Dunia pascaera Perang Dingin diliputi berbagai isu keamanan baru, mulai terorisme hingga kejahatan siber dan teknologi informasi. Hal ini membuat banyak negara yang meningkatkan kontrol pada sektor pertahanan dan keamanannya. Pascaperistiwa 11 September 2001 yang menewaskan lebih dari 2.300 jiwa membuat isu terorisme semakin mengemuka: Ia menjadi musuh baru dunia dan harus diberantas dengan berbagai cara.Â
Sejak hari itulah Amerika Serikat mengumpulkan sekutu-sekutunya, terutama yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Tujuan mereka satu: membabat habis terorisme hingga ke akar-akarnya.
Perkembangan isu keamanan diikuti dengan pengembangan teknologi kemiliteran. Semakin banyak persenjataan dan alutsista baru yang dikembangkan oleh banyak negara, tentunya dengan kemampuan tempur yang semakin canggih dan daya hancur yang masif, sekaligus menjadi 'mesin pembunuh' yang efektif. Seringkali senjata-senjata baru ini tampak futuristik, menggiurkan bagi negara-negara dengan anggaran militer selangit.
Salah satu alutsista baru yang menjadi kontroversi adalah senjata pembunuh otonom (Lethal Autonomous Weapons). Dikutip dari laman futureoflife.org, alat tempur ini dikembangkan oleh beberapa negara, seperti AS, Rusia, Tiongkok, Perancis, dan Inggris. Senjata pembunuh otonom dapat diartikan sebagai senjata dengan kemampuan mengidentifikasi, memilih, dan menyerang target-target tertentu dengan keterlibatan manusia secara minimal atau bahkan tanpa keterlibatan manusia sama sekali.Â
Senjata ini dapat dioperasikan dalam berbagai situasi, baik dalam palagan pertempuran atau sekadar sebagai senjata pertahanan dalam negeri. Jenisnya pun cukup bervariasi, mulai dari pesawat tempur nirawak hingga robot tank dan sistem persenjataan maritim.
Secara garis besar, senjata pembunuh otonom dapat dibedakan dalam dua kategori, senjata pembunuh semiotonom dan senjata pembunuh otonom penuh. Yang dimaksud dengan 'semiotonom' adalah pengoperasian senjata tersebut masih melibatkan kontrol manusia, meskipun tidak secara penuh. Senjata tersebut dapat dikontrol dalam jarak tertentu, dengan sistem jarak jauh.Â
Semua senjata pembunuh otonom yang dioperasikan dan dikembangkan hingga saat ini adalah semiotonom, karena dalam pengoperasian dan pemilihan objek yang menjadi target masih di bawah kendali manusia. Sementara itu, senjata pembunuh otonom penuh hingga saat ini belum dikembangkan.
Pengembangan alutsista ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, dari mulai praktisi militer, akademisi, diplomat, hingga organisasi nonpemerintah. Buntut dari perdebatan ini cukup panjang, bahkan hingga menjadi bahasan dalam berbagai forum internasional.Â
Banyak negara yang menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap pengembangan alutsista baru ini, terutama negara-negara berkembang. Alasan utama mereka adalah bahwa senjata pembunuh otonom minim atau bahkan tidak melibatkan kendali manusia. Menurut mereka, seharusnya persenjataan tidak memiliki hak untuk menentukan nasib manusia, termasuk menentukan hidup dan mati. Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan Hukum Humaniter Internasional.
Selain itu, pengembangan senjata ini dianggap menjadi pemicu terjadinya persaingan baru antarnegara dalam bidang militer dan keamanan, persis ketika era Perang Dingin. Negara-negara akan berkompetisi mengembangkannya dan dapat menggunakannya untuk saling menyerang. Tentu, hal ini akan mengancam negara-negara yang tidak memiliki atau tidak berniat untuk mengembangkannya, termasuk negara-negara berkembang yang memiliki anggaran militer cekak. Â
Alasan lainnya adalah mengenai 'paradoks tanggung jawab', apabila senjata tersebut mengalami salah sasaran atau salah tembak, timbul kebingungan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab, apakah si prajurit pengendali, pihak perusahaan pengembangan, atau negara yang memilikinya. Tak pelak, banyak negara yang mengutuk senjata ini dan menolak pengembangannya.
Selain negara, banyak organisasi nonpemerintah yang menolak senjata ini. Salah satu yang paling vokal dalam menyerukan dihentikannya pengembangan dan penggunaan senjata ini adalah Campaign to Stop Killer Robots (CSKR). CSKR bahkan sudah mendeklarasikan penolakannya secara resmi. Dalam situs resminya, CSKR menyepakati sepuluh poin penting mengapa sejata pembunuh otonom harus dilarang dan ditentang penggunaannya.
Sebaliknya, negara-negara yang mendukung adanya senjata pembunuh otonom menganggap alutsista ini sebagai teknologi militer yang revolusioner. Senjata pembunuh otonom dianggap oleh negara yang mengembangkannya sebagai sarana yang dapat mengurangi jumlah prajurit yang menjadi korban di palagan tempur, karena senjata ini dikendalikan dari jarak yang jauh.
Mereka mengusulkan agar persenjataan ini terus dikembangkan. Hal ini dimaksudkan supaya kelak tidak terjadi lagi kesalahan yang dilakukan senjata ini saat pengoperasiaannya, seperti kesalahan target atau membunuh warga sipil. Senjata pembunuh otonom dinilai lebih efisien dengan daya hancur yang lebih masif dibandingkan dengan senjata konvensional.Â
Meskipun biaya pengembangan senjata ini cukup menguras anggaran negara, negara-negara pendukung menilai bahwa di masa depan harga jual senjata ini akan menurun secara bertahap, sejalan dengan pengembangannya yang semakin meluas dan semakin banyak negara yang memilikinya.
Di antara kedua pihak yang saling berkontradiksi mengenai sikap mereka terhadap senjata tersebut, terdapat ide-ide untuk menengahi keduanya. Bahwa penggunaan senjata pembunuh otonom harus berada di bawah regulasi yang mengikat. Negara yang memilikinya harus dapat mengontrol penggunaannya dan membatasi agar kewenangan pengoperasiannya hanya berada di tangan militer. Selain militer, penggunaan senjata ini dilarang keras.
Senjata pembunuh otonom idealnya hanya digunakan sebagai sarana pertahanan diri sebuah negara. Apabila senjata ini digunakan secara ofensif untuk menyerang negara lain atau diterjunkan di medan perang, akan ada peningkatan risiko kesalahan teknis yang dapat menyebabkan senjata ini keliru dalam memilih dan menyerang target. Tentu, warga sipil yang tak berdosa dapat menjadi korbannya dan negara yang bersangkutan dapat dituduh sebagai pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional.
Negara-negara yang sudah menggunakannya untuk pertahanan dalam negeri hendaknya hanya menggunakan senjata ini apabila musuh melakukan serangan terlebih dahulu. Apabila serangan belum dilakukan sementara senjata ini menyerang terlebih dahulu, tindakan ini tidak dapat dibenarkan.
Dengan demikian, agaknya perlu bagi organisasi internasional seperti PBB untuk mendirikan suatu lembaga netral yang ditugaskan untuk memantau penggunaan senjata ini. Selain itu, perlu dibentuk kerangka kerja (framework) oleh negara-negara anggota PBB untuk meregulasi penggunaan senjata pembunuh otonom. Dapat pula negara-negara tersebut merumuskan suatu pakta kesepakatan yang mengikat dalam forum PBB, seperti Dewan Keamanan.
Senjata pembunuh otonom ibarat dua sisi mata uang yang saling berlawanan. Ia dapat menjadi 'berkah' revolusioner yang membantu sektor pertahanan-keamanan sekaligus menjadi 'kutukan' bagi kemanusiaan. Kontrol negara-negara pengembang amat diperlukan untuk memastikan penggunaan senjata pembunuh otonom benar-benar hanya sebagai sarana pertahanan-keamanan dan bukan menjadi justifikasi bagi mereka untuk menyerang warga sipil dan mengkhianati kemanusiaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI