Mohon tunggu...
Alfindri Riandaru
Alfindri Riandaru Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Sains Al-Qur'an

Mengisi waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kumpulan Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di Era Kepemimpinan Joko Widodo-Ma'ruf Amin

7 Januari 2023   16:57 Diperbarui: 7 Januari 2023   17:07 1612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

2 Tahun terakhir  adalah tahun yang penuh tantangan bagi kebijakan politik luar negeri Indonesia. Negara ini menghadapi berbagai tantangan strategis, beberapa tantangan baru dan beberapa perpanjangan dari tantangan yang sudah ada sebelumnya. 

Berikut beberapa pencapaian yang dilakukan di era kepemimpinan Joko Widodo dan juga ma'ruf Amin dalam menyelenggarakan kebijakan luar negeri dan keamanan Indonesia, diantaranya sebagai berikut :

Myanmar: Ujian Kepemimpinan Regional Indonesia

Terlepas dari meningkatnya risiko pandemi COVID-19 tahun ini, kawasan Asia Tenggara diganggu oleh krisis politik yang parah di Myanmar. 

Militer negara itu secara paksa menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari, dan menindak keras mereka yang memprotes kudeta. 

Sorotan segera beralih ke Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), dengan harapan bahwa badan regional dapat mengambil tindakan cepat dan tepat sebagai tanggapan.

Selain mengutuk dan mengungkapkan keprihatinannya tentang kudeta tersebut, Indonesia memimpin diplomasi di dalam ASEAN, mengundang menteri luar negeri organisasi tersebut untuk melakukan pembicaraan yang bertujuan untuk membangun tanggapan regional bersama terhadap krisis negara tersebut. 

Pada bulan April, dengan dukungan kuat dari Indonesia dan Sekretariat ASEAN, para pemimpin blok tersebut mengadakan pertemuan puncak dan menyepakati Konsensus Lima Poin yang dirancang untuk meredakan situasi politik Myanmar. 

Di antara poin-poin konsensus adalah tuntutan penghentian segera kekerasan, dialog damai antara faksi-faksi yang bertikai, pemberian bantuan kemanusiaan, dan penunjukan Utusan Khusus ASEAN untuk memimpin upaya blok tersebut. 

Tetapi hanya sedikit yang dilaksanakan, menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan ASEAN untuk menangani krisis di Myanmar, dan kemampuan Indonesia untuk memimpin blok tersebut ke arah yang dipilihnya.

Namun tahun tersebut menunjukkan bahwa upaya diplomasi Indonesia jelas masih belum memadai dalam menciptakan terobosan atas krisis politik Myanmar, dan pada tahun 2022, negara perlu berpikir lebih kreatif tentang bagaimana dapat merumuskan kebijakan praktis yang ditujukan untuk menenangkan situasi di negara tersebut.

Pola Baru di Indonesia-A.S. Hubungan

Pada tahun 2021, Indonesia bisa dibilang bergerak lebih dekat ke Amerika Serikat daripada beberapa tahun sebelumnya. Serangkaian interaksi tingkat tinggi antara kedua negara menunjukkan sejauh mana pemerintahan Biden menghargai Indonesia di tengah persaingannya dengan China. 

Tonggak sejarah tersebut termasuk KTT COVID-19 yang dipimpin AS dan Forum Energi dan Iklim pada bulan September, pertemuan sampingan antara Biden dan Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada COP-26 pada bulan November dan terakhir, kunjungan Menteri Luar Negeri Anthony Blinken ke Jakarta.

Hanya dalam beberapa bulan, kedua negara telah berkomitmen untuk memperluas kerja sama dalam pemulihan COVID-19, investasi infrastruktur, energi terbarukan, dan reformasi lembaga multilateral. 

Di Jakarta, Blinken memaparkan visi Indo-Pasifik Amerika dan memuji Indonesia atas kepemimpinannya di kawasan, khususnya dalam menjaga tatanan internasional berbasis aturan. 

Revitalisasi Indonesia-A.S. kemitraan masih dalam tahap awal, dan akan membutuhkan konsolidasi praktis di tahun-tahun mendatang. Rizal Ramli baru-baru ini menulis di halaman-halaman ini bahwa keterlibatan Jakarta-Washington akan selalu dibayangi pertanyaan tentang keberlanjutan dan apakah mampu memberikan manfaat nyata.

Partisipasi Indonesia dalam Forum Multilateral

Presiden Indonesia secara aktif terlibat dalam dua forum multilateral terbesar tahun ini. Pada akhir Oktober, Jokowi menghadiri KTT G-20 di Italia yang memiliki sejumlah tujuan ambisius, seperti memperkuat arsitektur kesehatan global, mendorong ekosistem keuangan yang berkelanjutan, dan memajukan inklusi keuangan. 

Jokowi juga mengusulkan pengaktifan kembali upaya konektivitas global, pertama pada penyediaan dan distribusi vaksin COVID-19 dan jangka panjang di bidang logistik transportasi, produksi dan jasa ekonomi, serta investasi infrastruktur.

G-20 di Italia memiliki arti khusus bagi Jakarta, karena Indonesia mengambil alih keketuaan pada tahun 2022. Indonesia memilih tema "Pulihkan Bersama, Pulih Lebih Kuat" yang menekankan nilai-nilai inklusi, kolaborasi, dan ketahanan. Indonesia memiliki keunggulan politik dan diplomatik sebagai kekuatan menengah yang nonblok, aktif, dan strategis yang berpotensi mendorong resolusi G-20 yang lebih berdampak dan dapat ditindaklanjuti.

Sementara itu, penampilan Jokowi di COP26 mendapat banyak perhatian global. Komitmen Indonesia terhadap upaya lingkungan global akan sangat penting, terutama di bidang deforestasi, transisi energi terbarukan, pembiayaan iklim, dan emisi karbon nol bersih. Di tengah menurunnya kepercayaan terhadap multilateralisme, kehadiran Indonesia dapat membantu menghidupkan kembali pola pikir kolektif di tingkat global.

Dinamika Geopolitik

Tahun 2021 didominasi oleh persaingan kekuatan besar antara China dan Amerika Serikat. Kawasan Indo-Pasifik, di mana Indonesia merupakan komponen penting, berada di panggung utama kontes Beijing-Washington. Gesekan tersebut bisa dibilang telah bergeser dari konflik langsung ke arah "persaingan yang bertanggung jawab", tetapi sikap netral Indonesia menghadapi sejumlah tantangan dalam satu tahun terakhir.

Hubungan dengan China telah dibayangi oleh kebuntuan saat ini mengenai cadangan minyak dan gas di dekat Kepulauan Natuna. Bulan lalu, pemerintah China dilaporkan mengirim surat protes ke Indonesia, menuntut agar menghentikan pengeboran di daerah tersebut. 

Parlemen menanggapi dengan kuat, menyatakan keprihatinannya tentang pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia ini meskipun mengakui perlunya menjaga hubungan ekonomi yang baik dengan Beijing. Gesekan teritorial ini menimbulkan risiko yang pasti bagi hubungan antara kedua negara, terutama mengingat sorotan publik yang tajam yang dihadapi elit politik Indonesia saat ini.

Sementara itu, A.S. dan sekutunya proaktif meningkatkan kehadiran mereka di kawasan Indo-Pasifik. Bersama dengan Australia dan Inggris, AS mengumumkan kemitraan keamanan trilateral yang dikenal sebagai AUKUS. Salah satu komponen utama dari kemitraan ini adalah menyediakan armada kapal selam bertenaga nuklir kepada Australia. Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan keprihatinannya yang mendalam atas pembentukan AUKUS, dan meminta Australia untuk menjaga komitmennya terhadap perdamaian dan stabilitas kawasan.

Tanggapan Indonesia terhadap AUKUS ditandai oleh tiga kesan utama -- kekecewaan, kehati-hatian, dan ketidakpercayaan -- yang menyuarakan tingkat ketidakamanan strategis yang cukup besar. Namun AUKUS tidak akan menjadi prakarsa pertahanan dan keamanan "minilateral" terakhir yang dibuat oleh A.S. dan mitranya dengan tujuan melawan pengaruh China yang meluas di Indo-Pasifik. 

Jadi, sementara Indonesia akan terus merasa prihatin dengan pakta keamanan antara kekuatan-kekuatan yang "sepaham", Indonesia perlu terus mempromosikan penolakan terhadap ancaman atau penggunaan kekuasaan sebagaimana dinyatakan dalam Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik yang dipandu oleh Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara. 

Pertanyaan tentang bagaimana Indonesia dapat mewujudkan tujuan otonomi strategisnya dalam konteks peningkatan gesekan geopolitik masih terus berlanjut dan kemungkinan akan berkembang di tahun-tahun mendatang.

Maju ke G-20

Pengamat kebijakan luar negeri telah memberikan berbagai kesan tentang kiprah luar negeri Indonesia tahun ini. Mantan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa telah menyarankan agar kebijakan luar negeri Indonesia tidak pasif, hanya mengungkapkan harapan dan keprihatinan dalam menanggapi tantangan strategis dan geopolitik yang ada. 

Evan Laksmana dengan nada yang sama berpendapat bahwa kebijakan luar negeri Jakarta tidak siap menghadapi bentrokan geopolitik saat ini dan refleks kebijakan luar negerinya sudah lama ketinggalan zaman. 

Mengingat posisinya yang strategis, Indonesia mungkin akan selalu menghadapi implikasi persaingan kekuatan besar dan memikul harapan tinggi untuk memainkan peran multilateral yang lebih kuat. Dalam hal ini, kebijakan luar negeri Jokowi akan meningkat pengaruh dan bobotnya selama kepresidenan G-20 Indonesia pada tahun 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun