Mohon tunggu...
Alfina Asha
Alfina Asha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tulisan random.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Refleksi Diri dari Pengalaman Antropolog Belanda, Roanne Van Voorst

8 Januari 2019   13:50 Diperbarui: 26 Desember 2020   08:55 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Roanne Van Voorst, seorang antropolog Belanda melakukan penelitian di salah satu kawasan kumuh di Jakarta. Dalam bukunya, Tempat Terbaik di Dunia, kawasan kumuh itu diberi nama Bantaran Kali. 

Bantaran Kali terletak di sekitar wilayah aliran sungai yang --tentu saja- penduduknya tidak memiliki izin untuk tinggal dan mendirikan bangunan di daerah tersebut. 

Namun, tuntutan hidup memaksa mereka untuk melakukan segala cara agar kebutuhan primer -termasuk tempat tinggal- mereka dapat terpenuhi. Bantaran Kali. Bukan nama sebenarnya, tentunya. Hal ini semata-mata dimaksudkan untuk melindungi orang-orang yang namanya turut diikutsertakan dalam buku ini.

Adalah salah satu keberanian yang dilakukan oleh Roanne, memilih daerah kumuh sebagai tempat penelitiannya. Hal itu berarti pula bahwa dia harus tinggal dan menjalankan aktivitas sehari-hari di daerah tersebut agar turut merasakan kehidupan masyarakat yang menetap disana. 

Pengalaman hidupnya selama berbulan-bulan menjadi bagian dari masyarakat di Bantaran Kali kemudian diceritakan kembali melalui sebuah buku atas permintaan salah satu penduduk di kawasan pemukiman tersebut yang juga banyak membantunya selama berada di Bantaran Kali. 

Salah satu bagian yang paling membekas setelah membaca bukunya adalah ketika Roanne yang akhirnya jatuh sakit setelah tinggal selama beberapa bulan di Bantaran Kali. Banyak hal yang berpotensi menjadi faktor penyebab penyakit itu datang, terlebih pemukiman yang ditinggalinya agaknya cukup jauh dari kata higienis.

Setelah beberapa hari mendekam di dalam kamar dan berharap agar sakitnya bisa sembuh hanya dengan beristirahat tetapi tak kunjung sembuh juga, akhirnya Roanne berencana untuk berobat ke dokter. 

Enin, ibu angkat Roanne selama berada di Bantaran Kali, mengupayakan berbagai cara agar Roanne membatalkan rencananya untuk ke dokter. "Jangan pernah percaya dokter' ; "rumah sakit itu berbahaya" ; begitulah kira-kira bunyi hasutan Enin kepada Roanne. Kemudian mengalirlah beberapa cerita yang merupakan pengalaman pahit beberapa penduduk Bantaran Kali ketika berobat ke dokter.

Ada seorang wanita yang ayahnya bersimbah darah setelah ditabrak motor, oleh pihak rumah sakit disuruh untuk menunggu tanpa diberikan perawatan. Sementara pasien lain yang baru datang justru didahulukan penanganannya yang tidak separah kondisi ayahnya. Delapan jam menunggu, akhirnya ayah dari wanita tersebut tidak bisa diselamatkan.

Ada pula seorang pemuda yang membawa temannya ke rumah sakit karena overdosis narkoba. Namun, lagi-lagi pemuda yang mengalami overdosis tersebut akhirnya meregang nyawa setelah dibiarkan oleh pihak rumah sakit tanpa ada penanganan yang berarti. Sebelumnya pemuda ini hanya berbaring selama berjam-jam di lorong rumah sakit dengan mulut berbusa.

Enin, ibu angkat Roanne pun pernah merasakan betapa "berbahaya"-nya rumah sakit itu. Saudara perempuannya terkena penyakit DBD dan mengalami demam yang sangat tinggi. Enin meminta obat penurun demam, namun si dokter justru mengatakan bahwa dia tidak bisa memberi pengobatan secara gratis.

Terakhir, sepasang suami istripun harus rela kehilangan anak yang usianya masih sangat muda, yaitu 7 tahun karena terserang penyakit diare. Mereka mendatangi tiga rumah sakit yang kemudian menolak memberi penanganan. Di rumah sakit keempat, kedatangan mereka tidak ditolak, akan tetapi justru dibiarkan tanpa perawatan. Dokter-dokter disana hanya mengatakan "Tunggu, sebentar lagi" namun pada akhirnya anak tersebut tak tertolong lagi.

Kawan-kawan, kisah ini benar-benar nyata. Ini hanya sebagian kecil dari banyaknya kisah yang mungkin mirip bahkan sama dengan kisah diatas. Tidak menutup kemungkinan, di tempat lain terjadi pula hal-hal serupa yang mungkin tidak terekspos oleh media. Penduduk Bantaran Kali seperti mengalami "trauma" dengan hal-hal yang berbau rumah sakit. Seringkali mereka ditolak karena alasan biaya. Mereka pada akhirnya lebih mempercayai ramuan dari salah satu penduduk untuk mengobati berbagai jenis penyakit yang mereka alami, yang tentunya akan jauh lebih murah dibandingkan pengobatan di rumah sakit.

Mungkin kita salah satu orang beruntung yang tidak mengalami hal-hal diatas, yang ketika sakit bisa segera diberi perawatan. Namun, berada di posisi mereka tentu akan sangat menyedihkan. Melihat orang-orang yang disayangi harus meregang nyawa karena pertolongan yang tak kunjung datang adalah hal yang tidak diharapkan oleh siapapun.

Sama sekali tidak bermaksud untuk menggurui, namun marilah kita memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Karena sejatinya kita adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, pun sebaliknya. Tak terhitung lagi banyaknya peranan orang lain dalam perjalanan untuk menjadi diri kita yang sekarang, baik disengaja maupun tidak.

Semoga kisah diatas bisa memberi pelajaran untuk kita semua. Marilah senantiasa memohon agar semoga profesi, pangkat, maupun jabatan yang kita miliki tidak melunturkan sisi kemanusiaan dalam diri kita, baik di masa sekarang maupun yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun