Sebagai salah satu bentuk usaha agar tidak lupa, saya mau tulis ini. Yaaa namanya juga usaha. Kapok saya kemarin-kemarin habis baca buku akhirnya menguap juga karena tidak dicatat. Meski tidak semua, tapi lumayan juga yang lenyap dari ingatan.Â
Baiklah...Â
Hari ini akhirnya berhasil khatam salah satu karya trilogi dari Pak Sapardi, trilogi Hujan Bulan Juni. Dimulai dari buku Hujan Bulan Juni, kemudian Pingkan Melipat Jarak, dan terakhir Yang Fana adalah Waktu. Ada jeda yang tidak sebentar antar masing-masing buku, karena satu dan lain hal. Satunya karena tugas kuliah yang beruntun, lain halnya karena isi dompet yang sedang tidak mendukung.Â
Jujur saja sejak dulu penasaran sama karya dari eyang seluruh umat ini. Karya yang paling santer digaungkan pemuda-pemuda zaman now paling puisi Hujan Bulan Juni atau Aku Ingin. Jadilah trilogi ini masuk list dan mendekam tidak sebentar di antara daftar buku yang kiranya bisa dibeli suatu saat nanti. Hiyaa~
***
Berkisah tentang Sarwono dan Pingkan yang berbeda dalam banyak hal namun terikat dalam hubungan asmara dua manusia sebagaimana biasanya dengan mengambil latar Universitas Indonesia, Solo, Manado, dan Kyoto. Meski begitu, Pingkan yang sering diejek blasteran meski bukan dari negeri luar tapi merupakan peranakan Manado-Jawa itu tetap ngotot menganggap dirinya sendiri sebagai orang Jawa. Akhiran nama Palenkahu yang melekat pada namanya tidak bisa bohong kalau Pingkan punya darah Manado. Ya, selain wajahnya juga yang cantik khas Manado menurut Sarwono.Â
Gambaran fisik Sarwono dalam kisah ini sebenarnya biasa-biasa saja. Dia malah digambarkan kurus kerempeng, namun heran juga saya kenapa Pingkan yang cantik dan banyak yang naksir itu mau-mau saja dengan Sarwono. Rupanya rahasianya ada dalam organ di balik jidat Sarwono. Laki-laki bisa mempesona dan menyatukan diri ke jiwa perempuan dengan kecerdasan, bukan tampang. Itu kata Pingkan.Â
Sarwono yang merupakan salah satu dosen UI sering melakukan penelitian kesana-kemari. Di samping itu, ia juga senang menulis puisi. Jika beruntung, tulisan itu bakal muncul dalam surat kabar. Yang saya maksud 'beruntung' jika terbit dalam surat kabar adalah tulisannya, bukan Sarwono-nya. Pasalnya beberapa puisi buatannya hanya berakhir di atas kertas yang tersimpan di dalam kamarnya.Â
Puncaknya ialah ketika Sarwono harus dirawat di rumah sakit selama waktu yang tidak sebentar akibat getol ingin menyelesaikan tugas penelitiannya. Pingkan yang sedang di Jepang awalnya tidak tahu menahu, tapi lama-lama akhirnya ketahuan juga. Gadis secerdas Pingkan mana bisa dibohongi lama-lama.Â
Hubungan keduanya yang dikisahkan dalam trilogi novel ini tidak lebay macam kisah-kisah roman yang hidup tokohnya sudah seperti martir yang rela berkorban segalanya demi cinta.Â
Sarwono tetap menjalankan tugas sebagai dosen dan kadang meneliti, sementara Pingkan yang berada di Jepang juga sedang menempuh studinya. Meski keduanya kadang-kadang dilanda rindu, yaaa namanya juga namjug. Hahaha.Â
Percakapan mengalir begitu saja dari yang paling berbobot hingga yang paling remeh sekalipun. Mungkin memang begini kalau dua orang sudah hidup dalam satu frekuensi, pikir saya. Dan yang paling menarik menurut saya, keduanya selalu jujur dalam menyampaikan isi pikiran. Tidak ada ketakutan bagaimana jika seandainya lawan bicara merasa tersinggung atau cemburu. Karena memang itu tidak pernah terjadi.Â
Sar, gimana kalau ternyata aku suka sama Katsuo? Kata Pingkan satu waktu.Â
Ping, kalau Noriko wataknya juga sama seperti kamu, bisa-bisa aku jatuh hati padanya, kata Sarwono di lain waktu. Ya, sila saja, balas Pingkan.Â
Meski begitu, keduanya toh tetap saja masih sama-sama.Â
**
Jika ada yang memperhatikan, mungkin orang itu sudah sangat heran dengan mimik wajah saya yang berubah-ubah ketika membaca tiga buku ini. Akan tambah heran lagi ketika lihat saya yang tadinya senyum-senyum salting menjijikkan tiba-tiba ketawa sampai keluar air mata. Hahaha. Untung cuma sepasang bantal dan lemari pakaian yang jadi saksi. Eh, kursi dan meja juga masuk hitungan ding.Â
Saya jadi ngelantur tidak jelas begini.Â
Intinya buku ini sangat menarik untuk dibaca. Meski kadang saya tidak paham-paham amat dengan selipan kisah-kisah wayang yang dituturkan lewat percakapan keduanya, tapi alurnya masih bisa dinikmati.Â
Dan yang bikin saya kaget pas baru buka buku ketiganya adalah hal ini:
Wah saya tidak menyangka lirik dari lagu Thinking Out Loud yang bakal tampil di halaman muka. Pasalnya di dua buku sebelumnya paling sering kalau bahas musik ya musik klasik seperti karyanya Bach. Tahu-tahu di buku ketiga muncul Ed Sheeran. Tapi memang muncul sebenarnya dalam percakapan Pingkan dan Sarwono di buku ini meski cuma sekilas. Di luar itu, penggalan liriknya memang relate sih untuk menggambarkan hubungan keduanya.Â
Mungkin memang benar ya, orang-orang jatuh cinta dengan cara yang misterius.
***
Terima kasih telah membaca~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H