Sedikit harapan muncul ketika ditemukan sumber minyak bumi di wilayah Selatan. Namun lagi-lagi gejolak terjadi. Masyarakat wilayah selatan Sudan merasa kecewa dengan kepemimpinan Nimeiry menyatakan perlawanannya kepada pemerintah pada 1983. Mereka mendirikan organisasi paramiliter Tentara Pembebasan Sudan Selatan (SPLA) yang menggunakan strategi gerilya dalam perlawanannya. Diketahui, Ethiopia turut membantu milisi SPLA dalam memberontak.
Lagi-lagi karena ketidakpuasan yang berlarut-larut akibat ketidakbecusan Nimeiry dan rezimnya dalam memerintah, masyarakat kembali berdemonstrasi. Faktor tersebut diperkuat dengan merebaknya kelaparan yang menewaskan lebih dari sejuta orang. Belum lagi, meningkatnya pengaruh Islamisme konservatif memicu gerakan-gerakan islam yang mengkritik rezim Nimeiry yang mereka nilai sekuler dan membatasi gerakan Islam.
Militer akhirnya kembali mengambil tindakan dengan menggulingkan Nimeiry ketika dirinya sedang melawat ke luar negeri pada 1985. Kudeta ini dipimpin oleh Marsekal Abdel Rahman Suwar Al-Dahab, menteri pertahanan merangkap panglima Angkatan Bersenjata saat itu. Ia juga seorang Islamis yang menentang dominasi Uni Sosialis Sudan.Â
Beruntung, Dewan Transisi Militer yang ia pimpin hanya bertugas memulihkan keadaan. Ia tak mempertahankan kekuasaannya sebagai kepala negara dan menyerahkannya pada sipil pimpinan Ahmed Al-Mirghani yang terpilih secara demokratis pada Mei 1986.
Militer menggarisbawahi ketidakmampuan pemerintahan Al-Mirghani dalam mengatasi perang saudara berkepanjangan dan berbagai masalah ekonomi yang terus mendera negerinya.Â
Omar Al-Bashir sebagaimana Gaafar Nimeiry, memerintah dengan otoriter atas nama hukum syariah Islam. Ia didakwa oleh Mahkamah Internasional telah melakukan berbagai kejahatan perang dan kecurangan dalam pemilihan umum. Selama 30 tahun masyarakat Sudan hidup dalam kekangan rezim ini.
Kudeta yang terjadi pada 2019 nampaknya tak akan banyak mengubah situasi. Sebagaimana kudeta-kudeta sebelumnya, Letnan Jenderal Bin Auf juga mengumbar janji akan mengembalikan kekuasaannya ke tangan sipil, namun agaknya hal ini tak akan terjadi pada waktu dekat meskipun protes yang dilakukan melibatkan banyak unsur sipil. Hal ini disebabkan para petinggi militer yang melakukan kudeta tak lain adalah orang-orang terdekat Al-Bashir.Â
Situasi akan cenderung pada status quo karena militer Sudan sendiri tak memiliki kapabilitas dalam menyelesaikan permasalahan 'sipil' seperti lesunya perekonomian, konflik sektarian, dan kesenjangan sosial yang menjadi sumber perpecahan di Sudan dalam dasawarsa terakhir.
Apalagi, Sudan masih menghadapi ancaman berbagai milisi yang bercokol di Darfur, di mana situasi geopolitik sangat labil ditambah warga sipil yang menderita akibat konflik berkepanjangan di wilayah tersebut.Â
Pemerintahan militer cenderung akan memperpanjang usaha untuk berkonfrontasi dengan para milisi. Rasa dendam yang berkepanjangan dengan wilayah selatan yang merdeka pada 2011 dalam diri para perwira bawahan Bin Auf juga menjadi gambaran kelamnya hubungan kedua negara yang perdamaiannya sangat diimpikan banyak pihak.