Oleh karena itu, kata al Ghazali, orang yang sedang emosi/marah berarti orang yang dipermainkan oleh setan, seperti halnya bola yang dipermainkan oleh anak. Sedang syahwaniyah adalah daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dalam segala aspek yang menyenangkan. Sementara dalam pengertian keua, al nafs dimaksudkan sebagai jiwa ruhani yang bersifat terpuji dan halus yang merupakan hakikat manusia.
Potensi nafs yang cenderung positif ini , bila dikembangkan terus hingga sampai batas maksimal, maka tidak mustahil potensi ini dapat berfungsi sebagai media pengembangan tingkah laku lahiriah yang mengarah pada sifat-sifat keutamaan dan kesempurnaan moral. (Abdullah Hadziq, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, (Semarang: Rasail, 2005)
Pandangan tersebut sejalan dengan pemikiran psikologi al-Ghazali, bahwa tingkah laku lahiriah yang berbasis al-nafs al muthmainnah, memiliki kecenderungan ke arah kesempurnaan akhlak dan budi pekerti, karena di dalamnya terdapat nilai-nilai motivasi yang bermuatan potensi ketuhanan (alquwwah al ilahiyyah).Â
Sebaliknya tingkah laku lahiriah yang berbasis al-nafs al ammarah, mempunyai kecenderungan yang bersifat kebinatangan (bahimiyyah) dan kejahatan (syaithaniyah). (Abdullah Hadziq, 2005)
Â
Implikasi dan Relevansinya Terhadap Sistem Pendidikan IslamÂ
Pengaruh pemikiran al-Ghazali khususnya dalam dunia pendidikan Islam yang pada gilirannya terajut dengan formulasi murni keagamaan dan menjadikannya sebagai kekuatan utama konservatisme dan taqlidisme. Seperti yang terjadi pada lembaga pendidikan pesantren di Indonesia.Â
Dalam hal ini, pesantren secara fundamental menanamkan nilai-nilai akidah dan akhlak yang kokoh bagi anak didik. Para santri tidak hanya diajarkan tentang ilmu-ilmu keislaman secara teoritis, tapi juga dilatih dan dibiasakan untuk mempratekkannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan pesantren termasuk pola hidup sederhana.
Sebagaimana yang digambarkan oleh Karel A. Steenbrink bahwa untuk meresapkan jiwa keislaman, pesantren lebih ditekankan sebagai tempat tinggal yang seluruhnya diresapi nilai-nilai agama, di mana shalat didirikan secara berjamaah, selalu diperdengarkan bacaan al Quran dengan suara merdu, baik itu untuk memperbaiki bacaan dengan tajwid, atau hanya sekedar ingin mendapatkan pahala, dan mendirikan shalat ditengah keheningan malam.Â
Begitu juga dalam pergaulan sehari-hari, para santri dituntut untuk menerapkan dan membiasakan akhlak al karimah.(Karel A Steenbrink, 1986) Namun hal yang perlu digaris bawahi dalam rangka memahami pemikiran al-Ghazali tersebut adalah memahami kondisi psikologis dirinya di mana ia telah mengalami krisis kejiwaan yang akut. Sebagaimana yang didokumentasikannya dalam karya al-Munqidz.
Oleh sebab itu pemikiran al-Ghazali tentang hakikat manusia lebih mengedepankan dimensi rohani sebagaimana uraian di atas. Konsekwensinya pemikiran pendidikan alGhazali lebih berorientasi pada upaya "pembersihan jiwa (rohani) dari noda-noda akhlak dan sifat-sifat tercela". Pandangan alGhazali tentang hakikat manusia berimplikasi pada konsep pendidikan "Akhlaq al-Ghazali".Â