Dalam hidup ini, siapa sih yang tidak ingin bahagia? Setiap manusia tentunya menginginkan kebahagiaan dalam kehidupannya. Terlebih di era yang serba cepat dan tidak menentu ini dimana gempuran teknologi yang seperti tak berujung, setiap hari rasanya selalu saja disodorkan baik berupa foto maupun cerita bahagia dari orang yang dikenal ataupun tidak.Â
Kebahagiaan menjadi barang langka bagi sebagian orang, terutama bagi mereka yang gemar membandingkan diri dan merasa tidak ada apa-apanya dibanding orang lain yang tampil di linimasa. Padahal apa susahnya ikut berbahagia atas kebahagiaan orang lain, kan?Â
Yuk berkenalan dengan Seneca, salah satu filsuf Stoa yang memberi sebuah resep agar tetap dapat menjalani hidup secara waras apapun situasi yang dihadapi.Â
Lucius Annaeus Seneca, atau yang lebih dikenal dengan nama Seneca adalah seorang warga negara Romawi yang berprofesi sebagai bankir, politikus, sekaligus filsuf yang hidup pada tahun 4 SM hingga tahun 65 M. Ia terlahir dari keluarga yang berada.Â
Meskipun begitu, kekayaan tidak melulu menjadi sumber kebahagiaan. Seberapa kayapun seseorang, akan selalu datang masalah maupun tekanan hidup yang butuh untuk diselesaikan. Sebelum menjadi penasehat kaisar Nero, Seneca pernah diasingkan ke pulau Corsica, yaitu sebuah pulau terpencil atas tuduhan berselingkuh dengan Agrippina.Â
Penguasa pada waktu itu adalah Claudius, seorang kaisar yang mengasingkan Seneca, dan kemudian menikahi Agrippina. Pernikahan Claudius dan Agrippina ini kemudian melahirkan seorang anak yang bernama Nero, yang kelak menjadi kaisar Romawi.Â
Seneca akhirnya diizinkan untuk kembali dan menjadi guru pribadi Nero. Kaisar Claudius kemudian meninggal dunia karena diracuni oleh istrinya, Agrippina, yang turut memberi beban bagi Seneca yang notabene bertanggung jawab atas pendidikan Nero.Â
Beberapa tahun kemudian, ketika Nero akhirnya beranjak remaja dan menjadi seorang kaisar Romawi, dia lalu membunuh Agrippina, ibunya sendiri. Jangan heran, konon bunuh membunuh adalah hal yang biasa terjadi kala itu.Â
Dengan kondisi seperti ini, bagaimana seorang Seneca tetap tenang menjalani hidupnya? Bahkan ketika ia diperintah oleh kaisar Nero --yang menuduhnya terlibat konspirasi-- untuk membunuh dirinya sendiri "ala stoik", yang kemudian benar-benar dilakukannya dengan menyayat nadinya sambil berendam air hangat. Bahkan di akhir hayatnya-pun Seneca tetap 'kalem'. Apa rahasianya? Inilah resep stoa ala Seneca, sebuah tips untuk menjadi bahagia.
Menurut Seneca, untuk menjadi bahagia ada tiga poin utama yang harus dipahami oleh setiap orang, yaitu:
- Setiap orang harus berani menerima semua hal yang tidak tergantung pada dirinya, atau dengan kata lain, berada di luar kendalinya. Contohnya adalah kematian, kekayaan, opini maupun perilaku orang lain. Hal ini disebut juga sebagai fortuna/fortune.
- Setiap orang harus sepenuhnya bisa mengendalikan hal-hal yang tergantung pada dirinya, yang berada dalam kendalinya, yaitu pemahaman, emosi, dan logika. Hal ini disebut juga sebagai virtus/virtue/keutamaan.
- Berlatih untuk bisa memilah antara poin 1 dan poin 2.Â
"Ducunt Volentem Fata, Nolentem Trahunt"
"Jika kau izinkan, takdir/hidup akan membimbingmu; jika pun tidak, takdir/hidup akan memaksamu tunduk." -Seneca
Perlu dipahami bahwa di dalam hidup ini, ada hal-hal yang berada di dalam kendali kita, dan ada yang diluar kendali kita. Jangan bebani pikiran untuk sesuatu yang tidak berada dalam kendali kita.Â
Misalnya dengan menghabiskan waktu memikirkan respon orang lain atas opini yang kita keluarkan, atau memikirkan komentar orang lain atas cuitan atau foto yang kita posting, memikirkan bagaimana jika kekayaan direnggut dari kita (misalnya lewat bencana alam, dsb.), atau bahkan bila kematian datang menghampiri kita.Â
Memikirkan hal-hal seperti ini hanya akan membebani kita, karena kita tidak bisa melakukan apapun terhadapnya. Sebaliknya, yang perlu kita kendalikan adalah hal-hal yang memang berada dalam kendali kita, yaitu pemahaman, emosi, atau logika kita. Mari lihat contoh sederhananya dalam kisah berikut:
Ayu memiliki selusin baju berwarna hitam. Suatu ketika Ayu memakainya dan kebetulan bertemu beberapa orang teman. Di lain hari, Ayu kembali bertemu dengan mereka, dengan setelan yang sama, yaitu baju berwarna hitam, namun bukan baju yang Ayu pakai tempo hari.Â
Baru beberapa meter berpisah setelah bercakap-cakap, tidak jauh dibelakang terdengar bisik-bisik "duh, bajunya itu lagi itu lagi. Memangnya tidak ada baju lain apa! hihihihi (sambil menertawakan Ayu)".Â
Ayu bisa saja merespon mereka dengan berbalik mengejar dengan dua tanduk di kepala sambil ngomel-ngomel, "heh! dasar ya! kata siapa ini baju saya yang kemarin! orang cuma warnanya yang sama! dasar sotoyyy kalian (sambil memasang muka terjutek lalu balik kanan maju jalan)". Â
Untungnya Ayu menerapkan prinsip dari Seneca. Daripada balik mengejar sambil marah-marah, dia lebih memilih melanjutkan langkah untuk melakukan aktivitas lain dan membangun pemikirannya sendiri "ya itukan pendapat mereka yang tidak berdasar. Mereka hanya asal bicara saja, padahal kebenarannya tidak seperti yang mereka katakan. Kenapa saya harus marah?". Lagipula, kalau bajunya memang sama, apa urusannya? Berpakaian kan hak masing-masing orang. Duh! Jangan seperti teman-teman Ayu, ya!
Kisah Ayu di atas hanya contoh sederhana saja. Dalam realita, berbagai variasi kasus mungkin akan kita hadapi. Tapi ketika kita menerapkan resep dari Seneca, memahami dan malatih diri memilah apa yang berada dan tidak berada dalam kendali, mestinya akan lebih mudah bagi kita menjalani hidup. Lebih lanjut lagi, perlu pula dipahami perbedaan antara sensasi dan emosi.Â
Sensasi sifatnya alamiah, dan di luar kendali kita, sedangkan emosi sifatnya rasional dan berada dalam kuasa diri kita. Misalnya seseorang mengagetkan kita dari belakang,"dor!", sensasi kita tentu saja kaget, atau melotot.Â
Namun apa yang terjadi setelahnya, itulah yang harus dikendalikan. Apakah kita akan memilih mengomel, marah-marah, membencinya sampai tujuh turunan, atau memilih santai dan memberitahunya agar lain kali tidak seperti itu, misalnya.Â
Sesuatu yang berada di luar kendali kita sebenarnya sifatnya netral. Baik dan buruknya ditentukan oleh pertimbangan nalar dan moral kita masing-masing. Oleh karena itu, sangat penting untuk membedakan antara fakta dan opini (nilai), dan menerapkan tiga poin ala Seneca yang telah dijabarkan di atas.Â
Dengan menerapkan ini, sejatinya kita tidak lagi menggantungkan kebahagiaan pada seseorang atau sesuatu. Namun kebahagiaan sepenuhnya berada di dalam kendali kita, atas pemikiran yang kita bangun, atas keputusan yang kita ambil.Â
Jadi, sudah siap menerapkan resep stoa dari Seneca? Harus banyak-banyak latihan ya, Kompasianer!
"Labor optimos citat; per alta Virtus it"Â -Seneca
Adios~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H