"KE KANDANGAN KITA MANGOPI"
Sejarah Kopi di di Afdeling Hulu Sungai Kalimatan Selatan
Oleh: Andin Alfigenk Ansyarullah Naim
Saya masih ingat ketika waktu kecil kira-kira umur saya dibawah sepuluh tahun bermain-main dibawah kebun kopi dibelakang rumah saya, tepatnya di desa Mandingin Barabai kabupaten Hulu Sungai Tengah salah satu Kabupaten di daerah Hulu Sungai Kalimantan Selatan, kadang saya dan sepupu-sepupu saya naik ke pohon kopi tersebut sambil tertawa-tawa disertai teman dan saudara saya, kebun kopi dibelakang rumah saya tersebut sangat bersih, mungkin ada sekitar 15 batang pohon kopi yang bercampur dengan pohon kelapa, pohon keminting, pohon jambu agung, pohon kalangkala, pohon tarap dan pohon lainnya.
Sebenarnya tidak terlalu tepat juga disebut kebun kopi, karena hanya tumbuh beberapa pohon kopi dilahan yang tidak terlalu luas, tapi juga dengan pohon-pohon kopi yang lumayan besar dan rimbun itu kiranya bisa saja disebut kebun kopi untuk melebih-lebihkan dengan sengaja, karena saya kesulitan mencari padanan kata yang tepat selain itu selain kebun kopi.
Ada beberapa peristiwa yang tidak saya lupakan dikebun kopi tersebut, beberapa kejadian yang selalu saya ingat-ingat , pertama adalah saya kena sengat ulat bulu, sangat sakit, untungnya saya tidak pingsan, ulat bulu itu wujudnya sangat cantik, bentuknya mirip dengan tanda amor lambang cinta, bulunya tercampur berbagai warna yang cerah, hingga-hingga ulat bulu tersebut dinamai ulat bulu alapio, mungkin asal katanya dari I love You pengertian dari lambang amor itu sendiri, saya ingat kejadian itu karena keluarga saya kaget saya tidak pingsan karena disengat ulat bulu tersebut.
Nenek bernama Diyang Masjam, yang saat itu mungkin sudah berumur mendekati 80 tahun tapi tetap terlihat lincah,beliau tidak menceritakan siapa yang menamam kopi-kopi tersebut, tapi setahu saya tanah tersebut adalah tanah warisan, warisan dari orang tua nenek saya atau Datu (Buyut) perempuan saya bernama Diyang Sinah, tanah itu sekurang-kurangnya saya ketahui sampai pada nenek dari Diyang Sinah, Haji Diyang Sinah anak oleh Haji diyang Basnah, Haji Diyang Basnah anak oleh Haji Diyang Inas.
Orang tua dari Diyang Sinah atau suami dari Diyang Basnah adalah Pa Tuan Haji Muhammad Taib, mereka bercerai dan masing-masing menikah kembali.
Orang tua laki-laki dari Diyang Basnah tidak kami ketahui namanya, kubur beliau berada di sebelah kanan Masjid Al-Islah Mandingin, saat ini kubur tersebut sudah hilang pusaranya karena pelebaran masjid dan berada dalam masjid itu sendiri. cerita ini dari nenek saya sendiri, ketika Diyang Sinah datang dari berhaji beliau langsung ziarah ke sebuah kubur di samping kanan masjid.
Orang tua dari diyang sinah, Pa Tuan Haji Mataib meninggal di daerah Sanaking kabupaten Pulau Laut,beliau merantau kesana ketika sudah tua. kuburan Haji Diyang Basnah dan Haji Diyang Inas berada tepat ditengah pohon-pohon kopi dibelakang rumah kami, salah satu anak dari Diyang inas yang laki-laki adalah Pa Tuan Haji Matnor, kakek buyut dari Pambakal Dillah , salah satu pambakal Mandingin, rumah Pa Tuan Haji Matnoor di dekat SMP Lima Mandingin, menariknya adalah rumah Haji Diyang Inas, rumah Pa Tuan Haji Mataib dan rumah Pa Tuan Haji Matnor semuanya adalah rumah banjar bubungan tinggi besar, yang panjangnya kebelakang hampir 50 meter. Pa tuan haji matnoor terkenal sebagai tuan tanah dijamannya.
ketika umur saya mungkin 2-3 tahun, saya pernah bertemu dengan Haji Diyang Sinah, memori satu-satunya yang masih saya ingat, Â momen itu saya masih ingat ketika beliau memarahi saya yang ingin turun dari tangga rumah, tangga rumah tinggi dan beliau sedang menyapu halaman, beliau sudah sangat tua, kurus, berkulit putih, berhidung mancung dan masih kelihangan cantik, diyang sinah terkenal sebagai wanita paling cantik dikampung Mandingin dijamannya, tidak ada keturunannya yang secantik beliau, itu yang keluarga saya katakan hingga hari ini, saya pernah melihat fhoto saudara seayah beliau di pelaihari, saya percaya beliau dan saudara-saudara memang sangat cantik. Diyang Sinah meninggal tidak lama setelah saya bertemua beliau, beliau meninggal di Tambak Sarinah kecatanan Kurau Kabupaten Tanah Laut, dirumah salah satu anak beliau, umur beliau ketika meninggal diperkirakan hampir atau lebih seratus tahun. Hal ini berdasarkan cerita beliau sendiri yang ikut membangun Masjid Al --Islah ketika masjid tersebut dipindah untuk ketiga kalinya ke lokasi sekarang, beliau ikut mengambil pasir bersama anak-anak yang lain ke daerah munti pinggir sungai Labuan amas atau sungai barabai sekitar satu kilometer dari masjid.