Mohon tunggu...
Alfin Nur Ridwan
Alfin Nur Ridwan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kader IMM Sukoharjo, Mahasiswa S1 Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta

Merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang mempunyai hobi membaca dan menulis, serta menyukai kerja-kerja jurnalistik. Jasadku memang tak abadi, namun kuyakin diriku bisa abadi dengan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Tidak Ada Alasan untuk Senang di Hari Kelahiran

30 September 2024   21:25 Diperbarui: 30 September 2024   22:14 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Harap-harap cemas seorang ayah di luar kamar salah satu bidan di kaki puncak, Bogor, menantikan kabar bahagia dari sang ibu yang tengah berjuang keras di dalam. Tarik-ulur nafas pendek nan panjang, sembari telinga yang harus tetap fokus mendengarkan arahan dari sang bidan, menjadi situasi mendebarkan kala itu bagi sang ibu.

Malam mencekam di kota hujan saat itu, ditambah dinginnya malam di Bogor semakin membuat sang ayah menantikan pelukan hangat dari ibu untuk meredam kekhawatirannya. Khawatir akan kabar kurang baik yang nantinya menjadi kalimat pertama yang diucapkan oleh si bidan ketika selesai tugasnya dari ruang sunyi dan mencekam itu.

Sementara di dalam, perempuan hebat dan kuat masih saja terus mempertaruhkan nyawanya demi bisa melihat sosok buah hati yang mirip dengannya tersenyum. Senyuman dan tawanya kelak yang menjadi obat bagi beratnya beban seorang ibu, dan tangisan sang buah hati sebagai pengingat bahwa nantinya perhatian sang ibu harus tertuju pada sosok manusia penerusnya.

Malam itu, 29 September 2002, bertepatan dengan hari Minggu dalam kalender, menjadi tangisan pertama anak dari seorang perempuan dan laki-laki kuat nan tangguh di kota hujan kala itu.

Sebuah kabar bahagia yang menjadi peredam harap-cemas sang ayah yang tak bisa dibuat tenang di luar kamar persalinan saat itu, dan menjadi kode bagi sang ibu agar menyudahi ejanannya, lalu kemudian menyapa sang buah hati.

Momen dramatis di tanggal 29 September 2002, yang tentunya sampai saat ini tak akan bisa betul-betul kurasakan bagaimana mencekamnya malam itu.

Genap sudah 22 tahun, kacamata ini nampaknya telah cukup kusam dengan banyaknya rekaman kejadian yang selama ini diamati. Kaki ini nampaknya telah cukup banyak meninggalkan jejak langkah di berbagai tempat. Dan tangan ini pun nampaknya telah cukup banyak bersalaman dengan beragamnya manusia yang ditemuinya.

Menyematkan hari kelahiran dengan menjadikannya momen bahagia dan hura-hura, agaknya lazim diterapkan oleh beberapa dari kita tanpa memandang umur. Dari yang meniup mati lilin yang menyala di atas sebuah kue, sampai mengadakan pesta perayaan atas hari kelahirannya itu, menjadi fenomena yang juga bagian dari potongan rekaman sejauh ini kacamata memandang.

Dalam hening dan senyap di malam 30 September ini. Di kala beberapa kalangan menyaksikan bersama di layar besar bagaimana sadisnya pembantaian PKI terhadap para jendral di tahun 65. Dalam sebuah postingan di Instagram, diri ini dibuat merenung sedalam-dalamnya. Seakan media sosial tahu bahwa kemarin umurku tepat menginjak 22 tahun, muncul sebuah postingan yang bertuliskan: Hari ulang tahunmu adalah hari saat ibumu kesakitan melahirkanmu!

Satu kalimat yang berasa seperti tamparan dari seorang Mike Tyson yang mendarat tepat di pipi wajah ini dengan penuh tenaga.

Seketika satu tamparan keras tersebut seolah membuat diri yang lemah ini terbawa ke lorong waktu. Ruang sepi yang berisikan rekam jejak diriku sampai pada hari dimana aku dilahirkan. Tak berdaya, lemah, tak bisa berkata-kata. Gambaran akan kondisi badan ini setelah selesai terbawa ke lorong waktu masa lalu.

Tak terbayang tangisan dari seorang wanita yang tidak sempat kudengar kala itu sebelum aku dikeluarkan dari dalam janin. Tak terbayang betapa sakitnya wanita hebat kala itu yang dalam momen tersebut nyawanya diambang kematian. Dan tak terbayang senyum yang masih sempat-sempatnya wanita itu hadirkan ketika menyapa untuk pertama kalinya sang buah hati yang kini telah berkepala dua.

Bayangan-bayangan tentang kejadian malam itu yang membuatku tak mempunyai alasan untuk menjadikan hari kelahiranku sebagai momentum tuk bersenang-senang.

Belum pernah kutanyakan, apakah anakmu kini sudah menjadi apa yang wanita itu harapkan? Atau justru banyak air mata yang jatuh dari matanya karena kelakuan buruk dari anaknya itu.

Bukanlah kehendakku untuk hadir dalam dunia yang penuh dengan pertanyaan ini. Siapa juga yang ingin terus memikul dosa sedangkan kehidupan ini bukanlah sesuatu yang memang kita inginkan.

Tak bisa kubersenang-senang dengan hari kelahiranku, sedangkan itu menjadi pertanda bahwa setiap dosa-dosa itu telah menanti di depan mata. Tak bisa kubersenang-senang dengan hari kelahiranku, sedangkan ada kedua sosok di rumah sana yang tak bisa tidur karena anaknya di sana masih tetap hidup. Tak bisa kubersenang-senang dengan hari kelahiranku, sedangkan kehadiranku justru membuat para setan berbahagia karena masih tetap bisa menjalankan pekerjaannya.

Terlepas dari itu, dalam detik waktu yang terus berjalan, aku hanya menemukan satu alasan kenapa hari kelahiranku perlu kusapa dengan tangis kebahagiaan. Sebuah alasan tentang betapa baiknya Tuhan yang masih memberikan kesempatan bagi diri ini untuk bisa berbenah dan memperbaiki rusaknya jasad dan ruh ini. Sebuah alasan tentang betapa percayanya Tuhan padaku bahwa setiap pertanyaan-pertanyaan yang kerap melintasi benak ini bisa untuk ditemukan jawabannya.

Ini bukanlah hanya soal hari kelahiran dan bagaimana kita meresponnya. Tetapi, tentang betapa percayanya Tuhan pada kita bahwa kita semua yang masih diberikan kesempatan di setiap waktunya, merupakan sosok-sosok yang Ia siapkan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan di sekitar kita. Apakah Adam alaihi salam ke bumi atas kehendaknya? Kurasa tidak. Tapi Tuhan tahu bahwa hanya Adam dan keturunannya yang mampu menjaga bumi dan seisinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun