Jenderal Abboud tak becus dalam memastikan kestabilan perekonomian, sehingga inflasi tak terkendali dan masyarakat melakukan protes karena harga-harga yang terus meroket. Apalagi, Partai Komunis Sudan terus bangkit dan mendapat simpati luas dari masyarakat, menjadi motor dalam menggerakkan protes menghadapi junta militer.
Terbukti, Abboud akhirnya lengser setelah rakyat melakukan gelombang protes yang disebut sebagai "Revolusi Oktober 1964". Partai Komunis berperan penting di belakang rakyat Sudan yang kecewa dengan Sang Jenderal. Pemerintahan sipil kembali terbentuk sejak itu, dan berusaha memperbaiki keadaan yang kacau pada pemerintahan sebelumnya.Â
Hassan Fadlalla dalam Short History of Sudan menyatakan adanya pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Atim Al-Khalifa sebagai perdana menteri dan Ismail Al-Azhari sebagai presiden. Dikutip dalam literatur serupa bahwa konstitusi yang digunakan adalah konstitusi sebelum kudeta militer. Namun, pemerintahan sipil ini tak bertahan lama, pada 1969, kudeta terjadi lagi.
Kudeta kedua di Sudan dipimpin oleh Kolonel Gaafar Nimeiry, yang berhaluan nasionalis radikal sayap kiri yang tergabung dalam Dewan Komando Revolusi. Sebenarnya, ia pernah merencanakan kudeta pada masa pemerintahan Abboud karena menurutnya rezim tersebut terlalu pro-Barat.Â
Nimeiry dan Babiker Awadalla menggerakkan pasukannya untuk menduduki instalasi sipil dan militer. Tak lupa, pasukannya juga ia perintahkan untuk mengepung istana presiden.Â
Segera setelah menggulingkan Azhari, ia membentuk pemerintahan nasionalis Arab. Ia memimpin laiknya para kepala negara komunis, dengan menasionalisasikan berbagai perusahaan asing, dan menolak kepemilikan pribadi.
Dengan ideologi tersebut, Nimeiry menyeret Sudan ke dalam Perang Dingin setelah lebih dari 20 tahun nonblok. Ia sangat mendukung Mesir dalam menghadapi Israel dalam perang 1967 dan 1973 dan terus-menerus memperjuangkan terbentuknya Pan Arabisme.
Sebagai seorang diktator, ia berusaha mempertahankan dirinya sebagai pemimpin. Partainya ia desain agar selalu memenangkan pemilihan umum sehingga menjamin dirinya akan terus berkuasa, tentunya dengan mematikan oposisi, terutama Partai Umma.Â
Bahkan, Partai Komunis yang sebelumnya berada di pihaknya ia lucuti dan berada dalam kontrol Uni Sosialis Sudan. Meskipun begitu, pada dasarnya Nimeiry adalah petinggi militer yang sangat diuntungkan meskipun terjadi pergolakan dalam pemerintahannya, mengingat kekuasaan militer Sudan waktu itu sangat mendominasi pemerintahan.
Selama 16 tahun pemerintahannya, kondisi Sudan tak banyak berubah dari sebelumnya. Ekonomi masih tetap stagnan sementara pemerintah hanya berfokus pada nasionalisasi ekonomi.Â