Mohon tunggu...
Alfina FatwaKhasanah
Alfina FatwaKhasanah Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Blog

i said RUNNNNN

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Metode Reward dan Punishment untuk Meningkatkan Sosial Emosional pada Anak Usia 4-6 Tahun

14 Desember 2021   18:16 Diperbarui: 14 Desember 2021   18:20 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak usia TK (4-6 tahun) perkembangan sosialnya sudah mulai berjalan. Hal ini tampak dari kemampuan mereka dalam melakukan kegiatan secara berkelompok atau bersama seperti sebuah permainan. Tanda-tanda perkembangan pada tahap ini bisa dilihat dari anak yang mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan bermain, sudah mulai tunduk pada peraturan, dan mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain. Dari sisi sosial emosional, kegiatan bermain dan konflik-konflik di dalamnya bertujuan untuk melatih anak dalam memahami perasaan serta sudut pandang berbeda dari diri sendiri dengan orang lain.

Kostelnik, Soderman dan Waren (Yahro, 2009) menyebutkan bahwa perkembangan sosial meliputi kompetensi sosial dan tanggung jawab sosial. Kompetensi sosial menggambarkan keefektifan kemampuan anak dalam beradaptasi dengan lingkugan sosialnya. Misalnya anak ingin bergantian dengan teman lainnya dalam sebuah permainan. Lalu, tanggung jawab sosial menunjukkan komitmen anak terhadap tugasnya, menghargai perbedaan, memperhatikan lingkungan, dan mampu menjalankan fungsinya.

Perkembangan sosial selama 2 tahun pertama meliputi perkembangan tanda-tanda sosial di antara teman sebaya. Gaya sosial pada masa toddler (usia 1-3 tahun) berhubungan dengan sejarah kelekatan. Sedangkan, perkembangan empati anak sudah mulai sejak usia 12 bulan, yaitu saat bayi merespon kesedihan orang lain.

Para peneliti juga telah menemukan bahwa anak berusia 4 tahun sudah bisa memahami bahwa orang dapat membuat pernyataan yang tidak benar untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dan menghindari masalah, atau kata lainnya berbohong. 

Sebagai contoh, sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa anak usia 4-5 tahun semakin skeptis terhadap keluhan sakit yang dilontarkan temannya ketika ia tahu bahwa temannya melakukan hal tersebut untuk menghindari keharusan pergi berkemah. Namun, pada usia 4 tahun, anak belajar memutuskan siapa yang harus dipercaya dengan menghitung seberapa sering pembuat informasi melakukan kesalahan.

Tak hanya sosial, anak-anak terus berkembang, begitu pun kesadaran dirinya mengenai emosi. Mereka akan merasakan rentang emosi yang lebih luas lagi dan lagi dari sesuatu yang sudah mereka rasakan atau pelajari sebelumnya. Rasa sedih, marah, malu, senang merupakan contoh bahwa mereka telah berkembang secara emosi.

Usia 2-4 tahun secara signifikan meningkatkan jumlah istilah yang mereka gunakan untuk menggambarkan emosi. Selama rentang tersebut, mereka juga belajar tentang penyebab dan konsekuensi dari perasaan. Ketika anak berusia 4-5 tahun, mereka menunjukan peningkatan kemampuan untuk merefleksiakan emosi. Mereka juga mulai memahami bahwa peristiwa yang sama akan menimbulkan perasaan yang berbeda pada orang yang berbeda. 

Lalu, pada usia anak 5 tahun, sebagian besar anak-anak dapat secara akurat menentukan emosi yang dihasilkan oleh keadaan-keadaan yang menantang dan menggambarkan strategi yang dapat mereka gunakan untuk mengatasi stres sehari-hari. Adapun pengaturan emosi pada anak merupakan aspek penting perkembangan.

Maka dari itu, bukan hanya guru saja, orang tua juga memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan sosial emosional anak. Orang tua bisa membantu melebeli emosi yang dirasakan oleh anak maupun mengajarkan bagaimana caranya agar anak dapat menangani emosi dengan cara yang efektif. Menurut Sukatin dan kawan-kawan, emosi pada anak memiliki karakter tersendiri, sepeti berlangsung secara singkat dan berakhir secara tiba-tiba, memiliki volume yang lebih kuat atau tinggi dari orang dewasa, dan bersifat sementara.

Setelah membahas mengenai sosial emosional, adapun salah satu cara disiplinnya yaitu dengan menggunakan metode reward dan punishment. Menurut Ni'mah Afifah dalam jurnalnya yang membahas permasalahan serupa, dia menjabarkan, "Reward dipandang sebagai sebuah penguatan positif (reinforcement) untuk memunculkan suatu perilaku positif dan sebagai bentuk apresiasi atas sebuah tindakan positif yang telah dilakukan."

Reward bisa berupa hadiah atau apresiasi. Hadiah yang diberikan kepada anak didik hendaknya bersifat mendidik. Dalam memberikan hadiah, guru harus mengenal betul karakter anak didiknya dan juga tahu hadiah seperti apa yang layak diberikan kepada anak didik. Lalu, hadiah atau penghargaan hendaknya tidak menimbulkan iri hati kepada anak didik yang lain.

Janganlah memberikan hadiah dengan menjanjikan terlebih dahulu, apalagi kepada seluruh kelas sebelum anak-anak menunjukkan prestasi. Jika guru menjanjikan hadiah kepada anak didik, akan menjadikan anak menjadi terburu-buru dalam mengerjakan tugas yang dapat menimbulkan kesukaran-kesukaran bagi peserta didik yang lain.

Sedangkan, punishment (hukuman) memiliki arti tindakan yang diberikan kepada individu maupun kelompok atas dasar kesalahan atau pelanggaran. Menurut Ngalim Purwanto dalam bukunya, ada beberapa teori tentang hukuman dalam pendidikan, yaitu: Teori Pembalasan. Menurut teori ini, hukuman diberikan kepada seseorang sebagai pembalasan dendam atas kelainan atau pelanggaran yang dilakukan. Teori ini tentu tidak layak untuk digunakan dalam institusi pendidikan, karena akan berdampak tidak baik terhadap anak didik dan bagi institusi tersebut.

Teori perbaikan. Menurut teori ini, hukuman diberikan untuk membasmi kejahatan. Jadi, maksud hukuman yang diberikan kepada pelanggar adalah untuk memperbaiki dan mencegah agar si pelangar tidak melakukan hal yang serupa. Teori inilah yang bersifat pedagodis (strategi paling tepat bagi guru), karena tujuan pemberian hukuman adalah untuk memperbaiki si pelanggar, baik lahirian maupun batiniahnya.

Teori perlindungan. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk memberikan perlindungan dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar. Teori ganti kerugian. Menurut teori ini, hukuman diberikan kepada si pelanggar sebagai ganti rugi atas kerugian yang telah ia lakukan, dan yang terakhir adalah teori menakut-nakuti. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat dari perbuatannya.

Jadi, untuk membantu anak usia 4-6 tahun yang sedang dalam masa perkembangan sosial emosionalnya, para guru diharapkan untuk menerapkan metode reward dan punishment secara tepat, agar mereka bisa berkembang secara sosial karena interaksi yang terjadi selama penerapan metode berlangsung dan mampu melabeli perasaan dengan lebih luas lagi; senang ketika dapat reward dan rasa ingin belajar lebih ketika mendapat punishment.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun