Hutan mangrove, yang sering disebut juga hutan bakau, merupakan ekosistem hutan unik yang tumbuh di wilayah pasang surut. Kawasan ini mencakup area pantai terlindung, laguna, dan muara sungai yang secara berkala tergenang air pada saat pasang dan bebas air pada saat surut. Karakteristik khusus hutan ini adalah komunitas tumbuhan yang mampu bertahan dalam kondisi lingkungan yang memiliki kadar garam tinggi.
Pentingnya hutan mangrove tidak dapat diabaikan, terutama bagi kehidupan masyarakat pesisir. Ekosistem ini memiliki multifungsi yang sangat strategis. Secara ekologis, hutan mangrove berperan sebagai penyedia makanan bagi berbagai biota laut, pelindung pantai dari abrasi, penahan gelombang dan tsunami, penyerap berbagai jenis limbah, dan pencegah intrusi air laut.Â
Di samping fungsi ekologisnya, hutan mangrove juga memiliki fungsi sosial ekonomi, yakni dapat menyediakan sumber pangan bagi penduduk yang tinggal di sekitar kawasan tersebut (Ndruru & Delita, 2021).
Dalam konteks ekologis, hutan mangrove memiliki signifikansi yang sangat tinggi karena perannya sebagai penyangga utama stabilitas ekosistem pesisir. Keberadaan dan kondisi ekosistem mangrove memiliki dampak yang sangat komprehensif terhadap kelangsungan dan kesehatan wilayah pesisir secara keseluruhan. Sebagai tipe ekosistem hutan yang unik, mangrove memiliki karakteristik dan kualitas yang khas.Â
Tumbuhan mangrove secara spesifik beradaptasi dengan sempurna pada lingkungan pantai berlumpur dan area muara sungai, menunjukkan kemampuan ekologis yang luar biasa dalam menempati habitat yang kompleks dan menantang.
 Keunikan mangrove terletak pada kapasitasnya untuk tidak sekadar bertahan, melainkan berkembang di zona pertemuan antara daratan dan lautan yang dinamis dan penuh tantangan, menjadikannya salah satu ekosistem paling resilien di dunia (Konseptual & Karminarsih, 2007).
Hutan mangrove memiliki karakteristik topografis yang unik dengan permukaan yang landai hingga relatif datar. Kondisi geografis ini sangat menarik minat masyarakat untuk mengembangkan berbagai kegiatan ekonomi, mulai dari sektor pertanian, perikanan, hingga industri. Akibatnya, kawasan hutan mangrove sangat rentan terhadap konversi menjadi area perekonomian.Â
Kemudahan akses dan rendahnya biaya pembukaan lahan di kawasan mangrove, dibandingkan dengan wilayah pegunungan, semakin mempercepat proses pengalihan fungsi lahan. Lokasi strategis hutan mangrove di sekitar muara sungai yang berdekatan dengan wilayah pesisir, di mana tingkat ketergantungan masyarakat sangat tinggi, semakin mempermudah terjadinya perubahan fungsi lahan.Â
Kerusakan ekosistem hutan mangrove dapat dikategorikan ke dalam dua faktor utama. Pertama, faktor alam yaitu mencakup kejadian-kejadian alamiah seperti bencana tsunami yang secara langsung dapat merusak struktur dan komposisi hutan mangrove.
 Kedua, faktor manusia yaitu meliputi berbagai aktivitas antropogenik dalam pemanfaatan sumber daya, seperti penebangan pohon untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Kedua faktor ini berkontribusi signifikan terhadap degradasi ekosistem mangrove, mengancam keberlanjutan fungsi ekologis dan ekonomis kawasan tersebut.
Pelestarian hutan mangrove efektif dilakukan melalui keterlibatan aktif masyarakat lokal dengan fokus pada pemeliharaan berkelanjutan ekosistem mangrove. Pendekatan dari bawah ke atas (bottom up) menjadi strategi kunci dalam proses rehabilitasi hutan. Menurut konsep yang dikemukakan oleh Lugina dan rekan pada tahun 2017, pembiayaan rehabilitasi hutan mangrove idealnya ditanggung oleh pemerintah.Â
Namun, seluruh aspek operasional mulai dari perencanaan, implementasi, evaluasi keberhasilan, hingga pemanfaatan berkelanjutan sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat setempat. Proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang meliputi kegiatan penanaman, perawatan, dan penyulaman secara menyeluruh dilakukan oleh komunitas lokal.Â
Melalui pendekatan partisipatif ini, masyarakat akan mengembangkan rasa memiliki yangkuat dan secara berkelanjutan akan turut bertanggung jawab menjaga kelestarian hutan mangrove di wilayahnya. Metode ini tidak hanya efektif dalam memulihkan ekosistem, tetapi juga memberdayakan masyarakat untuk menjadi agen pelestari lingkungan yang aktif dan mandiri (Nanlohy & Masniar, 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H