Guinea Ekuatorial merupakan negeri yang cukup mengejutkan dunia. Negara mungil di tepi Teluk Guinea, Afrika Tengah ini berhasil mencatat pendapatan per kapita lebih dari US$25.000 pada 2015, menjadikannya sebagai negara dengan pendapatan tertinggi di benua hitam.
Mengherankan tentunya, karena pada dasawarsa 1990an, pendapatan negara ini tak lebih dari US$500. Hanya beberapa tahun setelah eksplorasi minyak dan gas alam dilakukan serta penemuan sejumlah cadangan migas, pendapatan penduduk di sana lantas melejit. Namun, jika melihat kondisi masyarakat di sana, orang pasti akan bertanya-tanya.
"Mengapa negara penghasil migas dan secara statistik memiliki pendapatan yang besar seperti ini masih banyak penduduknya yang belum sejahtera bahkan hidup di bawah ambang kemiskinan?"Â
Ya, memang demikian yang terjadi. Kontras dengan Uni Emirat Arab, Qatar, atau Arab Saudi yang menikmati lezatnya petrodolar dan menjadi negara makmur dengan segala kemewahan dan pembangunannya hanya dalam beberapa dasawarsa, Guinea Ekuatorial masih saja miskin, terlepas dari catatan statistik bahwa negeri tersebut memiliki pendapatan lebih tinggi daripada Spanyol, Portugal, atau Cile.
Hal ini menunjukkan adanya ketidakberesan dalam pengelolaan pendapatan negara, terutama dari migas. Yang terjadi sebenarnya adalah bahwa pendapatan sebesar itu hanya dinikmati oleh segelintir manusia di sana. Salah satu pihak yang turut andil dalam ketidakberesan yang terjadi di sana adalah presidennya sendiri, Teodoro Obiang Nguema Mbasogo.
Ia lahir di Akoakam, sebuah desa di wilayah timur Guinea Ekuatorial pada 1942, ketika negeri itu masih menjadi koloni Spanyol. Setelah lulus sekolah menengah, ia masuk akademi militer Spanyol di Zaragoza, dan lulus dengan pangkat letnan. Ketika ia lulus, negerinya baru merdeka dari tangan Spanyol dan pamannya, Francisco Macias Nguema terpilih menjadi presiden pertama.
Perjalanannya menjadi presiden tak sepenuhnya mulus. Ia merebut pemerintahan dengan mengudeta dan mengeksekusi pamannya sendiri pada Agustus 1979. Nguema sendiri adalah sosok yang kejam dan bengis. Ia melakukan genosida dan pembersihan etnis-etnis minoritas di sana. Selain itu, ia juga mematikan oposisi dan menghapus kebebasan pers.
Begitu berhasil mengudeta pamannya, Obiang mengumbar janji akan mengembalikan negeri tersebut kembali ke jalan yang demokratis. Ia juga mengakui adanya oposisi dan mengizinkan rakyat berserikat. Ia juga menjanjikan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup masyarakat, mengingat saat itu kemiskinan masih menjangkiti penduduk Guinea Ekuatorial.
Selain itu, ia akan menjalin kembali hubungan dengan Barat yang putus ketika pamannya berkuasa. Investasi asing dibuka, dan tahanan-tahanan politik dibebaskan.
Amendemen konstitusi dilakukan dan Obiang mengesahkannya pada 1982. Ketika pemilu di tahun yang sama, ia menjadi calon tunggal dan terpilih untuk masa jabatan kedua selama tujuh tahun ke depan. Obiang kembali terpilih sebagai calon tunggal pada 1989 dan sejak kali ini, banyak pihak yang berpikir bahwa pemilihan presiden Guinea Ekuatorial diwarnai banyak kecurangan.