Selain negara, banyak organisasi nonpemerintah yang menolak senjata ini. Salah satu yang paling vokal dalam menyerukan dihentikannya pengembangan dan penggunaan senjata ini adalah Campaign to Stop Killer Robots (CSKR). CSKR bahkan sudah mendeklarasikan penolakannya secara resmi. Dalam situs resminya, CSKR menyepakati sepuluh poin penting mengapa sejata pembunuh otonom harus dilarang dan ditentang penggunaannya.
Sebaliknya, negara-negara yang mendukung adanya senjata pembunuh otonom menganggap alutsista ini sebagai teknologi militer yang revolusioner. Senjata pembunuh otonom dianggap oleh negara yang mengembangkannya sebagai sarana yang dapat mengurangi jumlah prajurit yang menjadi korban di palagan tempur, karena senjata ini dikendalikan dari jarak yang jauh.
Mereka mengusulkan agar persenjataan ini terus dikembangkan. Hal ini dimaksudkan supaya kelak tidak terjadi lagi kesalahan yang dilakukan senjata ini saat pengoperasiaannya, seperti kesalahan target atau membunuh warga sipil. Senjata pembunuh otonom dinilai lebih efisien dengan daya hancur yang lebih masif dibandingkan dengan senjata konvensional.Â
Meskipun biaya pengembangan senjata ini cukup menguras anggaran negara, negara-negara pendukung menilai bahwa di masa depan harga jual senjata ini akan menurun secara bertahap, sejalan dengan pengembangannya yang semakin meluas dan semakin banyak negara yang memilikinya.
Di antara kedua pihak yang saling berkontradiksi mengenai sikap mereka terhadap senjata tersebut, terdapat ide-ide untuk menengahi keduanya. Bahwa penggunaan senjata pembunuh otonom harus berada di bawah regulasi yang mengikat. Negara yang memilikinya harus dapat mengontrol penggunaannya dan membatasi agar kewenangan pengoperasiannya hanya berada di tangan militer. Selain militer, penggunaan senjata ini dilarang keras.
Senjata pembunuh otonom idealnya hanya digunakan sebagai sarana pertahanan diri sebuah negara. Apabila senjata ini digunakan secara ofensif untuk menyerang negara lain atau diterjunkan di medan perang, akan ada peningkatan risiko kesalahan teknis yang dapat menyebabkan senjata ini keliru dalam memilih dan menyerang target. Tentu, warga sipil yang tak berdosa dapat menjadi korbannya dan negara yang bersangkutan dapat dituduh sebagai pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional.
Negara-negara yang sudah menggunakannya untuk pertahanan dalam negeri hendaknya hanya menggunakan senjata ini apabila musuh melakukan serangan terlebih dahulu. Apabila serangan belum dilakukan sementara senjata ini menyerang terlebih dahulu, tindakan ini tidak dapat dibenarkan.
Dengan demikian, agaknya perlu bagi organisasi internasional seperti PBB untuk mendirikan suatu lembaga netral yang ditugaskan untuk memantau penggunaan senjata ini. Selain itu, perlu dibentuk kerangka kerja (framework) oleh negara-negara anggota PBB untuk meregulasi penggunaan senjata pembunuh otonom. Dapat pula negara-negara tersebut merumuskan suatu pakta kesepakatan yang mengikat dalam forum PBB, seperti Dewan Keamanan.
Senjata pembunuh otonom ibarat dua sisi mata uang yang saling berlawanan. Ia dapat menjadi 'berkah' revolusioner yang membantu sektor pertahanan-keamanan sekaligus menjadi 'kutukan' bagi kemanusiaan. Kontrol negara-negara pengembang amat diperlukan untuk memastikan penggunaan senjata pembunuh otonom benar-benar hanya sebagai sarana pertahanan-keamanan dan bukan menjadi justifikasi bagi mereka untuk menyerang warga sipil dan mengkhianati kemanusiaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI