kaki: saya menuliskan responden total 32.341, bukannya 62.224 karena hanya 32.341 responden yang ditanyai mengenai jenis pakaian. 32.341 responden ini adalah responden yang pernah mengalami pelecehan seksual dari total 62.244 responden.

2. Apakah benar tak ada hubungan antara pakaian yang dikenakan korban terhadap pelecehan seksual?

Rika Rosvianti selaku founder perEMPUan dalam berita ini mengatakan bahwa kesimpulan dari penelitian ini adalah tak ada hubungan antara jenis pakaian yang dikenakan korban terhadap pelecehan seksual yang terjadi. Dasar dari pernyataan ini adalah hasil yang menunjukkan bahwa 17,47% korban pelecehan menggunakan kategori pakaian rok atau celana panjang ketika kasus pelecehan terjadi--angka ini merupakan yang tertinggi di banding angka di kategori lainnya.

Hal lain, Rika mengatakan sekitar 17 persen dari korban mengenakan hijab pendek atau hijab panjang saat kejadian berlangsung. Kedua jenis pakaian tersebut merupakan jenis pakaian yang dianggap tertutup, sehingga ditarik kesimpulan bahwa jenis pakaian tidak memiliki pengaruh terhadap resiko seseorang menjadi korban pelecehan seksual.

Tapi, apakah proses penarikan kesimpulan ini sudah dapat diterima? 

Jawabannya, pada kenyataannya, proporsi kategori bukanlah statistik yang bisa digunakan sebagai dasar untuk mengatakan apakah suatu variabel memiliki hubungan terhadap variabel lainnya atau tidak. Data proporsi kategori harus diolah terlebih dahulu.

Dalam ilmu statistika, ada dua cara yang lazim digunakan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara suatu variabel dengan variabel lainnya: analisis korelasi dan analisis regresi. Korelasi, adalah jenis analisis yang digunakan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara variabel satu dengan variabel lain, tanpa memperhatikan sebab-akibat. Regresi sendiri adalah jenis analisis yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel satu terhadap variabel lainnya.

 Dalam penelitian ini angka 17,47% hanyalah persentase orang yang menjawab 'menggunakan rok atau celana panjang' terhadap total responden. Angka ini masih berupa produk proporsi kategori, dan sama sekali bukan berupa korelasi atau regresi, sehingga, jika ingin diinterpretasikan, angka ini hanya bisa diartikan sebagai berikut: 'sebanyak 17-18 orang dari 100 orang yang mengalami pelecehan seksual, menggunakan rok atau celana panjang saat kejadian'. 

Meskipun angka ini dapat digunakan sebagai dasar gambaran mengenai objek penelitian--dalam hal ini pakaian korban--karena menunjukkan kategori dengan proporsi terbesar, namun besarnya proporsi bisa jadi ada karena wanita Indonesia jika keluar rumah memang mayoritas mengenakan rok dan celana panjang. Dengan demikian, kita tidak tahu apakah ini berkaitan dengan faktor pelecehan seksual atau faktor lainnya.

Untuk menganalisis lebih lanjut mengenai seberapa besar resiko seseorang yang berpakaian terbuka menjadi korban pelecehan seksual dibanding orang yang berpakaian tertutup, bisa dianalisis melalui penghitungan Relative risk (resiko relatif) atau Odd Ratio (faktor resiko). Analisis jenis ini adalah analisis yang sering digunakan dalam bidang kesehatan, karena menghitung seberapa besar resiko suatu kelompok terkena sesuatu dibandingkan dengan kelompok lainnya. Jika pembaca masih bingung, mungkin pembaca pernah mendengar kalimat yang berbunyi, "Keturunan diabetes beresiko terkena diabetes 6 kali lebih tinggi dibandingkan non keturunan diabetes", ini adalah salah satu contoh dari penggunaan Relative Risk.

Jadi, dalam kasus ini, selain menghitung jenis pakaian korban, kita juga perlu menghitung jenis pakaian orang yang tidak terkena pelecehan seksual. Dengan demikian, perhitungan resiko melalui metode Relative Risk ataupun Odd ratio menjadi mungkin dilakukan. Sayang sekali penelitian yang dilakukan oleh KRPA tidak menghitung jenis pakaian yang digunakan oleh orang yang tidak mengalami pelecehan seksual, sehingga perhitungan melalui metode ini menjadi tidak bisa dilakukan. Selain Relative risk  dan Odd Ratio, masih ada beberapa metode lain yang dapat digunakan, namun tampaknya tak satupun dari metode itu dilakukan oleh  KRPA untuk menjawab pertanyaan di poin ini.

Kesimpulannya, jika yang kita miliki hanya hasil penelitian yang diterbitkan oleh KRPA, saya rasa jawaban paling tepat dari pertanyaan 'apakah benar ada hubungan antara pakaian yang dikenakan korban terhadap pelecehan seksual', adalah 'tidak tahu'.

3. Mengapa saya menulis tentang hal ini?

Karena, jika data itu disuarakan dengan cara yang tidak benar, maka akan ada insight yang tidak benar pula. Ujung-ujungnya, tindakan atau kebijakan yang akan diambil oleh orang-orang juga akan salah. 

Survei ini merupakan survei yang telah dan akan dijadikan rujukan oleh masyarakat umum untuk bertindak di masyarakat. Ketika datanya diartikan dengan cara yang tidak tepat, maka akan menyebabkan pengaruh yang bisa jadi besar, sebab memuat sikap masyarakat secara keseluruhan.

Seandainya saja memang ada pengaruh dari pakaian terhadap resiko menjadi korban pelecehan seksual, maka interpreasi yang dipilih justru akan menyebabkan bertambahnya pelecehan seksual. Penyebabnya, perilaku berpakaian tertutup yang sebenarnya bisa menjadi langkah preventif justru disangkal oleh kesimpulan yang bisa jadi salah kaprah. Jika demikian, penelitian yang semula bertujuan untuk melawan pelecehan seksual justru menjadi sebab pelecehan seksual itu ada. Saya bukannya mengatakan bahwa penelitian itu salah total, namun saya rasa interpretasi yang digunakan tidak dapat dibenarkan. Ada pemaksaan opini dalam hal ini.

4. Komentar Saya Pribadi

Misalkan saja ada 2 faktor yang mempengaruhi pelecehan seksual: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada pada diri korban/calon korban, dan faktor eksternal adalah faktor yang ada diluar diri korban /calon korban. Tentu saja yang kita harapkan adalah kita tidak mengalami pelecehan seksual. Untuk berperan dalam harapan kita ini secara langsung, kita harus bertindak melalui 2 faktor tersebut.

Kita bisa mempengaruhi faktor eksternal, yaitu mengkampanyekan betapa buruknya pelecehan seksual, dan menyusun skema yang mencegah terjadinya pelecehan seksual. Beberapa contoh dari tindakan yang mempengaruhi faktor eksternal yaitu, menyediakan gerbong kereta khusus wanita, menyediakan cctv dalam transportasi umum, menyediakan call center yang menindaki pelecehan seksual, dan mempertegas hukum yang melindungi korban-korban pelecehan seksual.

Namun, diluar faktor eksternal, tidak dapat dipungkiri bahwa wanita harus memiliki kemauan untuk masuk ke gerbong khusus wanita, bahwa harus ada yang menelpon call center, harus ada yang melindungi saudara-saudarinya dari pelecehan seksual, dan mengenakan pakaian sopan jika memang itu bisa mencegah.  Faktor-faktor ini adalah faktor internal yang masyarakat umum bisa lakukan secara langsung.

Maksud saya, mengatakan bahwa faktor pakaian bisa mencegah tidaklah menghapus kenyataan bahwa tindakan pelakulah yang salah. Kita harus bisa menangani masalah ini dengan segala tindakan yang bisa kita lakukan, termasuk mencegahnya dari diri kita sendiri.

5. Tambahan

 Sebelumnya, saya tertarik ketika mengetahui bahwa penelitian ini berhasil mengumpulkan total 62.224 untuk pertanyaan awal, dan 32.344 untuk jenis pakaian yang dikenakan ketika pelecehan seksual terjadi. Tentu saja tidak mudah mengumpulkan data sebesar itu, dibutuhkan kampanye yang besar-besaran. Kampanye ini juga bisa menimbulkan efek samping, yakni membesarnya bias sampel, yang lagi-lagi terjadi karena metode non probability.

 Hal yang menarik lainnya, persentase korban pelecehan berdasarkan gender. Dalam penelitian ini berturut-turut disebutkan 64% untuk perempuan, 11% laki-laki, dan 69% untuk gender lainnya. Dapat disadari bahwa total keseluruhan proporsi bukan 100%, jadi pembaginya bukanlah total responden, atau bisa jadi definisi gender yang digunakan tidaklah unik atau tidak saling bersinggungan. Maka dari itu, saya berasumsi bahwa pembaginya adalah total responden untuk gender itu. Jadi, menurut asumsi saya, 64% untuk perempuan maksudnya adalah 64 dari 100 perempuan yang menjawab mengaku pernah mengalami pelecehan seksual. Jika benar demikian, maka dari angka ini dapat dihitung relative risk dan odds ratio untuk mencari tahu perbandingan resiko antar gender. Hasil perhitungan saya adalah sebagai berikut:

  • Perempuan terhadap laki-laki

Relative risk:

64%/11% = 5,81

Interpretasi: Perempuan memiliki resiko menjadi korban pelecehan seksual 5,81 kali lebih tinggi (atau hampir 6 kali) dibanding laki-laki.

Odd ratio:

64 x 89/36 x 11= 14,38

Interpretasi: Resiko perempuan menjadi korban pelecehan seksual 14,38 kali lipat dibanding laki-laki.

  • Gender lainnya terhadap laki-laki

Relative risk:

69%/11% =6,27

Interpretasi: Gender lain memiliki resiko menjadi korban pelecehan seksual sebesar 6,27 kali lebih tinggi dibanding laki-laki.

Odd ratio:

69 x 89/31 x 11 =18,01

Interpretasi: Resiko gender lain menjadi korban pelecehan seksual 18,01 kali lipat dibanding resiko laki-laki.

Terakhir: sangat menarik persentase menjadi korban pelecehan seksual bagi gender lainnya adalah 69%.

Sebagai penutup, artikel ini hanya analisis pribadi saya, tidak menutup kemungkinan terdapat banyak kesalahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun