Mohon tunggu...
Alfina Adawiyah
Alfina Adawiyah Mohon Tunggu... -

Manusia biasa ciptaan Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keping yang Pergi

16 Januari 2012   10:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:49 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perjumpaan itu memang cukup singkat. Hanya beberapa menit diwaktu istirahat. Namun begitu berartinya bagi Gina. Hatinya serasa melayang di angkasa, hanya karena ditanya dan bisa berbicara pada kakak itu. Remaja, aduhai memang dunia yang begitu gemerlap indah penuh bunga-bunga. Sayangnya, Gina lupa bertanya siapa nama kakak itu. Lupa, sungguh sifat yang manusiawi. “Semoga Allah memberiku kesempatan untuk bertemu dengan kakak itu lagi,” Gina berharap.

Bulan Agustus memang bulan di mana PPL baru dimulai. Dan pada bulan Agustus juga bertabrakan dengan bulan puasa. Setiap bulan puasa sekolah selalu mengadakan buka bersama selama tiga hari. Hari pertama untuk anak kelas 9, ke-dua untuk anak kelas 8, dan ke-tiga untuk anak kelas 7.

Gina adalah pengurus OSIS, ia menjabat sebagai koordinator keagamaan. Jadi Gina bukan hanya berangkat pada hari pertama saja, namun ke-dua juga ke-tiga. Asyiknya, kakak-kakak PPL Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta yang berjumlah 18 orang itu juga dimintai bantuan untuk mengabsen para siswa selama tiga hari itu juga. Betapa dengan senang hati Gina melakukan tugasnya, jelaslah karena dia bisa bertemu dengan kakak yang ia kagumi selama tiga hari. Bayangkan! Tiga hari!

Tugas Gina dan kawan-kawan pengurus OSIS lainnya adalah membagikan makanan di tiap kelas saat para siswa sedang mengikuti pengajian menjelang buka puasa di aula. Setelah semua siswa masuk kelas untuk makan, maka Gina bertugas mengecek apakah ada yang kurang atau tersisa. Nah saat itulah, kebetulan sekali mushola menghadap koridor yang dipakai Gina berjalan wara-wiri dan di situ kakak yang Gina kagumi sedang duduk. Gina hanya mampu menganggukkan kepala dan tersenyum manis penuh sipu. Pipinya merah jambu.

Itulah kejadian yang Gina alami saat buka puasa hari pertama. Indah bukan buatan bagi Gina.

Hari ke-dua. Gina memang sedang tidak sholat alias haid, jadi dia tidak puasa. Dikarenakan tugas, maka Gina tetap berangkat untuk buka bersama. Tiba waktunya sholat tarawih. Semua bersiap sholat di aula setelah berwudhu. Termasuk kakak-kakak PPL. Tapi ada satu kakak PPL yang tidak sholat karena sedang haid juga. Jadi Gina memilih untuk duduk di ruang PPL bersama kakak yang haid itu.

Mbak Dewi namanya, dia jurusan pendidikan Bahasa Indonesia. Kalau Gina ngomong dengan dia sudah pasti nyambungnya. Novel, ya apa lagi selain itu yang mereka obrolkan? Baru sekitar lima menit mereka ngobrol, tiba-tiba, “Jeglek!” pintu terbuka.

Rupanya para kakak PPL yang tidak berhalangan urung melaksanakan ibadah sholat tarawih, termasuk kakak yang dikagumi Gina. Mereka berada dalam satu ruangan yang boleh dibilang cukup sempit, ukurannya sekitar 3×6 m. Tidak semua kakak PPL sih. Ada beberapa yang masih teguh imannya. Lho? Berarti kakak yang dikagumi Gina nggak teguh dong imannya? Ya, nggak tahu juga. Alasan mereka sihtidak mendapat tempat katanya, aula penuh jadi mereka memilih ngumpet di ruang PPL.

Deg, deg, deg. Hati Gina bernyanyi dengan gugupnya di atas panggung sandiwara cintanya. Kakak itu duduk di sebelah Gina, tepat banget sebelahnya, deket banget. Tangannya merangkul kursi Gina lagi. Tapi Gina berpura-pura tidak tahu dan tidak peduli. Ah, ya Tuhan. Godaan-godaan, hush syah pergi sana. Biar begitu namun Gina senang.

Setelah bertanya tentang Gina itu siapa-maksudnya bertanya nama pada Gina, kelas berapa apa, alamatnya di mana, wah kayak udah mau macarin aja ni orang. Sayang, dia tak bertanya ukuran baju ataupun sepatu. “Oh, kamu yang di perpus nyapa aku itu ya? Wah pantes kok kayaknya pernah lihat,” memori kakak itu tiba-tiba terbuka. Gina hanya tersenyum.

“Mmmh, bapak kamu… bapak kamu…” katanya tiba-tiba merangkai sebuah rayuan gombal. Gina pun sudah menyadari adanya sinyal rayuan itu. “Wah-wah, kayaknya aku tahu nih, Kak. Cukup ya, cukup. Jangan dilanjutkan, OK!” Gina mencegah namun kakak itu tetap melanjutkan rayuannya. “Bapak kamu penjual jaket ya?” tanyanya. Gina tahu ini bukan rayuan gombal seperti seorang cowok berbicara pada pacarnya. Tapi ini hanya “bercanda”. Maka Gina melayaninya, “Kok tahu sih?” “Karena kamu telah menghangatkan hatiku,” menjwablah kakak itu dengan nada sok romantis. Seluruh isi ruangan cekikikkan dengan ditahan, karena kalau dilepaskan bisa-bisa ketahuan guru jaga dan dimarahi nanti karena mengganggu kelancaran ibadah tarawih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun