Mohon tunggu...
Alfina Asha
Alfina Asha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tulisan random.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Besar Itu Kini Telah Pergi

30 Desember 2020   12:11 Diperbarui: 30 Desember 2020   20:58 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini saya dikejutkan dengan berita duka yang dikirimkan oleh dua orang teman, dan satu pesan siaran grup. Isi pesannya kurang lebih sama, kabar bahwa salah satu dosen kami telah berpulang tadi malam, Selasa 29 Desember 2020 sekitar pukul 21.00 WITA. 

Prof. WIM Poli, begitu panggilannya. Di umur yang sudah sedemikian renta masih meluangkan waktunya untuk belajar dan mengajar. Dia hanya selisih dua tahun kelahiran dengan mantan presiden ketiga RI , B.J. Habibie. Jika tidak keliru, beliau wafat di usia 82 tahun. Saya beruntung bisa menjadi salah satu dari banyak mahasiswa yang dapat kelasnya, di kelas Makroekonomi saat semester dua dulu, saat usianya sudah menginjak 80 tahun. 

Saya ingat sekali setiap akan memasuki kelas beliau akan berdiri sejenak di depan pintu. Dia akan menyapu pandangannya ke dalam ruangan sambil tersenyum. Barulah kemudian dia akan masuk ke kelas. 

Belajar itu harus bahagia

Ya, itu yang ditanamkan sejak pertemuan pertama kami. Belajar tidak boleh menjadi beban. Belajar harus dilakukan dengan perasaan bahagia. Pembawaannya yang humoris serta senyum yang jarang lepas dari wajahnya membuat saya (dan mungkin pula teman-teman yang lain) selalu menanti-nantikan kelasnya yang sayangnya hanya dijadwalkan seminggu sekali. 

Prof. WIM selalu update terhadap kondisi yang ada. Ini terbukti saat melakukan presentasi di kelas, power point yang ditampilkan selalu up to date, tidak menggunakan bahan presentasi yang berulang dengan yang ditampilkannya untuk tahun ajaran sebelumnya. Saya tahu mengenai hal ini karena pernah suatu hari saya mengirimkan bahan presentasi (yang telah dibagikannya dahulu kepada kami) ke salah satu teman yang baru mengambil kelasnya. Saat itu saya sudah duduk di semester empat. Setelah pertemuannya, teman tersebut mengabari saya, Al, power pointnya beda. Dari situ bertambah pula kekaguman saya. Ilmu yang dibagikannya tidak pernah usang. Dia selalu menyesuaikan dengan perkembangan yang ada. Luar biasa, Prof!

Setiap pertemuan selalu ada nilai-nilai kehidupan yang disisipkannya. Baik itu perihal waktu, sikap, pola kerja, hingga pengembangan diri. Entahlah, saya selalu senang berinteraksi dengan orang-orang yang usianya jauh lebih tua dari saya sendiri, seperti dengan Prof. WIM ini. Saya senang karena bisa mendapat ilmu kehidupan dari mereka yang telah hidup jauh lebih lama dari saya. Mereka telah melalui banyak lika-liku kehidupan dan saya selalu berharap memperoleh secuil ilmu maupun nasihat tentang kehidupan dari mereka.

Situasi Berubah, Pendapat Berubah

Satu hal yang paling saya ingat di dalam kelas Prof. WIM adalah ketika dia menceritakan salah satu rektor yang sering dituduh berubah-ubah pendapat. Orang-orang menuduhnya tidak konsisten. Apa tanggapannya?

Kalau situasi berubah, pendapat juga harus berubah, tetapi didasarkan pada prinsip yang tidak berubah, yaitu berpihak kepada kepentingan bersama.

Pernyataan ini menyadarkan saya yang saat itu terlalu kaku menjalani hidup. Saya sering menganggap orang yang berubah-ubah pendapat itu tidak konsisten. Nyatanya, memang dalam pengambilan keputusan ada tiga tipe pengetahuan dalam diri kita.

  1. Hal-hal yang kita tahu bahwa kita tahu (known knowns)
  2. Hal-hal yang kita tahu bahwa kita tidak tahu (known unknowns)
  3. Hal-hal yang kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu (unknown unknowns)

Ketika ada kondisi atau pengetahuan baru yang nyatanya berbeda dengan kondisi yang telah berlalu, memang wajar bukan, jika kita harus mengubah keputusan? Selama perubahan itu didasarkan pada prinsip yang tidak berubah, yakni keberpihakan pada kepentingan bersama, maka tidak ada yang salah dengan perubahan pendapat tersebut. Namun tentu saja ada risiko yang akan timbul, yakni perubahan pendapat dapat digoreng menjadi gorengan politik yang bikin gaduh, begitu katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun