Gak kenal sih siapa mereka, tiba-tiba suruh nyoblos mukanya di kertas atau kotak suara pemilihan wakil rakyat. Ada yang mengetuk pintu rumah masing-masing warga pada pagi hari, uang panas pun melayang bebas dibagikan pada para warga. Hingga para warga tersebut mau mencoblosnya di kotak suara. Dan horeee... selamat anda menjabat menjadi wakil kami.
Namun sebagai penduduk suatu daerah, kira-kira apa saja sih yang sudah dilakukan oleh wakil daerahmu?Â
Wajahnya sering muncul di jalan raya lewat banyaknya baliho. Suaranya juga sering muncul himbauan di speaker perempatan lampu merah.Â
Lantas efek signifikan terhadap dirimu, keluargamu, desamu, dusunmu, kecamatanmu, kabupatenmu, daerahmu, provinsimu, dst apa ya kira-kira?
Yang dirasakan rakyat rasanya sama saja. Ada atau tidak adanya wakil daerah sama saja. Perubahan apa yang terjadi ketika pergantian kepemimpinan juga tidak ada, sama saja lah pokoknya.Â
Ya mungkin itu menjadi salah satu faktor banyaknya warga memilih golput untuk pemilihan wakil rakyat. Mentoknya tetap datang untuk mencoblos, hanya mungkin takut dosa. Dimana sudah menerima uangnya, tapi gak mencoblos mereka yang sudah kasih uang panas kan dosa?
Apa lagi tahun ini banyak sekali bantuan uang yang digelontorkan pemerintah pusat untuk di distribusikan pada masyarakat, yang juga efek dari pandemi covid19.Â
Awal sekali dulu setiap warga yang kurang mampu diberikan bantuan berupa uang tunai Rp 600.000. Namun ini dari pusat per KK kurang mampu sekian loh ya, sampainya pada warga kurang mampu tersebut ya bisa jadi 400rb, 300, 200rb, 100rb, bahkan NOL.
Artian Nol ini seperti bantuan 600rb dari pusat, turun ke provinsi menjadi 500rb, turun ke daerah menjadi 400rb, turun ke kabupaten menjadi 300rb, turun ke kecamatan menjadi 200rb, turun ke kelurahan menjadi 100rb, dan turun ke warga kira-kira berapa?
Artian Nol lainnya ini juga seperti pembagian bantuan yang tidak tepat sasaran. Banyak warga yang jelas-jelas tidak mampu tidak mendapat bantuan, malah yang mampu dengan embel-embel masih ada hubungan sanak keluarga dengan petugas kelurahan ya pasti dapat. Sebenarnya ini kisah klasik yang sudah diketahui masalahnya sedari zaman bahuela, namun tetap dibudidayakan tanpa perubahan berarti.
Terakhir ada bantuan untuk para karyawan perusahaan yang gajinya di bawah Rp 5.000.000, mendapatkan bantuan Rp 2.400.000 yang dibagikan atau kerja sama dengan BPJS ketenagakerjaan. Alhasil, sesuai dan tepat sasaran. Kok bisa?
Tidak ada uang administrasi bukan, yang harus terpotong-potong seperti kasus di atas? Para karyawan perusahaan yang sudah sesuai dengan persyaratan dari BPJS Ketenagakerjaan pun juga segera cair perlahan dan nominalnya juga tepat. Ditransfer ke rekening masing-masing karyawan yang dibagi menjadi beberapa bulan nominal tersebut.
Langkah ini sebenarnya mau gak mau harus kita akui bahwa terobosan baru dan sebenarnya bisa dipakai untuk masa depan agar sesuai dan tepat sasaran.Â
Laporan auditnya pun juga lebih jelas dari atas langsung turun ke bawah. Bukti transfer dan penerimaan sudah virtual atau mobile, bisa dipertanggung jawabkan. Beda cerita kalau dari atas masih harus lewat perorangan yang disalurkan turun temurun hingga setor foto atau dokumentasi saja.
Bagaimanapun mereka rakyat yang kurang mampu, mempunyai sifat legowo atau nerima apa adanya dan gak banyak protes. Mereka tidak punya kekuatan. Jadi dapat BLT berapapun disyukuri saja, dari pada gak dapat apa-apa. Itu mereka.Â
Tapi sebagai manusia yang mencoba bermanfaat bagi sesama, setidaknya kita patut memperjuangkan hak yang sesuai keputusan pemerintah pusat agar bisa disalurkan dengan benar, terarah, dan spesifik dengan tujuan.
Lagian ini juga sudah Revolusi Industry 4.0 loh.
Masih aja mau gaya lama?Â
Salam, @Alfira_2808
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H