Sarwono tetap menjalankan tugas sebagai dosen dan kadang meneliti, sementara Pingkan yang berada di Jepang juga sedang menempuh studinya. Meski keduanya kadang-kadang dilanda rindu, yaaa namanya juga namjug. Hahaha.Â
Percakapan mengalir begitu saja dari yang paling berbobot hingga yang paling remeh sekalipun. Mungkin memang begini kalau dua orang sudah hidup dalam satu frekuensi, pikir saya. Dan yang paling menarik menurut saya, keduanya selalu jujur dalam menyampaikan isi pikiran. Tidak ada ketakutan bagaimana jika seandainya lawan bicara merasa tersinggung atau cemburu. Karena memang itu tidak pernah terjadi.Â
Sar, gimana kalau ternyata aku suka sama Katsuo? Kata Pingkan satu waktu.Â
Ping, kalau Noriko wataknya juga sama seperti kamu, bisa-bisa aku jatuh hati padanya, kata Sarwono di lain waktu. Ya, sila saja, balas Pingkan.Â
Meski begitu, keduanya toh tetap saja masih sama-sama.Â
**
Jika ada yang memperhatikan, mungkin orang itu sudah sangat heran dengan mimik wajah saya yang berubah-ubah ketika membaca tiga buku ini. Akan tambah heran lagi ketika lihat saya yang tadinya senyum-senyum salting menjijikkan tiba-tiba ketawa sampai keluar air mata. Hahaha. Untung cuma sepasang bantal dan lemari pakaian yang jadi saksi. Eh, kursi dan meja juga masuk hitungan ding.Â
Saya jadi ngelantur tidak jelas begini.Â
Intinya buku ini sangat menarik untuk dibaca. Meski kadang saya tidak paham-paham amat dengan selipan kisah-kisah wayang yang dituturkan lewat percakapan keduanya, tapi alurnya masih bisa dinikmati.Â
Dan yang bikin saya kaget pas baru buka buku ketiganya adalah hal ini: