Sebagai seorang pencinta buku, saya memiliki kebiasaan yang mungkin terdengar familiar bagi banyak kutu buku lainnya: membeli buku dalam jumlah banyak, namun jarang menyelesaikannya.
Kebiasaan ini sering kali melahirkan penyesalan terhadap buku-buku yang akhirnya terabaikan begitu saja, tak tersentuh oleh halaman demi halaman yang semestinya dijelajahi.
Namun demikian, sebagai seseorang yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam dunia literasi, saya tidak menganggap pembelian buku secara berlebihan sebagai hal yang perlu disesali.
Banyak pembaca yang saya kenal menunjukkan kecenderungan serupa, yakni membeli lebih banyak buku daripada yang mereka sempat baca.
Fenomena ini tidak perlu menjadi alasan kekhawatiran, karena tampaknya hal ini merupakan sesuatu yang umum terjadi di kalangan para pencinta literasi.
Bagi seorang kutu buku, buku adalah segalanya. Ia bukan hanya sekadar barang yang dibeli untuk dipajang, tetapi juga teman setia di waktu senggang, hiburan yang menyenangkan, dan sebuah pintu gerbang menuju dunia-dunia baru yang tak terbatas.
"Para kutu buku, pencinta bacaan sejati, seumur hidupnya mengumpulkan koleksi perpustakaan berharga. Mereka adalah sosok yang rela mengeluarkan biaya besar demi buku-buku yang akan menyita waktu berjam-jam, semata untuk belajar dan memahami lebih dalam, tanpa terganggu kebutuhan lain kecuali untuk mempelajari dan memahaminya," demikianlah gambaran umum para pencinta buku sejati.
Mereka adalah sosok yang rela menghabiskan waktu dan uang demi menambah koleksi, baik itu berupa buku-buku keluaran terbaru maupun buku-buku langka yang telah lama diincar. Ketika ada pameran atau bazar buku, mereka berbondong-bondong hadir, lalu pulang dengan membawa tumpukan buku yang tidak sedikit.
Namun, di balik kecintaan mereka pada buku, ada satu fenomena yang kerap terjadi, yang dalam bahasa Jepang disebut Tsundoku. Tsundoku menggambarkan keadaan di mana seseorang memiliki atau menumpuk banyak buku, tetapi tidak pernah membacanya.
Rak-rak buku yang penuh dengan halaman-halaman yang bertebaran, belum dirapikan atau bahkan belum pernah dibuka adalah pemandangan yang lazim di kalangan para kutu buku. Bahkan jika ditanya apakah mereka telah menyelesaikan semua buku yang mereka miliki, jawabannya hampir selalu tidak. Hal ini juga berlaku bagi saya.
Ada buku-buku yang telah saya beli bertahun-tahun lalu, tetapi belum sempat saya baca hingga sekarang. Situasi serupa terjadi pula pada koleksi buku elektronik saya.
Jika Anda melihat tangkapan layar e-book saya, Anda mungkin akan bertanya, "Berapa banyak buku yang sudah selesai dibaca?" Jawabannya, tentu saja, tidak semuanya.
Namun, apakah fenomena ini perlu dikhawatirkan?Â
Saya berpendapat bahwa hal ini tidak perlu menjadi beban pikiran. Tidak ada yang salah dengan membeli buku yang pada akhirnya mungkin tidak akan dibaca, terutama apabila minat terhadap bacaan tersebut sudah memudar.
Membeli buku, meskipun belum dibaca, adalah bagian dari proses belajar dan eksplorasi diri. Setiap buku yang kita beli, bahkan jika tidak kita baca, tetap memiliki makna.
Mereka adalah refleksi dari minat kita pada saat itu, dan dengan memiliki buku-buku tersebut, kita belajar lebih banyak tentang diri kita sendiri---tentang apa yang menarik perhatian kita dan apa yang mungkin tidak lagi relevan dengan minat kita saat ini.
Konsep ini dapat dihubungkan dengan gagasan "Anti-Library" yang diperkenalkan oleh Nassim Taleb dalam bukunya The Black Swan. Taleb mengisahkan tentang koleksi buku milik Umberto Eco, seorang penulis dan akademisi terkemuka yang memiliki perpustakaan pribadi dengan lebih dari 30.000 buku.Â
Ketika orang-orang berkunjung ke rumahnya, mereka sering kali terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama akan bertanya, "Berapa banyak buku yang sudah Anda baca?" Sedangkan kelompok kedua, yang lebih sedikit jumlahnya, memahami bahwa perpustakaan pribadi bukanlah sekadar pajangan, melainkan alat untuk mengingatkan kita bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui.
Menurut Eco, perpustakaan idealnya berisi sebanyak mungkin hal-hal yang belum kita ketahui, sejauh kemampuan finansial kita memungkinkan. Seiring bertambahnya usia dan pengetahuan seseorang, tumpukan buku yang belum dibaca akan terus bertambah. Semakin banyak yang kita ketahui, semakin banyak pula yang belum kita baca. Tumpukan buku ini dikenal sebagai "Anti-Library," sebuah pengingat akan luasnya pengetahuan yang belum kita selami.
Dalam konteks ini, Anti-Library adalah simbol dari potensi pengetahuan yang belum tergali. Buku-buku yang belum dibaca bukanlah beban, melainkan pengingat bahwa masih banyak dunia yang belum kita jelajahi.Â
Semakin kita belajar, semakin kita menyadari betapa banyaknya hal yang belum kita ketahui. Dengan demikian, "Anti-Library" berfungsi sebagai pendorong untuk terus belajar dan membaca lebih banyak lagi, sebagai cara untuk memuaskan rasa ingin tahu yang terus berkembang.
Secara pribadi, saya menganggap koleksi buku yang belum (atau mungkin tidak akan pernah) saya baca sebagai bagian dari "Anti-Library" saya sendiri. Tentu saja, ada perdebatan mengenai apakah buku-buku yang sudah dibeli namun kemudian kehilangan daya tarik masih dapat dikategorikan sebagai bagian dari Anti-Library.
Menurut saya, jawabannya adalah YA. Membeli buku adalah bagian dari proses mengenali minat kita. Terkadang, kita perlu mengetahui apa yang tidak kita sukai untuk benar-benar memahami apa yang kita sukai.
Oleh karena itu, saya memilih untuk tetap menyimpan buku-buku yang saat ini mungkin tidak lagi menarik minat saya, karena melalui pengalaman ini, saya dapat lebih mengenali preferensi membaca saya secara mendalam.
Lalu, bagaimana cara membangun kebiasaan membaca yang konsisten dan menyenangkan? Saya percaya bahwa kuncinya adalah menjaga rutinitas. Bacalah setiap hari, bahkan jika itu hanya 10 halaman atau 100 halaman. Yang paling penting adalah konsistensi. Sama seperti membangun perpustakaan pribadi, membangun kebiasaan membaca adalah proses yang berkelanjutan.Â
Mulailah dengan membuka buku setiap hari, dan dari sana, biarkan diri Anda terserap dalam kisah-kisah dan pengetahuan yang ditawarkan oleh setiap buku.Â
Saya sendiri telah mencatat kebiasaan membaca saya secara teratur, dan hal ini sangat membantu dalam menjaga ritme serta semangat membaca yang konsisten.
Pada akhirnya, buku-buku yang belum dibaca, entah itu dalam bentuk fisik atau digital, bukanlah tanda kegagalan. Sebaliknya, mereka adalah bagian dari perjalanan kita sebagai pembaca dan pencari pengetahuan. Mereka adalah pengingat akan dunia yang luas dan tak terbatas, yang selalu menanti untuk dijelajahi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H