Kepemimpinannya yang awalnya disambut dengan suka cita berubah menjadi teror dan ketakutan bagi masyarakat, terutama dalam dua dasawarsa terakhir.
Partainya, Partai Demokrasi Guinea Ekuatorial (PDGE) terus mendominasi pemerintahan. Meskipun oposisi dilegalkan oleh undang-undang pada 1992, namun kekuasaan PDGE masih mengakar kuat dan Obiang terus diangkat sebagai presiden untuk pemilihan presiden berikutnya.
Tak jauh berbeda dari pamannya, Obiang juga melakukan politik identitas dengan mengutamakan etnis Fang, sebagai mayoritas di negaranya. Berbagai jabatan pemerintahan mulai tingkat distrik selalu didominasi oleh etnis tersebut.
Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah hal biasa pada masa pemerintahannya, terutama sejak minyak dan gas alam ditemukan di Guinea Ekuatorial pada pertengahan 1990an. Sementara banyak perusahaan asing yang melakukan eksplorasi dan pengolahan migas, ia menempatkan keluarganya dalam posisi-posisi penting, baik dalam pemerintahan maupun dalam pengelolaan migas.
Tak mengherankan jika majalah Forbes menyatakan bahwa kekayaan keluarga Obiang mencapai US$600 juta, merupakan angka yang fantastis untuk sebuah keluarga pemimpin negara. Keluarganya dinyatakan sebagai salah satu yang terkaya di dunia. Maka bukan tak mungkin apabila kekayaan migas di Guinea Ekuatorial hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama keluarga Obiang sendiri.
Sementara keluarga dan orang-orang terdekatnya menikmati kemewahan dari uang negara, antara lain mobil mewah, vila, hingga mengoleksi berbagai karya seni langka dan rumah-rumah mewah di luar negeri, banyak penduduk negerinya yang masih terbelit kemiskinan.
Angka PDB per kapita seolah tak berpengaruh terhadap nasib penduduk Guinea Ekuatorial. Sementara banyak pihak mencatat tingginya pendapatan negara itu, indeks pembangunan manusia di sana hanya menempati peringkat ke-136 dari 187 negara. Persentase penduduk miskin di sana mencapai 66%, yang berarti dua per tiga dari seluruh penduduknya.
Angka kematian bayi, harapan hidup, dan melek huruf Guinea Ekuatorial tak kunjung membaik. Sangat kontras dengan yang terjadi di negara-negara Timur Tengah yang sukses karena migasnya.
Wabah penyakit menular jamak ditemukan di desa-desa. Apalagi, fasilitas kesehatan kurang memadai. Ditambah banyak masyarakat yang tidak mendapat akses air bersih yang memadai. Masyarakat banyak yang berpendapatan kurang dari US$2 setiap harinya, menunjukkan bahwa slogan "kesehatan hanya untuk orang kaya" benar-benar nyata di sana.