Manusia dalam Perspektif Al Ghazali
Imam Al-Ghazali selain dikenal sebagai seorang filosof Islam. Ia digolongkan seorang ahli ilmu pengetahuan yang brilian dan mempunyai pandangan yang demikian luas serta mendalam.Â
Tujuan hidup baginya merupakan keutamaan manusia dalam rangka senantiasa beribadah kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat, maka berambisi mendidik orang lain mengenai pengetahuan-pengetahuan yang dapat membimbing para peserta didik sesuai dengan tujuan tersebut, sehingga Imam Al-Ghazali dikatakan sebagai seorang pendidik dan pembaru sosial (Sulaiman, 1964). Konsep manusia menurut al-Ghazali tidak berbeda dengan konsep ajaran Islam, karena ia mendasarkan pemikirannya kepada al-Qur'an dan al-Sunnah.
Konsep manusia dalam pemikiran Al Ghazali, selaras dengan pemikiran beliau tentang bagaimana sikap dan perilaku seorang guru dan murid. Begitu juga hubungan yang terjalin antara keduanya, beliau menekankan perlunya dibangun hubungan yang bersifat.Â
Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, cara yang terbaik dalam rangka mengenali hakikat manusia adalah melalui penjelasan dari Yang Menciptakannya yaitu Allah swt, yang termaktub dalam kitab suci al-Quran (Ahmad Tafsir, 1992) Menurut al-Ghazali, manusia tersusun dari unsur jasmani dan rohani, sejalan dengan firman Allah dalam al-Quran surat al-Shaad ayat 71-72 (Ali KhalilAbu alAinain, 1980), Namun dalam uraiannya al-Ghazali lebih menekankan unsur rohani.
Hakikat manusia adalah jiwanya (aspek rohani). Unsur rohanilah yang membedakan manusia dengan makhluk-rnakhluk Allah lainnya. Oleh karena itu dibebankan kepada manusia amanah atau al-taklif, dan diberikan pula kebebasan dan tanggung jawab memiliki serta memelihara nilai-nilai ilahiyah. Menurut al-Ghazali, aspek rohaniyah manusia meliputi al-qalb, al-ruh, al-nafs dan al-'aql .Â
Keempat aspek inilah yang menjadi motor penggerak dalam diri manusia. Abul Quasem menegaskan manusia menurut alGhazali adalah Al-Qalb Menurut abu hamid al-ghazali, qalb mempunyai dua pengertian.Â
Pengertian pertama adalah hati jasmani (Al-qalbaljasmani) atau daging sanubari (al-lahm al sanubari), yaitu daging khusus yang berbentuk jantung pisang yang terletak di dalam rongga dada sebelah kiri dan berisi darah hitam kental. Qalb dalam arti ini erat hubungannya dengan ilmu kedokteran, dan tidak banyak menyangkut maksud-maksud agama dan kemanusiaan, karena hewan dan orang mati pun mempunyai qalb seperti ini.Â
Sebangkan qalb dalam arti kedua adalah sebagai luthf rabbani ruhiy (bersifat spiritual). Al-qalb merupakan alat untuk mengetahui hakikat sesuatu (Nasiruddin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: Rasail Media Group, 2010).Â
Sebagian dari persoalan yang patut di perhatikan di sini adalah bahwa kalimat qalb di sebut dalam Alquran al-karim. Hanya saja penyebutan ini tidak secara mutlak menunjukan bahwa kata qalb di artikan dalam konteks anatomi kedokteran (yaitu, hati yang melekat dalam badan), melainkan di maksud sebagai "instrumen persepsi marifah yang sangat kompleks". (Muhammad Abdullah asySyarqawi, Sufisme dan Akal, Bandung: Pustaka Hidayah, 2003)
Al-Ruh Para ulama berbeda dalam mengartikan kata ruh. Menurut al Qusyairi, ruh adalah jisim yang halus bentuknya (sebagaimana malaikat, setan) yang merupakan tempat akhlak terpuji. Dengan demikian ruh berbeda dengan nafs dari sisi potensi positif dan negatif. Nafsu sebagai usat akhlak tercela sementara ruh sebagai puasat akhlak terpuji. Ruh juga merupakan tempat mahabbah pada Allah.
Ruh yang merrupakan subtansi psikologis ini, menurut al-Ghazali merupakan lathifah (sesuatu yang abstrak,tidak kasat mata) yang memiliki potensi untuk brfikir, mengingat, dan mengetahui.Â
Sementara ruh sebagai subtansi ruhani,dalam pandangan alGhazali merupakan al qudrah al ilahiyyah (daya ketuhanan) yang tercipta dari alam urusan Tuhan (alam al amr), dan bukan dari alam penciptaan (alam al khalq). Sehingga sifatnya bukan jasmaniah dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu
Al - Aql Ada beberapa pengertian tentang aql
Pertama, aql adalah potensi yang siap menerima pengetahuan teoritis.Â
Kedua, aql adalah pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemuhalan sesuatu yang mustahil yang muncul pada anak usia tamyiz, seperti pengetahuan bahwa dua itu lebih banyak dari pada satu dan kemustahilan seseorang dalam waktu yang bersamaan berada di dua tempat.
Ketiga, aql adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman empirik dalam berbagai kondisi. Keempat, aql adalah potensi untuk mengetahui akibat sesuatu dan memukul syahwat yang mendorong pada kelezatan sesaat. Dengan demikian orang yang berakal adalah orang yang di dalam melakukanperbuatan didasarkan pada akibat yang akan muncul bukan didasarkan pada syahwat yang mendatangkan kelezatan sesaat.Â
Di dalam Al-Qur'an, kata Aql dalam bentuk kata benda tidak ditemukan di dalam al-Qur'an adalah kata kerjanya yakni ya'qilun, ta'qilun dan seterusnya. Aqala (fi'il Madli, kata kerja lampau) berarti menahan atau mengikat. Dengan demikian al-A'qil(isim fail) berarti orang yang menahan atau mengikat nafsunya sehingga nafsunya terkendali karena diikat atau ditahan. Sedangkan orang yang tidak mempunyai aql tidak mengikat nafsunya sehingga nafsunya liar tak terkendali.Â
Itulah sebabnya orang berakal kadang disebut dengan uli al-nuha (yang mempunyai daya cegah) kadang disebut dengan dzi hijr (yang mempunyai daya cegah), dan kadang disebut dengan uli al-ahlam(yang mempunyai
An-Nafs Sedangkan menurut al-Ghazali nafsu diartikan "perpaduan kekuatan marah (gadlab) dan syahwat dalam diri manusia". Kekuatan gadlab pada awalnya tentu untuk sesuatu yang positif seperti untuk mempertahankan diri, mempertahankan agama dan sebagainya. Dengan adanya gadlab itulah jihad diperintahkan dan kehormatan diri terjaga.Â
Dengan kekuatan marah seorang wanita menolak untuk dinodahi agama dan kehormatannya. Dengan kekuatan marah seseorang dapat menumpas kedzaliman dan kemungkaran. Namun ketika gadlab tidak terkendali maka yang terjadi adalah kehancuran dan akhlak tercela. ( Nasiruddin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: Rasail Media Group, 2010)
Konsep al nafs dalam psikologi sufistik al Ghazali, dibedakan dalam dua arti. Dalam pengertian pertama, al nafs dipandang sebagai daya hawa nafsu yang memiliki daya kekuatan yang bersifat gadlabiyah dan syahwaniyah. Gadlabiyah adalah hilangnya kesadaran akal, karena dorongan kejahatan setan.Â
Oleh karena itu, kata al Ghazali, orang yang sedang emosi/marah berarti orang yang dipermainkan oleh setan, seperti halnya bola yang dipermainkan oleh anak. Sedang syahwaniyah adalah daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dalam segala aspek yang menyenangkan. Sementara dalam pengertian keua, al nafs dimaksudkan sebagai jiwa ruhani yang bersifat terpuji dan halus yang merupakan hakikat manusia.
Potensi nafs yang cenderung positif ini , bila dikembangkan terus hingga sampai batas maksimal, maka tidak mustahil potensi ini dapat berfungsi sebagai media pengembangan tingkah laku lahiriah yang mengarah pada sifat-sifat keutamaan dan kesempurnaan moral. (Abdullah Hadziq, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, (Semarang: Rasail, 2005)
Pandangan tersebut sejalan dengan pemikiran psikologi al-Ghazali, bahwa tingkah laku lahiriah yang berbasis al-nafs al muthmainnah, memiliki kecenderungan ke arah kesempurnaan akhlak dan budi pekerti, karena di dalamnya terdapat nilai-nilai motivasi yang bermuatan potensi ketuhanan (alquwwah al ilahiyyah).Â
Sebaliknya tingkah laku lahiriah yang berbasis al-nafs al ammarah, mempunyai kecenderungan yang bersifat kebinatangan (bahimiyyah) dan kejahatan (syaithaniyah). (Abdullah Hadziq, 2005)
Â
Implikasi dan Relevansinya Terhadap Sistem Pendidikan IslamÂ
Pengaruh pemikiran al-Ghazali khususnya dalam dunia pendidikan Islam yang pada gilirannya terajut dengan formulasi murni keagamaan dan menjadikannya sebagai kekuatan utama konservatisme dan taqlidisme. Seperti yang terjadi pada lembaga pendidikan pesantren di Indonesia.Â
Dalam hal ini, pesantren secara fundamental menanamkan nilai-nilai akidah dan akhlak yang kokoh bagi anak didik. Para santri tidak hanya diajarkan tentang ilmu-ilmu keislaman secara teoritis, tapi juga dilatih dan dibiasakan untuk mempratekkannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan pesantren termasuk pola hidup sederhana.
Sebagaimana yang digambarkan oleh Karel A. Steenbrink bahwa untuk meresapkan jiwa keislaman, pesantren lebih ditekankan sebagai tempat tinggal yang seluruhnya diresapi nilai-nilai agama, di mana shalat didirikan secara berjamaah, selalu diperdengarkan bacaan al Quran dengan suara merdu, baik itu untuk memperbaiki bacaan dengan tajwid, atau hanya sekedar ingin mendapatkan pahala, dan mendirikan shalat ditengah keheningan malam.Â
Begitu juga dalam pergaulan sehari-hari, para santri dituntut untuk menerapkan dan membiasakan akhlak al karimah.(Karel A Steenbrink, 1986) Namun hal yang perlu digaris bawahi dalam rangka memahami pemikiran al-Ghazali tersebut adalah memahami kondisi psikologis dirinya di mana ia telah mengalami krisis kejiwaan yang akut. Sebagaimana yang didokumentasikannya dalam karya al-Munqidz.
Oleh sebab itu pemikiran al-Ghazali tentang hakikat manusia lebih mengedepankan dimensi rohani sebagaimana uraian di atas. Konsekwensinya pemikiran pendidikan alGhazali lebih berorientasi pada upaya "pembersihan jiwa (rohani) dari noda-noda akhlak dan sifat-sifat tercela". Pandangan alGhazali tentang hakikat manusia berimplikasi pada konsep pendidikan "Akhlaq al-Ghazali".Â
Bagaimana konsepnya tentang hakikat manusia begitulah konsep pendidikan yang diinginkannya. Al-Ghazali menyeru pada tasawuf, zuhud dan tawakkal, tetapi beliau tidak menyeru untuk mengabaikan kehidupan dunia, seperti bertani, industry, kedokteran dan sebagainya.
Karena itu, pendidikan akhlak dalam perspektif al-Ghazali adalah hal yang sangat "urgen" dalam mengembangkan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada diri manusia, agar manusia dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.Â
Hal ini bisa dicermati dari formulasi teori pendidikannya yang tertuang dalam karyanya Ayyuha al-Walad yang berkisar pada tiga hal pokok, yaitu: 1. Keutamaan ilmu-pengetahuan 2. Pengklasifikasian ilmu-pengetahuan 3. Kode etik bagi pendidik (guru) dan peserta didik. Menurut al-Ghazali, ilmu pengetahuan merupakan "jalan" utama yang mengantarkan seseorang dekat dengan Allah. Menurutnya,
Jadi, pangkal kebahagiaan hidup di dunia dan akherat adalah ilmu, sehingga merupakan amal yang terbaik(Muhammad Jawwad Ridha, 2002) Dalam dunia pendidikan Islam, pengklasifikasian ilmu oleh al-Ghazali berkembang menjadi dasar konstruksi paradigma dikhotomik. Kenyataan ini telah melanda hampir di seluruh dunia Islam, sehingga menjadi salah satu penyebab keterpurukan peradaban Islam.
Terkait dengan pendidik, al-Ghazali sebagai seorang guru telah memberikan perhatian yang penuh terhadap murid mengasihi dan menyangi murid-muridnya Menurutnya, guru harus menjadi tauladan yang baik dan meniru sifat nabi, sederhana dalam bertindak, tidak pemarah, ikhlas dan selalu menanamkan sifat ikhlas kepada anak didik, berusaha untuk taqarrub ilallah dan mengupayakan anak didik untuk ber taqarrub ilallah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H