Mereka memiliki cukup banyak pengalaman dan telah mencetak deretan gol bagi timnas mereka. Sayangnya, sebagaimana disebutkan di atas, terdapat faktor egoisme yang menyebabkan kurang padunya permainan Argentina. Ketimpangan kualitas antara pemain bertahan dan serang juga menjadi faktor penting kegagalan timnas Argentina.
Faktor yang tak kalah penting adalah tekanan yang harus dihadapi para punggawa timnas. Terakhir kali Argentina menjuarai turnamen mayor adalah pada ajang Copa America 1993, lebih dari seperempat abad lalu.Â
Publik Argentina nampaknya sudah bosan melihat timnasnya sekian lama puasa gelar. Memang, dengan tradisi sepak bola yang kuat, publik Argentina memiliki fanatisme terhadap timnas mereka, terlihat dari banyaknya fans yang berbondong-bondong memberikan dukungan dalam setiap turnamen, baik Copa America maupun Piala Dunia. Fanatisme publik inilah yang menjadi beban bagi para pemain.Â
Mereka seolah dituntut secara 'nasional' untuk terus memenangi tiap kejuaraan yang mereka ikuti. Namun, besarnya tekanan ini membuat para pemain Argentina tak dapat bermain secara lepas. Acap kali mereka terlihat kaku saat bertanding dan tidak dapat mengembangkan permainan, bahkan kerap melakukan kesalahan-kesalahan elementer yang tak perlu.Â
Tekanan tersebut dirasakan pemain hingga berlanjut pada adu penalti. Dalam final Copa America 2015 dan 2016 misalnya, mereka hanya selangkah lagi menjadi juara, namun dikandaskan oleh Chili dalam drama adu penalti. Tekanan dari suporter yang besar membuat para pemain Argentina nervous dan gagal membobol gawang Chili, sekalipun mereka dikabarkan sudah bersiap untuk 'menghadapi kondisi terburuk', tak lain adalah adu penalti.
Ia bermaksud memberikan umpan, namun tendangannya mengarah ke atas dan kontan disambar oleh Rebic. Caballero yang terkejut karena bola disambar tak dapat berbuat banyak ketika sang pemain Kroasia langsung menendang bola masuk ke gawangnya. Kroasia menang 3-0 dan memastikan lolos ke babak berikutnya.
Faktor terakhir, masih bergantungnya timnas pada Messi. Meskipun memiliki segudang pemain hebat, problematika satu ini masih terus-menerus terjadi pada timnas Argentina. Pun, banyak ahli dan pengamat sepak bola sudah mengulas masalah ini, Siapapun pelatihnya, pasti akan menempatkan sang megabintang pada posisi terdepan.Â
Hal ini membuat setiap serangan Argentina selalu melibatkan Messi, sehingga Messi hampir 'diperintahkan' untuk mengeksekusi serangan menjadi gol. Setiap pemain Argentina seolah diperintah untuk memberikan bola kepada Messi agar ia dapat langsung menceploskan bola ke gawang lawan.Â
Para pelatih Argentina mengetahui Messi merupakan 'pemain terbaik' dalam deretan pemain Argentina, dan seakan mengeksploitasinya untuk selalu mencetak gol, meskipun pemain serang lain memiliki kemampuan yang mendekati dirinya. Ketergantungan ini tentu ini akan mengakibatkan beban Messi semakin berat sekaligus membuat Argentina gagal membobol gawang lawan apabila pergerakan Messi berhasil dihambat oleh pemain lawan.
Keputusan para pelatih Argentina untuk mengandalkan Messi pada hakikatnya tidak keliru. Sang megabintang merupakan pemain serang yang haus gol, baik saat membela klubnya maupun ketika bergabung dengan tim nasional.Â