Kehancuran Kerajaan Negara Daha, dan berdirinya Kerajaan Banjar sebenarnya tidak menghilangkan permusuhan politik secara serta merta, tetap masih ada persaingan sekaligus juga interaksi yang rumit antara dinasti Maharaja Sukarama dan Dinasti Pengaran Suriansyah, khususnya bagi Kerajaan Jatuh Alai yang menguasai daerah pahuluan yang kaya sumber daya, seperti beras yang menjadi sumber logistik utama dikawasan, sahang atau lada yang menjadi komuditas dagang utama yang dibeli Kerajaan Banjar yang menguasai pesisir dan kemudian dijual belikan dnegan pihak luar, serta emas yang menjadi kekuatan ekonomi utama Kerajaan Jatuh Alai di Pedalaman.
Sebagian para Andin di Hulu sungai tetap melihat Pangeran Samudera dan keturunanya dengan pandangan negative karena hubungan masa lalu leluhur mereka, Pangeran Samudera dianggap telah merebut tahta dengan tidak benar, dan membawa pasukan dari luar untuk menyerang Raja Daha Pangeran Tumenggung. disisi lain hal tersebut mungkin juga direspon oleh Kerajaan Banjar dengan menempatkan gelar Andin sebagai bangsawan Rendah dalam Jejaring bangsawan Banjar di Martapura dan Banjarmasin.
ada masa dimana sebagian masyarakat Hulu sungai sendiri melihat Andin dengan pandangan negati akibat terjebak dengan definisi Andin sebagai bangsawan rendah di Banjar dan anak seorang selir di Paser, dampaknya sebagian kelaurga Andin di Hulu sungai menjadi tidak percaya diri untuk memakai gelar Andin tersebut.
Sebagian masyarakat yang lain  melihat Andin sebagai warisan budaya yang tidak islami atau berbau Hindu Budha karena sebagian Andin atau keluarga Andin masih melaksanakan ritual ritual warisan jaman dahulu yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran islam.
Sebagian yang lain juga melihat Andin rama dengan kacamata ideologi tertentu sebagai warisan feodalis nan burjois yang berkaitan erat dengan kapitalisme lama yang membawa tradisi kolot dengan membagi masyarakat dalam kelas atau kasta yang berbeda-beda sehingga bagi mereka tradisi feodalis sebaiknya dihilangkan dan dihancurkan dengan menghilangkan gelar Andin.
Sebagian lagi melihat Andin pernah terafiliasi dengen kolonial belanda, baik selama Perang Hulu Sungai yang dimulai 1859-1866, yang merevolusi hulu sungai dimana sebagian keluarga Andin akhirnya menjadi penguasa dan pejabat dibawah pemerintah belanda selama perang pun setelah perang usai. setelah kemerdekaan Indonesia yang menawarkan wacana nasionalisme hitam putih yang kuat dan keegaliteran dalam strata sosial, membuat sebagian keluarga Andin Rama tidak menggunakan gelar kebangsawanannya dan mengikuti tradisi baru dengan tidak mencantumkan gelar kebangsawanan mereka, sebagai contoh terlihat bahwa tokoh-tokoh pendiri Republik Indonesia seperti Presiden Soekarno pun tidak menggunakan gelar Raden yang diwarisinya.Â
Sebagian keluarga lain juga melihat Andin memberikan beban psiklogis yang berbau mistik, karena dengan mengakui dan memakai gelar Andin berarti mereka harus melaksanakan beberapa tradisi yang dianggap berat dan aneh serta sudah tidak sesuai jaman, seperti melaksanakan upacara badudus dalam berbagai kondisi, memanjang rambut seperti kuncir bagi anak mereka, atau adanya pingintan (sejenis dampak akibat) jika tidak memelihara tradisi dan keharusan memelihara benda-benda pusaka, jika upacara tersebut tidak dilakukan maka dipercaya akan berakibat tidak baik bagi keluarga besar mereka. Disisi lain pelaksanan tradisi lama memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga sangat memberatkan ditengah ekonomi mereka juga buruk, hal ini memicu beberapa keluarga berhenti memakai gelar Andin.
Dengan akumulasi berbagai masalah diatas, sebagian keluarga Andin terbelah dalam berbagai pilihan. Ada yang memilih untuk meninggalkan gelar Andin, atau merantau jauh tidak pernah kembali lagi, ada beberapa Andin yang mempunyai jabatan pemerintahan dimutasi jauh dan tidak pernah kembalil lagi, atau ada Andin yang nyaman bersembunyi di tengah masyarakat, konflik keluarga juga semakin meruncing akibat politik pecah belah belanda yang mengakibatban masalah semakin rumit, dan berbagai masalah lainnya. Â akhirnya popularitas gelar Andin menjadi benar-benar terpuruk di Hulu Sungai. Sebagian keluarga yang memilih memakai gelar baru seperti Anang bagi keluarga Andin yang dahulu menjadi pejabat dalam pemerintahan, atau gelar Antin, yang merupakan gelar akrab, telah menjadikan gelar Andin dan Rama semakin ditinggalkan dan dilupakan.
Meski begitu ternyata masih ada sebagian keluarga Andin yang bertahan dalam tradisi lama, atau memelihara sebagian tradisi, masih mewariskan doktrin dan cerita tutur lama, masih bangga dengan Andin, masih melaksanakan upacara-upacara lama, masih memakai aksesoris bakuncir bagi anak-anak mereka, menulis silsilah keluarga mereka, masih menggunakan gelar Rama bagi tetua di suatu komunitas Andin, atau dorongan masyarakat sekitar yang masih percaya keturunan Andin dan Rama adalah pemimpin traditional mereka khususnya dalam tradisi-tradisi tertentu yang masih bertahan (keturunan Andin masih menjadi pemangku adat di diaspora Hulu sungai di Sumatera utara, lihat Dr. Rosramadhana nasution dalam "Ketertindasan Perempuan Dalam Tradisi Kawin Anom: Subaltern Perempuan pada Suku Banjar Dalam Perspektif Poskolonial" halaman 111)
Masalah lain yang penulis curigasi adalah proses Banjarisasi terhadap peradapan dan sejarah Hulu Sungai, mengakibatkan Andin dan Rama di Hulu Sungai dalam beberapa penelitian lebih dilihat dalam konteks Andin dalam definisi kesultanan Banjar, penulis setuju dengan  Ian Chalmers pada jurnalnya yang berjudul "The Islamization of Southern Kalimantan: Sufi Spiritualism, Ethnic Identity, Political Activism"  yang mendiskusikan mengenai wacana banjarisasi yang mengcakup wilayah diluar wilayah Banjar semenjak tahun 1920an. selain itu setelah kemerdekaan hanya ada satu buku yang mendokumentasikan mengenai Andin dan Rama , yaitu buku dengan judul "Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Kalimantan Selatan" yang terbit tahun 1983.