Setiap pekerjaan pastinya mempunyai suka dan duka tersendiri. Termasuk profesi saya sebagai penyiar radio mulai tahun 2012 lalu sampai sekarang juga mempunyai kisahnya sendiri.
Kali ini saya ingin berbagi pengalaman mengenai suka dan duka menjadi seorang penyiar radio, karena mungkin banyak orang hanya mengetahui suka citanya, tapi tidak dengan duka citanya.
Suka Cita Menjadi Penyiar Radio
Pertama, menjadi penyiar radio membuat kita banyak teman/penggemar/koneksi.
Sehingga dengan banyaknya teman dan koneksi tersebut dapat membantu juga bermanfaat bagi kita manusia sebagai makhluk sosial.
Misalnya kita sedang berkunjung ke kota A, dan disitu tersesat atau ada ban bocor. Mereka teman dari tiap kota yang tercover radio dapat membantu kita untuk keluar dari permasalahan tersebut di kotanya.
Kedua, menjadi penyiar radio mudah mendapatkan jodoh.
Secara tidak langsung menjadi penyiar itu mempunyai daya tarik tersendiri terlebih bagi para penggemar/fans radio. Kita tinggal memilih saja mana satu dari penggemar radio yang ingin kita dekati dan memberikan sinyal padanya.
Hingga akhirnya kita dapat lebih mudah pendekatan, karena kita sudah punya tempat tersendiri dalam hati penggemar radio tersebut.
Namun semua itu tergantung dari penyiar radio tersebut, mau atau tidak berpasangan dengan penggemar radionya, juga tergantung pada niat/keinginan penyiar tersebut untuk mengakhiri masa sendirinya.
Ketiga, menjadi penyiar radio (masih) termasuk profesi bergengsi antar golongan.
Contohnya begini, saat di kampus menjadi mahasiswi baru pastinya disuruh perkenalan mengenai biodata kita, termasuk kesibukan lainnya selain kuliah.
Nah, disitu ketika kita memperkenalkan diri sebagai penyiar radio, dosen & teman-teman satu kelas masih menganggap profesi itu dengan kata "wah alias wow".
Yang dimaksud wah alias wow disini bukan berarti jabatan yang diidam-idamkan banyak orang, melainkan setidaknya stratanya masih satu tingkat lebih tinggi daripada hanya buruh pabrik biasa di perusahaan.
Apalagi menjadi penyiar juga mempunyai audisi dengan bakat, dan hanya orang-orang pilihan/tertentu yang beruntung menyalurkan bakatnya juga berkecimpung di dunia ini.
Sehingga profesi penyiar radio masih sangat dihargai dan seringkali diistimewakan antar golongan tersebut.
Keempat, menjadi penyiar radio adalah hobi yang dibayar.
Pasti kamu pernah merasa ogah-ogahan masuk kerja lagi usai hari libur. Hal tersebut disebabkan timbangan duka citanya lebih berat daripada sukanya, sehingga berasa kalau sedang bekerja.
Sementara menjadi penyiar radio memang juga sama-sama kerja, hanya saja timbangan suka citanya lebih berat daripada dukanya, sehingga tidak berasa kalau sedang bekerja.
Bagi penyiar radio semua hari itu sama saja, bahkan selalu bersemangat menjalani rutinitas tersebut dan tidak ingin absen jika tidak ada kepentingan mendesak.
Karena saat kita absen alias tidak masuk kerja, entah karena sakit atau cuti, pasti selalu ada penggemar yang mencari dan menanyakan keberadaan kita yang hilang dari peredaran.
Rasa dimiliki dan dibutuhkan oleh penggemar radio itu lah yang menyemangati kita para penyiar untuk selalu tidak pernah absen dan bosan dalam bekerja.
Bahkan ketika kita memang sedang sakit pun, rasanya ingin segera sembuh untuk segera menyapa penggemar radio lagi.
Ketika kita sudah menunjukkan ketergantungan, maka job desc tersebut juga dapat diartikan sebagai hobi. Karena filosofi hobi adalah suatu kegiatan atau rutinitas yang tidak ingin dilewatkan tiap kesempatan di kesehariannya.
Jadi tidak salah juga bahwa kami memaknai profesi ini adalah sebagai hobi yang dibayar.
Kelima, menjadi penyiar radio adalah sebagian dari mendapatkan pahala Illahi.
Hal tersebut dapat dimaknai dengan kegiatan yang kita jalankan di kesehariannya, seperti memberikan semangat banyak orang, memberikan informasi yang positif, menghibur banyak orang dengan request lagu yang dimainkan, dan lain-lain.
Dengan rutinitas tersebut, sebagai penyiar radio merasa menjadi seseorang yang berguna dan bermanfaat bagi sesama, termasuk mengumpulkan pahala Illahi untuk selalu membuat banyak orang tersenyum di kesehariannya.
Duka Cita Menjadi Penyiar Radio
Pertama, menjadi penyiar radio harus bermain peran.
Misalnya seperti kita lagi sedih, putus cinta, kehilangan, atau bahkan sakit, dan semua yang membuat tubuh kita tak berdaya untuk beraktivitas.
Semua pekerjaan pastinya menuntut profesional karyawannya. Hanya profesi menjadi penyiar ini kan bekerjanya bukan pakai otot, melainkan otak dan strategi teknis siaran.
Sehingga untuk mempertahankan kualitas suara dan semangat dari penyiar itu lah yang sulit ditutupi ketika waktu-waktu sedang down tersebut.
Sebelum microphone menyala, kita sedang menangis tersedu-sedu misalnya. Dan saat microphone menyala, kita langsung berganti 360 derajat menjadi seseorang yang ceria dan seperti tanpa beban hidup.
Bagaimanapun yang ditunggu pendengar adalah suara penyiar favoritnya dengan segala karakter atau ciri khas cerianya untuk menyemangati para penggemar, dan bukan seorang penyiar yang lemas, cenggeng, hingga tidak bergairah lagi menjalani hidup.
Kita sebagai penyiar diwajibkan untuk menyalurkan sisi positif secara terus-menerus setiap harinya, sehingga itu lah duka citanya bagi kami para penyiar yang harus selalu keluar dari zona nyaman.
Padahal kita hanyalah manusia biasa yang juga mempunyai suka duka dalam hidupnya, tapi ya memang itu tantangan tersendiri bagi seorang penyiar radio yang harus bermain peran dalam tiap kesempatan.
Kedua, menjadi penyiar harus siap menghadapi pendengar radio yang tantrum.
Bukan hanya anak kecil yang terkenal dengan ketidakmampuannya mengolah emosi ketika menginginkan sesuatu tapi tidak bisa digapai, pendengar radio pun juga sama, mereka dapat tantrum dan emosi jiwa pada penyiar radio tersebut.
Pendengar radio yang terbiasa dimanja dengan selalu memutarkan permintaan lagunya setiap harinya, selalu direspon atensinya, selalu dituruti apa saja untuk membahagiakan alias memberikan semangat individu bagi penggemar tersebut.
Tapi ketika suatu hari tidak dapat mengabulkan permintaannya, ia dapat menjadi ganas hingga meneror penyiar di luar radio.
Walau sebenarnya yang dapat menyembuhkan luka itu adalah waktu, pada akhirnya para pendengar yang tantrum tersebut juga balik lagi untuk bergabung di radio setelah beberapa waktu.
Ketiga, menjadi penyiar radio tidak bisa libur bersama, libur di akhir pekan, libur di tanggal merah.
Tidak bisa libur bersama artinya tidak dapat libur kerja di hari yang sama untuk keseluruhan karyawan. Sehingga kami para karyawan radio tidak dapat liburan ke wisata secara bersama-sama alias rombongan di waktu tertentu faktor libur kerjanya tidak bisa pada hari yang sama.
Sementara tidak bisa libur di akhir pekan artinya kita liburnya tidak bisa memilih di hari libur seperti Sabtu atu Minggu seperti kebanyakan orang libur kerja, melainkan kami liburnya acak, bisa hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, atau Jum'at. Walaupun juga tetap ada yang libur hari Sabtu atau Minggu, tapi itu juga faktor kebijakan/pengaturan jadwal dan keberuntungan semata.
Sedangkan tidak bisa libur di tanggal merah artinya kami tetap masuk kerja walau ada peringatan-peringatan tertentu di Indonesia dan seluruh dunia. Hal tersebut disebabkan persetujuan dari kebijakan atau kebutuhan perusahaan yang disepakati saat kita interview kerja dahulu, bahwasanya tanggal merah tidak libur karena radio terus berjalan.
Nah, dari semua penjelasan mengenai duka cita tentang libur kerja penyiar radio ini kesimpulannya cuma satu, yaitu jika para penyiar radio libur bersama, libur yang sama di akhir pekan, libur semua di tanggal merah, lantas yang siaran siapa?
Keempat, menjadi penyiar radio terikat waktu tertentu (shift malam).
Normalnya jam kerja pagi sampai sore hari, tapi di perusahaan/pabrik biasanya juga terbagi dengan shift kerja tertentu.
Ada masuk yang pagi, siang, sore, juga malam, dan seringkali terjadi perputaran shift di tiap minggunya untuk mengatasi kebosanan karyawan dalam kurun waktu yang sama.
Sementara menjadi penyiar radio terikat waktu tertentu sesuai dengan jadwal siaran di program/acara yang ia asuh atau program/acara utamanya.
Misalnya seperti saya sebagai penyiar yang mempunyai program/acara utama dan tayangnya selalu malam hari. Ketika kita sudah menjadi penyiar utama di program tersebut, kita tidak dapat mengganti shift/jam kerja tersebut.
Seperti 10 tahun terakhir dan sekarang menginjak hampir tahun ke-11 saya menjadi penyiar, duka citanya ketika saya kerja shift malam terus-menerus, yaitu:
Resiko tinggi sesak dada, angin duduk, paru-paru basah, semua itu efek dari terpaparnya bagian dada oleh angin malam yang sangat jahat.
Jika hanya beberapa minggu atau bulan sekali berkendara saat tengah malam, tidak ada efek berarti. Tapi karena saya sudah puluhan tahun pulang kerja tengah malam, yaitu tadi resikonya seperti yang sudah disebutkan.
Dari tahun 2012 sampai tahun 2021, saya bekerja membawa motor. Tapi karena faktor kesehatan saya yang memburuk di bagian dada yang sakit efek paparan angin malam, sehingga tahun 2022 saya kemana-mana termasuk kerja membawa mobil.
Dan syukurlah, tanpa ada tenaga medis yang membantu atau obat-obatan tertentu, sakit di dada saya dapat hilang perlahan dengan sendirinya seiring terapi saya stop bawa motor melainkan membawa mobil, yang setidaknya angin malam juga tidak langsung menyentuh bagian dada saya lagi.
Padahal dulu saya juga sudah memakai perlengkapan anak motor lengkap, seperti memakai pelindung dada, memakai jaket kulit, jeans, sarung tangan, masker, sepatu boots, dan lain-lain. Tapi tetap berpeluang terserang efek angin malam berkepanjangan pada kesehatan, dan itu termasuk menjadi duka cita saya sebagai penyiar spesialis pulang tengah malam.
Sering tugas sendirian di kantor saat malam hari, menjadikan saya terbiasa diganggu hal-hal yang tak kasat mata.
Jika kita posisi kita sedang takut, bisa jadi kita sedang berhalusinasi. Tapi jika posisinya kita hanya siaga seperti biasanya saja tanpa ada rasa takut, tapi diganggu, ya memang sengaja tuh memperkenalkan diri atas keberadaanya.
Biasanya saya mengatasinya dengan cara membesarkan volume radio di ruang siaran, sehingga tidak terdengar suara-suara aneh lagi lainnya karena kalah keras dengan musik yang saya putar di ruangan juga radio.
Mengingat karyawan radio tidak sebanyak perusahaan yang seperti produksi pabrik yang hingga ratusan, melainkan hanya segelintir dan tidak jauh kurang lebih 10 karyawan saja.
Itu pun dibagi ada yang masuk pagi, siang, sore, malam, juga termasuk bagian perkantoran dan bukan penyiar. Sementara di bagian penyiar yang bertugas malam hari selalu saya dan seringkali juga tugas sendirian di kantor.
Sehingga duka citanya penyiar radio malam hari juga seperti ini, hal-hal diluar kenormalan siang hari menganggu atau menampakkannya di malam hari.
Yang jelas di setiap tempat itu ada, asal tidak menganggu hingga melukai atau merugikan diri kita, ya dianggap santai saja. Toh bagaimanapun kita juga hidup berdampingan dengan mereka yang tak kasat mata, mau gimana lagi!
Kelima, menjadi penyiar radio itu gajinya standar.
Pendapatan/pemasukan radio berasal dari iklan/sponsor yang masuk tiap bulannya. Dan sebagai penyiar, mendapatkan gaji yang standar dan tidak jauh dari UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten), bahkan bisa jadi di bawah UMK tergantung dari jam kerja dan rating radio tersebut.
Sehingga itu juga menjadi salah satu duka cita menjadi seorang penyiar radio dengan gaji yang standar.
Yang jelas kerja di radio itu tidak dapat membawa kita menjadi orang yang makmur/kaya harta, tapi dengan kerja di radio setidaknya segi kenyamanan yang dicari dan dapat menyambung kehidupan kita.
Selengkapnya penjelasan mengenai suka & duka menjadi penyiar radio versi saya juga dapat dilihat pada video di bawah ini:
Salam, @Alfira_2808
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H